Kesuksesan UN dan Pengangguran

Anjrah Lelono Broto
Surabaya Pagi, 31 Mei 2013

1.573.036 siswa dari 1.581.286 siswapeserta Ujian Nasional (UN) 2013 tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dansederajat telah dinyatakan lulus. Sementara yang tidak lulus berjumlah 8.250siswa. “Berarti persentase kelulusan tahun 2013 ini turun 0,02 persen daritahun sebelumnya yang mencapai 99,5 persen,” kata Menteri Pendidikan danKebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh saat mengumumkan hasil akhir Ujian Nasional2013 untuk tingkat SMA dan sederajat (KoranSindo, 24/5/2013).

Ketidakberbandinglurusnya antarakarut-marut waktu pelaksanaan UN dengan hasil UN, khususnya di tingkat SMA dansederajad memang patut disyukuri. Akan tetapi, satu hal yang tidak kalahpenting untuk ditimbang-cermati adalah nasib peserta didik pasca kelulusan.Apakah mereka akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,bekerja, ataukah hanya menambah gemuk data penggangguran di Biro PusatStatistik (BPS)?

Adalah sebuah absolutisme bahwa UNmerupakan etape terakhir dari perjuangan peserta didik di lingkungan pendidikanformal. Ketika kita fokuskan pandang pada peserta didik di jenjang pendidikanmenengah atas/kejuruan, maka mereka akan berhadapan dengan tiga pilihan diatas. Ketika mereka berencana untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, sudahtentu mereka akan berhadapan dengan masalah biaya pendidikan, serta petakebutuhan dunia kerja dengan ijazah/kompetensi yang dimilikinya kelak.Sedangkan ketika mereka berencana untuklangsung terjun ke dunia kerja, maka besar kemungkinan hantu outsourchingyang ada di balik tembok dunia usaha sudah menanti mereka. Berwirausaha? Semuanyaitu tentu saja sangat terkait dengan kondisi ekonomi bangsa kita saat ini.

Minimnya keterserapan output pendidikan oleh dunia usahamembongkar borok lama tentang kelemahan kurikulum pendidikan kita. Kurikulumyang merupakan bagian dari sistem pendidikan ternyata kurang mampu memberikan sentuhanpendidikan guna mencetak output profesional dalam berkarir di duniakerja. Selama ini, pembelajaran di dalam kelas yang diatur oleh sistem pendidikankita larut dalam beban-beban teori, bukan praktik langsung. Kesuksesanpendidikan diukur dari tingginya nilai peserta didik dalam memahami danmenghafalkan teori, bukan memahami dan mengaplikasikan teori tersebut.

Guru selaku pengendali pengelolaankegiatan pembelajaran di dalam kelas pun ahirnya cukup puas dengan kemampuanpeserta didiknya dalam memahami dan menghafalkan teori. Sementara, demi menjagakehormatan guru, sekolah, institusi pendidikan, serta stake holder yangterkait, nilai peserta didik pun diatur dalam mekanisme sulap-menyulap (penggunaanbatas ketuntasan belajar). Akibatnya, kegiatan pembelajaran di dalam kelas punberkembang menjadi pertunjukan sandiwara berseragam yang pelaku-pelakunya harusmembayar dan dibayar.

BPS di tahun 2012 menyebutkan bahwasebanyak 60,5 persen lebih pemuda usia 16, 20, dan 30 tahun se-provinsi diIndonesia tidak memiliki pekerjaan tetap. Artinya, Indonesia mempunyaipermasalahan yang tidak ringan dalam mengatasi pengangguran. Bila tidak segeradiatasi, angka ini bukannya semakin turun tapi akan melonjak naik. Bahkan jikatren ini terus bertahan dan menjadi pola pikir; “Untuk apa sekolah atau kuliah mahal-mahal,ujung-ujungnya menganggur juga.” Kalau sudah begini, “apa kata dunia?”(meminjam kosakata Jenderal Nagabonar)

Richard G. Lipsey dan kawan-kawan, dalam bukunya “Economics 10thed.” (1997:39) menjelaskan, pengangguran pun merupakan sumber dayaberharga yang potensi keluarannya tersia-sia. Pasangan fisik pengangguranadalah senjang resesi-potensi PDB yang tidak jadi dihasilkan. Keadaan demikianakan berpengaruh juga pada Pendapatan Nasional. Bila pendapatan nasionalberubah, maka volume kesempatan kerja (employment) dan volumepengangguran (unemployment) juga berubah.

Inilah wajah pendidikan Indonesia yang menjadikan UN sebagai parameterkelulusan absolut, bahkan acap kali peserta didik yang pintar pun tidak lulusUN dikarenakan kurang beruntung saat menghitamkan lembar jawaban komputer(LJK). Hal ini sangat disayangkan, di tengah merosotnya kualitas pendidikan dandekadensi moral serta karakter generasi muda. Ditambah lagi, para peserta didikenggan berfikir bahwa pasca kelulusan UN masih banyak rintangan yang menghadangdan euforia seperti ini bukan jalan yang baik untuk menghadapinya.

Setelah lulus UN, para peserta didik idealnyalebih siap menentukan masa depannya. Sebab, lulus UN bukan berarti kesuksesanabsolut dalam hidup mereka. Persiapkan dini merupakan startegi menghadapipersaingan dunia kerja, dimana seharusnya lebih ditakuti ketimbang ritualmenghitamkan LJK seperti UN. Bagaimana tidak, keberhasilan dalam dunia kerjaadalah pengakuan dari masyarakat yang lebih tinggi dari pengakuan lulus UN. Halini seharusnya lebih menjadi perhatian para peserta didik agar lebih dinimempersiapkan diri karena pendidikan di Indonesia tidak pernah menjamin setiapwarga negaranya mendapatkan pekerjaan walaupun dalam pasal 27 ayat 2Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi ’’Tiap-tiap warga negara berhak ataspekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Di tengah sekian banyak tantangan bagipara peserta didik yang hendak bekerja, untuk mendongkrak geliat perekonomian kelasmenengah ke bawah pemerintah telah meluncurkan beragam kebijakan dan programnyata. Namun, apakah seluruh peserta didik memiliki kompetensimenciptakan lapangan kerja? karena tidak, semua sekolah berorientasi pada duniakerja. Fenomena ini diperumit dengan realita pragmatisme akut yang diidapgenerasi muda kita. Akibatnya, pilihan Indonesia untuk menjadi negarapengekspor tenaga kerja adalah keniscayaan yang tak jelas akhirnya.

Sukses UN adalah sebuah keharusan, namun harusnya juga diikuti denganreformulasi dan reorientasi sistem pendidikan kita. Wallahu’alam.