Indahnya Kesabaran Itu

Dhewi Susanti *

Pagi itu langit masih gelap, selesai sholat Subuh aku melipat sajadah panjang. Rasanya sang surya enggan membagi kehangatan. Ayam-ayam jago sibuk dengan kokoknya, memanggil matahari demi sinarnya. Dan angin bertiup pelan, meninabobokkan para makluk hidup.

Ku tengok buah hatiku, nyenyak dalam selimut hangatnya.“Ah, betapa besar ciptaan Allah ini” batinku bergumam, memandangi wajah polos anakku. Rasanya malas membuka jendala mengganti suasana. Parasnya lembut dalam lelap tidurnya, seakan ingin membagi mimpinya tadi malam.

Hari ini hari pertama dia masuk sekolah. “Wah anakku, pasti bangga dengan seragam barunya” kataku di hati, sambil kupandangi baju seragam yang baru kuambil dari almari. Aku pun bergegas keluar dari kamar untuk menyiapkan sarapannya. Tak terasa matahari kian naik menaburkan sinarnya. Maka harus rela memutuskan mimpi anakku pagi ini. Tidak kusangka sudah keluar kamar, sebelum aku membangunkannya. “Waduh, anak mama hebat nih bisa bangun sendiri” pujiku padanya.

“Ma, aku tadi mimpi lho…” dia bercerita saraya menggosok-gosokkan matanya dengan tangannya yang mungil. “Sepertinya mimpi adik indah ya, kok sambil tersenyum?” tanyaku sambil mengajak mandi. “Iya ma, aku mimpi punya banyak teman” katanya. “Berarti sudah siap bersekolah dong?” tanyaku lagi. “Siap dong ma” katanya tanpa ragu sedikit pun.

Selesai merapikan peralatan sekolahnya dan pekerjaanku sendiri, aku bergegas mengantarnya. Di sekolah banyak teman-temannya sudah datang. Tiba-tiba “Mama, aku tak mau ditinggal sendiri, aku mau mama menunggu aku di kelas,” suara anakku sedikit merengek. “Kenapa adik tak mau ditinggal sendiri?” tanyaku sambil terheran-heran, karena dia tak biasa bertingkah seperti itu. “Lho tadi katanya senang mendapat teman baru, sampai-sampai terbawa mimpi?” pujiku. “Pokoknya aku tak mau ditinggal sendiri!” kata anakku, terus bersembunyi di belakangku. Herannya, dia selalu sembunyi di belakang badanku tanpa alasan jelas. Dia tak mau jawab, terus kencangkan pegangannya di tanganku. Dengan segala usaha, akhirnya bisa aku bujuk untuk melepaskan pegangannya, bersamaan kehadiran ibu gurunya.

“Adik, sekarang masuk kelas ya, itu ibu guru sudah datang, sekarang mama sudah terlambat ke sekolah, nanti mama jemput sebelum jam pulang sekolah” kataku dengan setengah marah. Setelah masuk kelas, baru ku tinggal. Pulang sekolah, ternyata aku terlambat menjemputnya, karena kesibukan yang tak bisa kutinggalkan. Anakku sudah menunggu lama, dan aku tak menyadari. Sesampai di rumah, anakku marah. “Mama bohong ya!” katanya, berteriak kencang seolah dia sendiri yang mendengar suaranya. “Mama bohong apa, sayang?” tanyaku setengah heran, karena tak merasa berbohong. “Katanya, mama akan menjemputku sebelum pulang sekolah!” sambil menangis. “Oya, mama lupa sayang, karena di sekolah ada rapat, jadi tidak bisa pulang cepat, maafkan mama ya?” pintaku padanya.

Pada awalnya anakku penurut, tidak pernah berontak. Setelah masuk Taman Kanak-kanak, banyak perubahan yang terjadi pada dirinya. Mungkin karena situasi dan kondisi sangat berbeda dengan di rumah. Karena kesibukan juga mungkin, aku kurang memperhatikannya. Apapun yang diminta kuturuti, asal mematuhi aturan yang kuterapkan. Tapi ini membuatnya keras dan egois. Seringnya menentang yang telah kukatakan. “Mama, pelit!” itu yang selalu dibilang, bila yang diinginkan tidak dituruti. Itu pun dia lakukan sambil menangis keras, kadang membanting benda apa saja di dekatnya.

