Dessy Wahyuni *
Riau Pos, 24 Nov 2013
WATAK sastra selalu terbuka terhadap tafsir. Tidak pernah ada tafsir tunggal. Setiap pembaca memiliki argumentasi yang berangkat dari latar belakang pengetahuan, pemahaman, serta apresiasi yang berbeda-beda. Sastra selalu membuka diri terhadap kemungkinan tafsir, karena justru di situlah keindahan itu bekerja. Hal itu menjadi sensasi keindahan yang bergerak, menelusup ke dalam sanubari masing-masing orang yang mendekatinya.
Karya sastra bukan hanya menjadi artefak (benda mati hasil karya manusia belaka), tetapi sekaligus sebagai objek estetis bila dimaknai oleh pembaca. Artefak menjadi dasar material objek estetis, sedangkan objek estetis merupakan representasi artefak dalam pikiran pembaca. Sebagai artefak, karya sastra tidak jelas maknanya. Setelah berinteraksi dengan pembaca, sebuah karya sastra akan mengalami proses konkretisasi yang menjadikannya bermakna. Pembentukan objek estetis yang penuh makna dari sebuah artefak sangat ditentukan oleh peran aktif pembaca. Sebuah artefak tunggal bisa saja menimbulkan beberapa objek estetis dan hal tersebut bergantung pada pembaca dan cara pembacaannya.
Ketika membaca karya sastra, pembaca dihadapkan pada keadaan yang paradoksal. Karya sastra dipandang sebagai sebuah kesatuan yang utuh, berdiri sendiri, otonom, serta boleh dipahami dan ditafsirkan oleh siapa saja. Namun, pada kenyataannya tidak ada karya seni mana pun yang berfungsi dalam situasi kosong. Setiap cipta sastra atau karya seni merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya (Teeuw, 1983). Pada dasarnya, karya sastra tidak berbeda dengan karya sejarah, filsafat, atau sosiologi. Semuanya mengangkat bahan yang sama, yaitu masalah manusia dan kemanusiaan. Hal yang membedakannya adalah bagaimana sesuatu yang sama itu diolah, disajikan, dan diberi penekanan lewat sudut pandang masing-masing. Uniknya, karya sastra dapat memanfaatkan fakta historis, pemikiran filosofis, atau fakta sosiologis, bahkan dapat menggabungkan ketiganya sekaligus. Secara hakiki, hal yang membedakan karya sastra dengan karya-karya nonsastra adalah adanya dominasi imajinasi. Oleh karena, itu, dalam karya sastra semua fakta apapun, cenderung diperlakukan sebagai fiksi.
Untuk mendapatkan nilai estetika sebuah karya sastra, perlu adanya pemaknaan yang dilakukan oleh pembaca. Pemaknaan inilah yang disebut dengan konkretisasi. Konkretisasi, sebagai istilah pemberian makna dalam sastra, dilukiskan sebagai sikap estetik. Dengan konkretisasi tersebut, makna karya sastra yang sebelumnya tidak tampak dikonkretkan hingga dapat dipahami (Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, 2007). Dalam proses konkretisasi ini, faktor pembaca menjadi penting sebagai pemberi makna. Pemberian makna terhadap karya sastra tersebut tentu saja tidak bisa semaunya saja, melainkan terikat kepada teks sastra itu sendiri sebagai sistem tanda yang mempunyai konvensi sendiri berdasarkan hakikat karya sastra.
Istilah konkretisasi yang berasal dari Roman Ingarden ini diperkenalkan secara luas oleh Felix Vodicka. Menurut Ingarden, karya sastra memiliki struktur yang objektif, yang tidak terikat pada pembaca, tetapi sekaligus memiliki kemandirian terhadap kenyataan, bersifat skematik dan selektif, tidak pernah menciptakan gambaran dunia yang sesungguhnya. Setiap karya sastra mengandung unbestimmtheitsstellen atau tempat-tempat kosong yang pengisiannya terserah pembaca (Teeuw, 1988).
Melalui konkretisasi karya sastra oleh pembacanya, sebuah karya yang semula tidak pasti karena memiliki berbagai kemungkinan penafsiran, akan memperlihatkan makna sehingga mendapat nilai estetis. Dengan adanya berbagai tanda yang dihadirkan Agus Noor melalui unsur-unsur yang membangun cerita secara keseluruhan, dengan resepsi pembaca, ‘’KkdLJ’’ akan memperlihatkan titik terang.
Sebagai sebuah karya sastra yang merupakan objek estetis, ‘’Kunang-kunang di Langit Jakarta’’ (‘’KkdLJ’’) karya Agus Noor memuat tanda-tanda yang perlu dimaknai melalui proses konkretisasi untuk mengungkap makna teks secara keseluruhan. Pemaknaan terhadap tanda-tanda tersebut bersifat relatif, tidak ada sebuah kebenaran mutlak. Maksudnya, makna yang dihasilkan sepenuhnya bergantung pada horizon harapan pembaca, di dalamnya termasuk kompetensi kesastraan, yang terbentuk oleh pengalaman pembacaan masing-masing pembaca. Dengan kata lain, sebuah karya sastra dibaca dan dimaknai pembacanya dengan cara yang berbeda-beda. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa makna yang pada akhirnya diperoleh tidak objektif.
