Seno Gumira Ajidarma *
Kompas, 20 Mei 2013
Semua orang di kantornya sudah tahu, ia selalu mencuci tangannya. Banyak orang juga selalu mencuci tangan, tetapi tidak sesering dirinya. Belum pernah ada yang menghitung, berapa kali ia mencuci tangannya dalam sehari, tetapi dapat dipastikan sering sekali. Kalau ada orang yang menyebut namanya, yang diingat setiap orang adalah, ”Oh, yang selalu cuci tangan itu ya?”, dan akan selalu ditanggapi kembali dengan, ”Nah! Iya, yang selalu cuci tangan!”
Demikianlah ia kemudian dikenal sebagai Orang yang Selalu Cuci Tangan. Tentu ia sendiri tidak tahu jika dirinya mendapat julukan seperti itu, ia hanya tahu dirinya selalu merasa tangannya kotor, dan setiap kali ia merasa tangannya kotor ia selalu merasa harus cuci tangan di wastafel. Tentu saja tak jarang tangannya itu memang kotor, meskipun baginya setitik debu yang tak terlihat pun agaknya sudah sahih menyandang istilah kotoran, sehingga ia pun akan selalu terlihat berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangannya. Kadang baru duduk sebentar ia segera sudah berdiri lagi, menuju wastafel untuk mencuci tangan yang dirasanya amat sangat kotor, begitu kotor, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih kotor.
Tentunya bisa diterima betapa setiap tangan yang kotor memang sebaiknya, lebih baik, memang seharusnya, bahkan wajib dicuci, tapi bagaimana kalau sebetulnya bersih?
”Barangkali ia sebetulnya hanya selalu merasa tangannya kotor.”
”Merasa?”
”Ya, tangannya itu sendiri sebetulnya bersih, tapi ia selalu merasa tangannya kotor.”
”Makanya ia selalu mencuci tangannya!”
Demikianlah orang-orang di kantornya bergunjing tentang atasannya tersebut, yang selalu mereka lihat sedang mencuci tangan di wastafel ketika mereka memasuki ruangannya.
Di depan wastafel ia mencuci tangan, pada saat mengangkat muka, ia melihat wajahnya sendiri.
”Wajah itulah,” pikirnya, ”wajah itulah!”
Wajah yang selalu muncul di koran dan televisi, wajah yang selalu dijaganya agar selalu tampak terhormat, amat sangat terhormat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih terhormat. Demi kehormatan wajah itulah ia telah selalu mencuci tangannya, karena dalam pikirannya, tangan yang kotor akan mempengaruhi pandangan orang banyak terhadap wajahnya.
”Mengapa tanganku selalu kotor?”
Ia sendiri tak tahu sejak kapan mulai mencuci tangannya terus. Banyak orang mengira ia hanya merasa tangannya kotor, tetapi dalam pandangannya tangannya memang betul-betul kotor.
Mula-mula hanya seperti sedikit berdebu, tetapi lama-lama seperti berlumur lumpur.
”Apakah ini karena aku selalu melakukan pekerjaan kotor?”
Ia ingin sekali percaya, bahwa dirinya sebetulnya hanya merasa tangannya kotor, bukan betul-betul kotor.
Ia sendiri meragukan, manakah yang sebetulnya lebih baik, antara selalu mencuci tangan karena merasa tangannya selalu kotor dibandingkan dengan selalu mencuci tangan karena tangannya betul-betul kotor. Namun ia sungguh-sungguh ingin percaya, meskipun ia selalu melihat tangannya betul-betul kotor, betapa tangannya itu sendiri sebetulnya bersih.
Sementara itu, ia masih terus melakukan pekerjaan kotor. Mulai dari yang betul-betul kotor, sampai yang seolah-olah tidak kotor.
Pada suatu hari, ketika ia mencuci tangan di wastafel, air yang mengucur dari kran dalam pandangan matanya agak kecoklat-coklatan.