Setelah berjalan beberapa bulan, tingkah lakunya kian aneh. Kadang aku sampai mencubitnya, itu kulakukan bila sudah kelewatan, ketika dia benar-benar tak mau ditinggal.“Ya Allah, apa yang terjadi pada anakku” kataku dalam hati. Akhirnya aku berinisiatif konsultasi dengan gurunya. Ternyata di sekolah dia sering usil pada teman-temannya tanpa sebab. Ibu guru pun sering memberikan laporan padaku tentang perilaku anakku. Lambat laun tingkahnya agak berubah, Alhamdulillah.

Menginjak usia 6 tahun dia masuk kelas B. Mungkin karena suka usil, akhirnya ibu gurunya memilihnya jadi ketua kelas. Agar bisa bersosialisasi dan punya keberanian dalam hal positif. “Wah, hebat ya!” pujiku setelah dengar ceritanya. “Berarti sekarang adik tidak boleh marah-marah lagi donk” tambahku lagi.

Pagi harinya, ternyata yang kutakutkan terjadi, dia tidak mau ditinggal lagi. Di kelas B dia juga masih sering bertingkah aneh dengan naik-naik bangku pun usil. Kebetulan ibu gurunya disiplin, tapi hal itu tak merubah keadaan. Aku bingung karena anakku tidak berubah, malah makin egois. Padahal aku sudah berusaha sabar dengannya. “Apa yang adik inginkan, kok selalu membuat susah ibu guru di sekolah, kan adik menjadi ketua kelas?” tanyaku, suatu sore.

Tidak kusangka dia jawab bernada tinggi “Aku mau pindah sekolah ma!” “Memang ada apa sayang?” tanyaku balik. “Gurunya galak-galak, aku tidak mau sekolah di situ!” katanya berteriak. Aku pikir apa anakku dimarahi gurunya sampai begitu marahnya. Tapi setelah kucari informasi tentang guru-guru di sekolah anakku ternyata baik-baik, tidak ada yang galak seperti dia kata. Aku makin bingung apa yang terjadi dengan anakku.

Akhirnya, aku punya fikiran untuk mencarikannya pelajaran tambahan atau les di luar jam pelajaran, agar dapat bergaul dengan teman-teman di luar sekolah. Dia mulai les setelah jam sekolah sampai sore hari. Karena aku juga sering curhat dengan teman sesama guru. Mereka sempat protes caraku, menganggap terlalu otoriter terhadap anak. Kadang marah padanya tanpa alasan jelas.

Suatu saat, aku sempatkan bertanya padanya tentang kegiatan di sekolah. “Tadi, adik belajar apa di sekolah?” tanyaku sedikit hati-hati, khawatir kalau dia marah seperti biasanya. Tapi ternyata di luar dugaan, dia asyik bercerita apa yang didapatkan di sekolahnya hari itu. “Tadi itu kita belajar sholat lho ma” katanya dengan bangga. Dia juga bercerita tentang teman-temannya dan gurunya. “Ibu guru nggak pernah marah seperti mama lho” protesnya padaku. Aku agak malu dibilang seperti itu. “Ibu guru itu sabar sekali ma” katanya, sambil terus menceritakan ibu gurunya.

Aku kaget kala sore menjelang magrib anakku berkata, “Ayo ma sholat, tapi aku yang jadi imam ya” katanya dengan raut senang. Akhirnya aku sholat berdua dengan anakku. Kebetulan suamiku dinas di Surabaya, jadi tidak setiap hari bisa menunggui kami. Waduh, aku heran dengan tawarannya. Aku pun berpikir “Apa ya yang diajarkan ibu gurunya, kok dia bisa seperti itu?” Ternyata gurunya memberi banyak perhatian, utamanya tentang pembelajaran yang ada di sekolah. Sejak saat itu aku pelan-pelan belajar dari anakku, tentang bersabar dalam segala hal.“Nggak gitu lho ma!” katanya, bila tak sesuai dengan yang diajarkan di sekolah.

Kesabaran itu jugalah yang akhirnya kubawa sampai sekolah, berusaha tenang dalam memecah segala permasalahan yang datang bersamaan. Alhamdulilah, dengan sabar kita bisa berbuat lebih baik dari sebelumnya, juga mendapatkan keutamaan dari yang tidak kita duga. Aku pun dapat menikmati hidup dengan lebih baik walau awalnya sangat sulit, karena karakterku yang dulunya keras.

*) Dhewi Susanti, SE, lahir di Pacitan, 28 maret 1973, adalah Wali dari Ananda Arif Fadlillah Wicaksono (siswa kelas 1-Utsman) dan Selvy Elvina Santoso. Alamat sekarang di Jl. R.Sentanan 01/01 Desa Ngloning Kec Slahung. Penulis adalah istri dari Budi Santoso.

Bahasa »