S. Jai Menangi Lomba Novel Etnografis

Ribut Wijoto
beritajatim.com 22 Mei 2013

Novel Kumara, Hikayat Sang Kekasih karya S Jai memenangi lomba novel etnografis yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jawa Timur pada 2013 ini.

Novel yang bertutur tentang spirit hidup sosok-sosok pribadi masyarakat kecil di pelosok desa di Jawa —tepatnya di sebuah dusun di Kediri— dalam menghadapi gerak pergeseran, pergesekan dan perubahan zaman tersebut terpilih sebagai satu-satunya pemenang, oleh juri sastrawan Beni Setia, M Shoim Anwar dan S. Yoga.

S. Jai, pengarang yang memenangi lomba ini, sebelumnya juga dikenal penulis sejumlah novel; Tanah Api (LkiS 2005), Tanha (Jogja Media Utama 2011) dan Khutbah di Bawah Lembah (Najah 2012). Pria yang tinggal di Desa Munungrejo Kecamatan Ngimbang Lamongan ini, sehari-harinya juga bekerja pada Women and Youth Development Institute of Indonesia.

Kepada beritajatim.com pengarang kelahiran Kediri 4 Pebruari 1973 ini mengatakan bahwa berita kemenangannya itu diterima melalui surat pemberitahuan pada 20 Mei lalu.

Biografi dan Kekuasaan Danyang Desa

“Saya menulis novel ini sebetulnya saya maksudkan sebagai tulisan biografi—riwayat banyak orang. Namun sebagai bentuk sastra, saya menggunakan prespektif (sudut pandang) danyang desa,” tutur pengarang yang juga kelahiran Kediri, 4 Pebruari 1973 ini.

Novel terbarunya ini, katanya, terinspirasi dari satu istilah dalam buku Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa: Kumara. Meski banyak sekali menuai kritik dan ditolak, namun buku itu menyimpan kekayaan budaya menjadi sumber ilham yang tak habis-habisnya.

“Sudut pandang kumara saya gali dari sana. Kumara adalah wilayah kekuasaan danyang desa. Kumara juga berarti suara yang tiba-tiba muncul dari ketiadaan. Dalam tradisi Hindu, Kumara adalah Sanghyang Kumara, Dewa Pelindung Bayi —salah satu putra Dewa Siwa,” ungkap sarjana bidang studi Sastra Indonesia dari FISIP Unair tersebut.

Dikatakannya, sebagai karya yang memuat banyak sekali biografi—yang oleh orang Jawa kerap disebut ‘sejarah’ itu—Jai banyak sekali menggali tokoh-tokohnya dengan wawancara banyak orang.

“Mereka adalah para penduduk sekitar Pabrik Gula Ngadirejo dan para mantan buruh yang sebagian besar telah berumur senja. Atas kenangannya sekalipun itu getir namun menerima lapang dada pertanyaan-pertanyaan tajam saya,” papar Jai.

Di mata Jai, tokoh-tokoh dalam novel Kumara, adalah orang-orang yang berjibaku dalam pergulatan selaku pribadi-pribadi masyarakat kecil yang keukeuh pada daya budi hasil peradaban Jawa dan yang telanjur diuntai dengan tali secara keliru ke dalam pentahapan mistis yang irrasional.

Bukan hanya itu. Bahkan mereka jugalah yang berkumpar pada keteguhannya dengan kultur Jawa rendahan yang mengukuhkan kebudayaannya, yang secara religi dimaknai stupid vainglory dengan istilah Abangan oleh sederet sarjana terkemuka —termasuk oleh Geertz.

“Saya merasa agak beruntung berkenalan dengan karya Umar Kayam, Para Priyayi yang mencoba mengurai kembali gerak lembut tranformasi kaum priyayi ke dalam novel itu. Dan inilah yang memantik saya menulis novel Kumara. Saya mengambil jalan yang lain: maka Kumara dari saya adalah sebentuk pledoi pribadi-pribadi masyarakat kecil dengan kultur Jawa rendahan yang sadar betul bagaimana mempertahankan, betapa berharganya hidup bagi semesta,” terang pria yang juga dikenal dramawan tersebut.

Keberanian Memasuki Sejarah Kelam

Sebagai konsekuensi dari ‘jalan lain’ yang ditempuhnya itu, lanjut Jai, dirinya mengumpulkan keberanian memasuki wilayah yang selama ini absen dalam sastra maupun sejarah. Atau setidaknya berlanjut dalam kontroversi. Yakni sejarah kelam 1965, misalnya.