”Ah, kenapa airnya kotor sekali?”
Untuk seorang manusia yang selalu mencuci tangan, air kran yang kotor adalah masalah besar.
”Mencuci tangan kok jadi tambah kotor,” pikirnya, ”mana boleh jadi?”
Segeralah para tukang dipanggil untuk memeriksa, apakah kiranya yang membuat air pencuci tangan yang seharusnya membuat tangan menjadi bersih kini justru membuat tangan semakin kotor.
Namun ketika dikucurkan, ternyata air kran itu baik-baik saja adanya.
”Airnya tidak apa-apa Pak,” ujar para tukang.
Kini ia khawatir, adalah matanya yang justru bermasalah.
Betapapun ia bersyukur, selama ini ternyata hanya perasaannya sajalah yang membuat ia mengira tangannya selalu kotor, yang membuatnya selalu merasa harus mencuci tangan, meskipun tangannya itu sama sekali tidak kotor.
Air kran yang mengucur di wastafel itu semakin lama semakin bertambah kotor. Semula memang hanya kecoklat-coklatan, tetapi akhirnya menjadi kehitam-hitaman, bahkan kemudian juga berlumpur dan berbau busuk agak kekuning-kuningan, yang ketika airnya mengucur memperdengarkan suara seperti orang berdahak.
Grrrrhhhhhuuekkkhhhh……..
Rasanya ia mau muntah, tetapi tidak ada yang keluar dari perutnya. Ia berjuang keras meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang terlihat, terdengar, dan terbaui olehnya itu, sebetulnya hanyalah sesuatu yang hanya dirasakannya sahaja.
Maka ia pun tetap mencuci tangannya dengan air terkotor di dunia yang mengucur dari kran itu. Tidak cukup hanya mencuci tangan, ia juga menggunakannya untuk cuci muka, membasuh wajahnya begitu rupa sehingga ia merasa dirinya bersih suci murni tanpa dosa dan antihama.
Suatu kali, ketika pekerjaan kotornya menumpahkan darah, kran itu pun mengucurkan darah. Namun ia tetap yakin dan percaya bahwa yang dilihatnya adalah air kran biasa. Ia tidak ingin lagi-lagi memanggil tukang dan lagi-lagi akan menerima tatapan mata yang memandangnya dengan aneh karena, ”Airnya tidak apa-apa Pak!”
Ia mencuci tangannya dengan darah yang mengucur dari kran itu dengan perasaan mencuci tangan sebersih-bersihnya. Lantas ia mencuci muka, tempat segala kehormatannya dipertaruhkan, dengan darah yang mengucur dari kran itu juga.
Sebelum keluar ruangan, ia menatap wajahnya pada cermin dan ia melihat wajahnya itu bersimbah darah. Ia merasa tahu benar, perasaannya sajalah yang membuat ia melihat wajahnya penuh dengan darah.
Begitulah, ia pun keluar ruangan dengan perasaan betapa tangan, wajah, dan bahkan jiwanya telah menjadi sangat bersih, begitu bersih, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih bersih.
Semua orang terbelalak!
***
*) SENO GUMIRA AJIDARMA lahir di Boston, 19 Juni 1958. Ia adalah seorang sastrawan, fotografer dan kritikus film Indonesia. Cerita pendeknya Pelajaran Mengarang terpilih sebagai Cerita Pendek Terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan cerita pendeknya antara lain: Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999), juga beberapa novel seperti Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Pada tahun 1987, ia mendapat Sea Write Award. Berkat cerita pendeknya Saksi Mata, ia memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997. Pada 2005, ia mendapatkan Khatulistiwa Literary Award 2005. Kini ia tinggal di Jakarta dan mengajar matakuliah Kajian Media di FFTV-IKJ dan Kajian Sinema di Program Pascasarjana FIB UI.
One Reply to “Orang yang Selalu Cuci Tangan”
Comments are closed.