‘’KkdLJ’’ merupakan simbolisasi dari jiwa-jiwa yang melayang di setiap gedung, yang dulu menjadi situs pemerkosaan serta kemalangan yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Cerpen ini melukiskan realitas tragedi dengan cara-cara yang romantik, tetapi menggugah. Kunang-kunang tidak saja lahir sebagai romantika, tetapi menjadi simbol dan kenangan akan keberingasan sebuah situasi di masa lalu (20 Tahun Cerpen Pilihan Kompas: Dari Salawat Deadunan Sampai Kunang-kunang di Langit Jakarta, 2012:xi).
Cerpen ‘’KkdLJ’’ ini mengisahkan seorang wanita bernama Jane yang menghabiskan liburan bersama kekasihnya, Peter (seorang zoologis), di sebuah kota tua yang padat dan tidak terawat. Di kota itu banyak terdapat toko kosong yang terbengkalai dan rumah-rumah gosong bekas terbakar yang nyaris runtuh. Menurut Peter, di gedung-gedung gosong itulah kunang-kunang berkembang biak.
Kunang-kunang dan kenangan menjadi tema yang diusung dalam cerpen ini. Bagi sebagian orang, berbicara tentang kunang-kunang akan mengingatkannya pada kejadian masa silam. Demikian pula bagi Agus Noor yang menghadirkan kunang-kunang di tengah padatnya Jakarta, semata-mata adalah untuk mengingat kembali sebuah peristiwa. Maka dengan demikian, kunang-kunang pun kembali menjadi kenangan.
Kunang-kunang adalah binatang kecil sebesar lalat yg mengeluarkan cahaya berkelip-kelip pada malam hari. Binatang ini kerap disebut sebagai binatang kecil yang menyala, sebab kunang-kunang merupakan sejenis serangga yang dapat mengeluarkan cahaya yang jelas terlihat saat malam hari. Untuk menghasilkan sebuah sinar tampak, sel-sel di dalam ekor kunang-kunang harus memproduksi ribuan enzim luciferase. Di dalam setiap sel, enzim-enzim tersebut mencari pasangannya dan berikatan membentuk senyawa kimia yang disebut luciferin. Enzim luciferase mempercepat reaksi kimia dengan menggabungkan molekul oksigen dengan luciferin sehingga membentuk oxyluciferin. Di dalam reaksi, luceferin teroksidasi, yakni kehilangan sebuah elektron dan molekul-molekulnya berpindah ke tempat energi yang lebih tinggi. Ketika molekul-molekul yang penuh energi ini kembali ke tingkat energi yang lebih rendah (dalam keadaan yang lebih stabil), molekul-molekul tersebut melepaskan energi dan menghasilkan sinar atau cahaya (forum.viva.co.id). Cahaya kunang-kunang sebenarnya masih merupakan misteri yang belum benar-benar terpecahkan hingga saat ini. Namun, beberapa ahli sudah dapat memastikan bahwa sinar atau cahaya yang diproduksi tubuh kunang-kunang ini adalah untuk menarik perhatian pasangannya dan untuk menghindar dari predator yang dapat memangsa mereka.
Agus Noor memiliki banyak tujuan dalam mencipta cerpen ‘’Kunang-kunang di Langit Jakarta’’ ini. Memilih jutaan kunang-kunang yang menyerbu langit Jakarta di malam hari sebagai pembangun cerpennya, adalah sebuah upaya megetengahkan peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di Indonesia, khususnya Jakarta. Jane Jeniffer, si gadis berambut pirang, dan Peter Bekoff, seorang ilmuwan yang memahami seluk-beluk binatang, adalah dua orang tokoh yang memainkan peranan penting dalam cerita ini.
Gadis pirang yang menjadi tanda bahwa wanita itu bukanlah warga negara Indonesia menunjukkan bahwa peristiwa ini juga menggelisahkan warga asing di luar negeri. Hal tersebut menggambarkan bahwa peristiwa ini tidak hanya menjadi permasalahan dalam negeri. Namun, pada saat itu Indonesia benar-benar menjadi sasaran kemarahan dunia, sebab peristiwa ini sangat memalukan dengan adanya kejadian pemerkosaan dan tindakan rasialisme yang mengikuti peristiwa gugurnya pahlawan reformasi.
Cerpen ini memang tidak secara eksplisit memberikan uraian tentang peristiwa yang disorot dalam alur cerita. Namun, ada beberapa pernyataan yang merujuk pada peristiwa yang dimaksud, yaitu kerusuhan Mei 1998.
Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei hingga 15 Mei 1998. Peristiwa ini terjadi serentak di beberapa kota di Indonesia. Namun konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti yang menewaskan empat orang mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka tewas tertembak dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Pada peristiwa tersebut, para perusuh seolah tidak memiliki hati nurani. Selain melakukan penyiksaan dan perkosaan, mereka juga merusak, menjarah, bahkan membakar berbagai sarana pribadi dan publik dirusak.
Dalam cerita ini, roh perempuan korban perkosaan pada kerusuhan tersebut digambarkan Agus Noor menjelma menjadi seekor kunang-kunang yang terus berkembang biak hingga menjadi jutaan. Kunang-kunang jelmaan ini menyimpan dendam akan masa lalunya. Ia merasa kesepian, setelah empat tahun hidup sendiri dalam keterpurukan di gedung gosong yang sengaja dibakar para perusuh. Menjadi kunang-kunang adalah pilihan yang tepat bagi Agus Noor untuk menghidupkan kembali roh korban kerusuhan Mei 1998 tersebut. Cahaya yang dipancarkan binatang kecil itu pun berfungsi untuk menggiring pembaca pada peristiwa bersejarah itu melalui penokohan dalam cerita.
Latar gelap malamwaktu yang tepat bagi kehidupan kunang-kunangyang dipilih Agus Noor, merupakan lambang kemuraman yang dialami korban kerusuhan tersebut. Suasana malam identik dengan hal yang misterius dan suram, seakan tanpa masa depan. Hal ini menggambarkan hancurnya masa depan perempuan korban perkosaan tersebut.
Untuk mendobrak kesepiannya, si kunang-kunang menembus gelapnya malam. Ia memberanikan diri keluar dari persembunyiannya. Kunang-kunang itu tidak ingin berlarut-larut dalam kepedihan dan kesedihan. Ia memancarkan cahaya di pekatnya gulita, seakan memperlihatkan kebangkitan dari tahun-tahun yang telah membenamkannya.
Melalui Jane, Agus Noor membongkar rentetan peristiwa kerusuhan Mei 1998 tersebut. Jutaan kunang-kunang di langit Jakarta itu membawa Jane pada peristiwa yang dimaksud. Lentera kunang-kunang yang muncul dari perut binatang itu seolah menjadi pemandu bagi Jane. Cahaya yang dipancarkan menggiring Jane ke peristiwa kerusuhan. Rentetan peristiwa yang dialami korban perkosaan tersebut dapat dirasakan oleh Jane yang terhayut oleh kilauan sinar yang dipancarkan puluhan kunang-kunang tersebut.
Dari cerita yang dituturkan kunang-kunang kepada Jane mengenai kejadian yang dialaminya pada kerusuhan tersebut, tergambar bagaimana sadisnya hal yang menimpa kunang-kunang itu. Kunang-kunang itu adalah jelmaan seorang korban kerusuhan, seorang perempuan keturunan Tionghoa yang berkulit langsat. Ia menceritakan kepada Jane peristiwa yang dialaminya. Sebuah toko dijarah dan kemudian dibakar oleh beberapa orang yang mengendarai sepeda motor. Wanita itu lalu diseret masuk ke dalam toko yang dibakar tersebut. Ia diperkosa oleh beberapa lelaki bertopeng. Kemudian, para pemerkosa meninggalkannya di gedung yang terbakar. Setelah api padam, orang-orang menemukan tubuhnya hangus tertimbun reruntuhan gedung.
Setelah membaca cerpen ‘’KkdLJ’’ ini, terdapat harapan penulis sebagai pembaca cerpen bahwa pengarang memunculkan tokoh Jane dan Peter, serta kunang-kunang sebagai penyampai pesan. Tokoh-tokoh yang dibangun untuk memberi tahu pembaca bahwa di balik keindahan yang disuguhkan kunang-kunang ada rasa pahit dan pedih yang telah ditorehkan oleh para pemerkosa. Akibat peristiwa sadis yang menimpanya, si korban terpuruk selama bertahun-tahun di dalam kegelapan.
Tidak ingin berlama-lama larut dalam keterpurukan dan ingin memiliki arti dalam kehidupan, ia berusaha bangkit dengan memperlihatkan keindahan. Ia bahkan mampu memberikan kebahagiaan bagi banyak orang. Kunang-kunang tersebut bergerombol memancarkan cahaya yang indah, seolah tidak ingin kalah dengan bulan dan bintang. Namun, dengan pengalaman yang pernah menimpanya, kunang-kunang selalu waspada akan bahaya di luar sarangnya yang sewaktu-waktu bisa menimpanya. Rasa pahit dan racun yang dimiliki tubuhnya merupakan senjata untuk berjaga-jaga dari para pengganggu. Selain itu, para pengganggu pun harus bersiap mati dimakan sebagai penambah protein untuk membantunya berkembang biak, agar ia tidak lagi sendirian dan kesepian di alamnya.
***
*) Dessy Wahyuni, Rajin menulis esai. Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau ini tinggal di Kota Pekanbaru.