“Pada novel saya ini, saya tak bicara tentang jargon kemanusiaan atas peristiwa itu sebagaimana yang banyak tampil dalam sastra, apalagi yang berbaris-bergerombol memafhumi pembunuhan sembari bersembunyi, menghibur diri dengan alasan kemanusiaan tersebut. Melainkan, saya bicara tentang fakta. Tepatnya berpihak pada korban yang tak kuasa menolak, apalagi mengutuk pembunuhan itu, atau sembunyi atas nama apapun dari takdirnya,” tandas pria yang beberapa saat lalu juga memenangkan sayembara Cerita Panji yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jawa Timur dan Dewan Kesenian Jombang.

Jai mencontohkan, apa yang dilakukan Umar Kayam melalui tokoh Sri dalam Sri Sumarah, sesungguhnya telah tumbuh kepeduliannya pada perempuan ‘abangan.’ Namun demikian Umar Kayam tidak melakukan beberapa hal yang Jai sebut belakangan: tentang kepedulian pada korban dan absennya alasan kemanusiaan —yang kehadirannya justru seringkali untuk menyembunyikan diri karena mengamini pembunuhan.

“Nah, pada Kumara, saya tampilkan bagaimana kekuatan daya budi para perempuan yang tak mau kalah dari kepintaran kaumnya yang telah memilih membiakkan kecerdasannya menjadi anggota Gerwani, atau para pemuda yang menebar benih kritisnya dengan tergabung dalam Pemuda Rakyat,” ujar ayah dari Raushan Damir, Kasyful Kanzan Makhfi dan Zahra Ulayya Mahjati ini.

Menurut pengakuan Jai, sebagai sebuah karya yang dimaksudkan selaku biografi, dalam penulisan novel Kumara ini dirinya berutang budi pada Pipit Rochijat —seorang nasionalis Indonesia yang sejak 1972 “mengasingkan diri” ke Berlin Barat— yang dengan sabar berbagi cerita, menyerahkan sebagian pengalaman hidupnya, menjawab surat-suratnya, memasrahkan data, catatan harian serta dokumen-dokumen tua untuk memperkaya pengetahuan menulis cerita ini.

Bukan hanya itu, bahkan Pipit Rochijat merelakan sebagian kehidupan keluarganya pada tahun-tahun itu ditelisik untuk memperkaya tulisan Jai. Bahkan dari pria itu, Jai mendapatkan transkrip wawancara intelektual Arief W Djati dengan ayahanda Pipit Rochijat, Kartawidjaya, mantan Direktur PG Ngadirejo seputar peristiwa G-30-S di Kediri.

“Begitulah Kumara saya tulis saya maksudkan untuk dokumentasi sejarah mental, sekaligus demi rekonsiliasi dalam alam kesadaran bahwa kebudayaan tidak berdiri di atas satu kaki alam pikiran rasional atau alam pikiran mistis saja. Bahwa mitos bisa bermula dari apa saja—tak terkecuali dari pikiran manusia,” tandas Jai.

Kesaksian Leluhur Kampung

Dikisahkan dalam novel Kumara, empat orang anak, tiga diantaranya perempuan, Surat, Suratemi, Markonah dan Marsitun ditinggal bapaknya mati muda. Mereka kemudian diasuh oleh ibunya, Tukinem dan tinggal serumah dengan kakeknya, Man To Karso, yang beristri seorang perempuan pawang hujan.

Anak-anak itu tumbuh besar juga oleh doa dan restu dari leluhurnya yang berdiam di punden kampung Mbah Singa Maya dan Mbok Putri Ambar Sari. Kakek Man To Karso dan Nenek Nyi Tuk —tukang talang hujan itulah- yang berpengaruh besar dalam keyakinan hidup mereka.

Surat tumbuh menjadi laki-laki dusun yang mengurus diri berkat kekuasaan yang ada padanya. Marsitun melarikan diri dari kebusukan suaminya, dengan merantau ke Sumatera. Sementara Suratemi dinikahi Satijo, mandor tebu Pabrik Gula Ngadirejo yang suka main perempuan. Sedangkan Markonah menikah dengan Ngali, pria tetangganya yang kemudian bersama-sama merantau sebagai pedagang di dekat Jengkol.

Novel ini berkisah seputar kehidupan mereka dan anak-anak turun mereka, sekaligus sebuah kesaksian leluhur Mbah Singa Maya —pelindung seluruh warga dusunnya.

