Nurul Hidayati *
Sebuah syukur agung atas anugerah terindah, setelah aku diberi amanat buah hati yang melengkapi kehidupan kami. Senyum tulus anak-anak selalu jadi obat mujarab penghapus segala lelah dan penat dari rutinitas, aktifitas kesibukanku. Aku seorang ibu rumah tangga yang juga bekerja sebagai karyawan swasta, tapi seberapa padat aktifitasku menyita waktu, tenaga, pikiran, bisa kulalui berpenuh semangat atas senyum anakku yang memancarkan keriangan. Ialah pemberi energi lebih untuk bekerja, juga mengasuhnya bersegenap kasih sayangku agar dapat beri pengasuhan, dan pendidikan formal pun informal. Semoga kelak jadi insan yang mampu suguhkan nilai lebih bagi sesama di manapun nanti berada.
Alhamdulillah dari pernikahan aku dikaruniai dua anak putra dan putri yang sehat, lucu menggemaskan. Di mana kerinduan aku di samping mereka berbagi keceriaan, melihatnya berkembang saat belajar baik di sekolah pun segala hal tentang kehidupan seiring pertumbuhannya. Selisih usia kedua anakku ini hanya 2 tahun. Di saat anakku pertama berumur setahun, tanpa ku sadari sudah hamil lagi, sedang kondisi ekonomi kami carut marut. Tinggal bersama orang tua dan suamiku tak punya pekerjaan tetap, aku sendiri belum kerja lagi sehabis cuti melahirkan. Sempat terpikir memberikan anakku kedua pada orang lain yang belum dikaruniai keturunan. Sunguh Allah mengatur jalan kami, saat anakku berumur 3 bulan dalam kandungan, aku dipanggil salah satu perusahaan untuk bekerja di sana.
Dengan kondisi kehamilan, aku lebih termotivasi dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Aku sering menerima tawaran keluar kota meski sedang hamil tanpa khawatirkan kondisi kandungan. Anakku kedua lahir bulan Juni 2005 dengan persalinan normal, saat itu kami sama sekali tak punya pegangan uang untuk biaya persalinan. Setelah melahirkan, aku menelepon sana sini agar mendapati pinjaman. Aku bertekad lebih keras bekerja setelah persalinan. Alhamdulillah Allah beri jalan melalui teman dekatku yang mau kasih pinjaman.
Saat anak usia 5 bulan aku tinggalkan ke Jakarta, dia ku titipkan ke orang tuaku meski sangat berat hati. Kulihat anakku lucu tersenyum di pelukan neneknya. Berat sebenarnya tinggalkan anak masih merah. Tatap matanya penuh semangat menggetarkan hatiku dan memberanikanku melangkah. Ke Jakarta aku dengan anak pertama yang baru berusia 2,5 tahun. Berangkat dengan tekad membara agar dapat mengubah semua. Hutang kami sudah menumpuk untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Masa-masa sangat berat benar-benar terasakan waktu itu.
Seiring waktu, mereka kini sudah memasuki masa sekolah, saat ini mengenyam pendidikan di SDIT Qurrota A’yun Ponorogo, salah satu lembaga pendidikan dasar yang mengutamakan kualitas dari sistem pembelajaran yang diterapkan. Aku percaya, anak-anakku mendapat pendidikan baik untuk bekal kehidupan nanti. Semoga yang jadi harapanku tentang masa depan anak kelak terwujud bersama iringan doa, juga kegigihan mereka belajar terus menggapai cita-cita, dan Allah SWT meridhoi, mengabulkannya.
Yumna Hanun Najah, anakku kedua yang biasa dipanggil Yumna, kini duduk di kelas II SDIT Qurrota A’yun Ponorogo. Seperti layaknya bocah perempuan seusianya, mudah bergaul dengan teman-temannya, dan naluri sosialnya sangat menonjol sejak kecil. Semoga kelak bisa jadi wanita berguna dan penuh kasih sayang, bertanggung jawab dengan dirinya juga bagi orang-orang di sekitarnya.
Jelang Hari Raya Idul Fitri tahun lalu, saya diberi sakit oleh Allah, sehingga harus opname selama empat hari di rumah sakit. Yumna juga keluarga lain setiap saat berada di sampingku. Mereka mencemaskan kondisiku yang oleh dokter disampaikan terkena infeksi lambung akut. Sebenarnya aku berusaha semampuku menahan sakit agar keluarga dan anak-anakku tak cemas. Hingga malam ketiga Yumna mendekatiku.”Mama…” panggilnya. Aku menoleh dan tersenyum. “Nggih sayang, nopo?” jawabku. Tiba-tiba Yumna memelukku dan dengan wajah lugu berkata “Mama kalau sakit harus kuat nggih, nggak boleh menyerah. Mbak Una (panggilan sayang kami buat Yumna) selalu berdo’a buat mama, semoga cepat sembuh, trus besok bisa naik haji nggih ma…”.