Para Korban G 30 S yang Selamat

Ketika geger Gestok, Markonah harus terus menerus menyembunyikan Ngali agar lolos dari para pemburu yang haus darah dan nyawa. Sementara Suratemi harus terus bertahan dengan penderitaan batin karena perilaku sewena-wena suaminya, sebelum kemudian memilih tidak lagi sudi hidup bersama. Di sisi lain, ia terus memikirkan anak tirinya yang mondok di pesantren Kiai Jauhari sebelum pecah peristiwa Kanigoro.

Adik Ngali, Sumiatun yang bersuamikan Sajuri, Juru Tulis Pabrik Gula PG Ngadirejo tak bisa melahirkan seorang anak pun. Karena itu keduanya sepakat untuk mengadopsi salah seorang anak Markonah yang masih berusia 3 bulan. Penyerahan bayi lelaki yang kemudian bernama Supriyadi itu terjadi beberapa hari sebelum meletusnya peristiwa Gestok.

Perang saudara tahun 1965 itu ternyata menyibukkan Pak Karta —seorang lelaki beristerikan perempuan keturunan priyayi, Raden Rara Moendjijah Martosoebroto— yang saat itu menjabat direktur Pabrik Gula PG Ngadirejo— atasan Sajuri. Sejak belasan tahun lamanya sebelum pecah perang saudara itu, Pak Karta terus diserang dan dibenci kaum komunis, bahkan menjadi musuh utama sejak peristiwa Jengkol. Namun pada saat geger Gestok, justru Pak Karta melakukan pelbagai cara untuk melindungi kaum komunis demi kelangsungan perusahaannya, dan tentu saja atas nama kemanusiaan. Karena sebagian besar karyawan Pak Karta adalah anggota Serikat Buruh Gula—organisasi buruh di bawah PKI, jelas bila mereka semua dikirim ke ‘sukabumi’, maka bongkorlah perusahaannya itu. Pak Karta menyembunyikan mereka di dalam pabrik selama kekacauan politik waktu itu. Termasuk Sajuri.

Sajuri pun yang telah bekerja belasan tahun lamanya pada perusahaan negara itu, bertahun kemudian terkena pembersihan alias skrining yang berdampak pada kehidupan pribadi dan tentu pada masa depan anak angkatnya, Supriyadi. Walau demikian Sajuri menempuh jalan hidup yang tak biasa. Sajuri menjadi petani penggarap yang punya lahan sawah dan tegal cukup luas. Ia malah sempat mempekerjakan Ngali, memulangkan Markonah dan anak-anaknya ke kampung. Bahkan Sajuri bertahun kemudian justru menikahkan Supriyadi dengan Yatim Muhaeni, seorang gadis yang bapaknya menjadi korban 1965 karena salah seorang Ketua BTI.

Keluarga Supriyadi mewarisi kehidupan yang tidak kalah pelik dari Sajuri, walau zaman telah berubah. Mereka terus hidup dalam rasa takut. Bahkan hingga anak-anak mereka tumbuh dewasa. Ketika Palupi, anak gadisnya mengurus pernikahannya dengan pria asal Korea Selatan bernama Young Sub Shin, di depan pejabat pemerintah, bayang-bayang ketakutan itu terus membayangi. Sebagai orangtua dari anak-anak yang ingin hidupnya bahagia, Supriyadi dan Yatim Muhaeni merasa dipersulit.

Meski demikian, betapa pun sulit hidupnya, mereka semua menyakini leluhur Mbah Singa Maya dan Mbok Putri Ambar Sari senantiasa bersama —melindungi dan memberi restu jalan hidupnya.

Kini, Markonah, Suratemi, Sajuri telah benar-benar tua. Usianya dimakan pergerakan zaman. Yang bisa dilakukan hanyalah menyaksikan jalan hidup yang ditempuh anak turun mereka pada hari ini sebagai pewaris zaman —dalam lintasan keangkuhan atau kerendahhatiannya, pasang surutnya pergeserannya juga ketegangan serta kelembutan perubahan padanya.

Mereka semua telah betul-betul menyakini, hari ini adalah masa depannya, juga masa depan anak-anak mereka.

***
http://www.beritajatim.com/detailnews.php/2/gaya_hidup/2013-05-22/172421/S_Jai_Menangi_Lomba_Novel_Etnografis

Bahasa »