Masyaallah, betapa saya tak bisa bendung air mata mendengar ucapan tulus permata hatiku. Seakan hilang sudah rasa sakit dengan obat luar biasa mujarab. Aku peluk putri kecilku, mencoba tunjukkan kepadanya semangatku. “Nggih, mama dah sembuh kok, besok kita pulang” ucapku. Yumna kian erat memeluk, seakan ingin ucapanku benar terjadi. Malam itu dia tidur disampingku, meski ranjang rumah sakit terasa sempit untuk berdua. Saya biarkan saja dia terbaring lelap. Esok paginya saat dokter datang memeriksa, Yumna mendekati dokter. “Mamaku sudah sembuh?” tanya Yumna pagi itu. Dokter tersenyum dan bilang “Mama sudah boleh pulang adek….” Yumna langsung berjingkrak berteriak “Yeee…” Betapa sekeluarga bersyukur, dan kami pun bersiap pulang.
Dua hari setelah dari Rumah Sakit, takbir pun berkumandang menandakan Idul Fitri telah tiba. Dalam kondisi belum sehat, saya menjalankan aktivitas seperti biasa. Sepulang Sholat Idul fitri, kami bermaafan. Idul Fitri tahun lalu memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tak sempat beli baju pun sepatu baru buat anak-anak. Melihat itu aku terharu, bertanya pada mereka, “Mas Syafiq sama Mbak Una pake baju yang ada aja nggih? Mama belum sempat belikan yang baru buat kalian”. Yumna jawab dengan entengnya “Nggak apa-apa kok ma, pakek yang lama aja. Kan uangnya buat bayar rumah sakit mama buanyak. Penting mama sembuh.” Rasa syukur tak henti-hentinya terucap atas karunia putra-putri begitu pengertian. Di usianya masih belia bisa pahami kehidupan, mampu kesampingkan egonya, tak mau menambah beban dengan rengekannya.
Saat kami seyogyanya berkeliling silaturahmi, lebih banyak di rumah untuk pemulihan badan. Suami dan anak-anak keliling bersilaturahmi. Di kala jenuh menghampiri, kucoba mencari kesibukan yang tak banyak kuras tenaga. Aku ambil lap untuk bersihkan laci tempat alat kosmetik. Saat asyik mengelap dalam laci, aku temukan sobekan kertas kecil bergambar. Setelah aku amati itu tulisan tangan Yumna. Tulisannya tidak rapi, justru lebih terlihat seperti coretan. Aku baca, ada gambar 4 orang yang ditandai olehnya. Ayah, mama, Mas Syafiq dan Yumna. Disampingnya tertulis “Surat buat mamahku sayang. Mamah, cepat sembuh ya, aku sayang mamah. Aku berdo’a semoga mamah dan ayah cepat naik haji, amin”. Rasa haru kembali menghampiriku sebagai ibu. Tak terasa air mata mengalir beriringan doa, semoga harapan putri kecilku jadi kenyataan.
Di hari lain, Yumna bercerita dengan semangatnya saat dia bisa beri orang tua renta yang meminta-minta di jalan dengan uang sakunya. Dia bilang kasihan dan teringat Ayut (panggilan untuk nenek Buyutnya). Nenek Buyut Yumna telah meninggal 3 tahun lalu. Setiap kali dia melihat orang tua renta, selalu timbul rasa kasihan dan ingat Ayutnya. Saat bersamaan dia juga bertanya, “anak atau cucunya kemana ya ma, sudah tua kok dibiarin di jalan kepanasan?” Saat itu pula saya bertanya “nanti kalau mama dan ayah sudah tua, adek mau nggak merawat?” Spontan dia jawab “pasti ma,” kecup lembut dan peluk hangat langsung datang sedari buah hatiku. Rasa tenang, bangga, bahagia, dan haru bercampur menyatu.
*) Nurul Hidayati, adalah Wali dari Ananda Yumna Hanun Najah (kelas 2 Abu Bakar) dan Syahrul Dzaki Asysyafiq (kelas 3 Utsman). Alamat sekarang di Jl. Besaran RT 03/01 Brahu Siman Ponorogo. Penulis adalah istri dari Supriyono