Bingkai-Bingkai Kajian Sastra dalam Konteks Pengembangan Pengajaran Sastra (II)

Suminto A. Sayuti

Sastra dan Nilai-nilai Kemanusiaan

Kegiatan terpenting dalam pelaksanaan pengajaran sastra di sekolah adalah usaha guru dalam mendorong para siswa agar mau, berani, dan mampu menyatakan diri dalam berbagai bentuk ekspresi sastra: siswa didorong untuk mengekspresikan diri seluas-luasnya. Sebagai salah satu bagian kebudayaan, sastra sudah ada dalam perjalanan peradaban manusia. Proses pendidikan, pengenalan, dan pemahaman terhadap sastra akan dapat memperkaya manusia sebagai pribadi dalam sebuah proses tegur sapa yang terus-menerus dengan dunia manusia dan kemanusiaan. Dalam kaitan ini, sastra berpotensi besar sebagai sumber nilai keba­jikan, baik yang berkenaan dengan kebajikan religius maupun sosial, yang pada gilirannya berfungsi menyeim­bangkan dimensi jasmaniah dan rohaniah dalam diri siswa. Kemampuan mengakrabkan diri dengan sastra pada gilirannya akan mengarahkan subjek-subjek yang terlibat di dalamnya memiliki kelembutan hati, ketajaman pikiran, dan kepekaan pera­saan.

Sas­tra tidak pernah memberi arah kebenaran dan nilai secara langsung sebagaimana agama memberikannya dalam bentuk-bentuk ekspresi ritualistik. Akan tetapi, sastra mengandung kebenaran sebagaimana hakikat kebenaran dalam agama. Karenanya, oleh sebagian orang sastra diyakini sebagai jalan ketiga dalam mencari kebenaran setelah agama dan filsafat. Kesadaran manusia dalam ber­agama adalah untuk mencari kebenaran mutlak, sedangkan kesadaran manusia dalam sastra adalah untuk mencari keindahan yang diarahkan pada kepe­kaan budi. Sebagai produk kehidupan, sastra mengandung nilai-nilai sosial, filosofis, religius, dan nilai atau norma lainnya. Sebagai bentuk seni yang bersumber dari kehidupan yang bertata nilai, pada gilirannya sastra juga dapat dimanfaatkan un­tuk membentuk sikap dan kepribadian siswa dalam proses pendidikan. Dengan demikian, tata nilai yang ada dalam sastra dapat diberdayakan untuk lebih memperkaya pertumbuhan sikap dan perilaku positif pada diri siswa, dalam rangka membentuk karakter diri sebagai manusia yang menyadari eksistensi kemanusiaannya. Dengan demikian, potensi naluriah dan nuraniah diharapkan mampu tumbuh dan berkembang secara wajar dan seimbang.

Pada hakikatnya kehidupan merupakan sebuah keseluruhan. Di dalamnya, manusia terlibat dalam proses eksistensial: ada dan mengada, berikut segenap kehendak dan kecenderungannya, berikut perjuangan-perjuangannya melawan ancaman “neraka” buat mencapai “sorga.” Karenanya, kompleks eksistensial keseharian pun acapkali menjadi keruh tak terpecahkan dan penuh warna, yang dalam keseluruhannya menjadi sumur inspirasi kreatif sastra yang tak habis ditimba: organisasi sosial, moralitas, serta tradisi dan pengetahuan. Hanya saja, karakter kehidupan keseharian keseluruhan seringkali hilang dengan mudah, tak terbedakan, dan putus-putus, tidak demikian halnya dengan sastra. Dalam kekonkretannya, sastra memberi kenikmatan spiritual, memanjakan pancaindera, dan yang jelas: mampu mencukupi dirinya sendiri. Betapapun tak sempurna dan abstraknya, sastra selalu menghasilkan efek situasional melalui kaidah transformasi dan regulasi dalam dirinya sendiri, di samping karena bersumberkan pada hidup insani berikut pengalaman dan dorongan religius, sosial, dan personalnya.

Dalam kehidupan keseharian, tindakan, penunaian tugas, dan praksis yang paling sederhana pun selalu bergantung pada konsep keteraturan dan keseimbangan nilai, yang berasal dari berbagai sistem abstrak, yakni sistem yang darinya realitas keseharian itu diorganisasikan dan diregulasikan secara sistematik, baik secara sosial maupun moral. Oleh karena itu, dari waktu ke waktu, pada berbagai sisinya, tindakan dan pengalaman keseharian tersebut menunjukkan adanya beragam jejak abstraksi, generalisasi, dan tipifikasi pemikiran, padahal seharusnya tetap bersifat konkret, heterogen, dan partikular. Terlepas dari intrusi prinsip-prinsip kehidupan tersebut, sastra mampu dan berhasil memelihara heterogenitas dan partikularitas karena menolak adanya regulasi dan sistematisasi. Sebagai salah satu manifestasi kesadaran, sejak semula sastra memang melawan segala bentuk abstraksi karena abstraksi hampir selalu membuat sensitivitas menjadi majal. Dalam sastra, kesan sejati dan pengalaman nyata selalu diupayakan untuk menjadi objek visi secara langsung. Oleh karena itu, pemikiran, idealitas, intelektualitas, dan generalitas yang bersifat mutlak ditentangnya. Penentangan ini tidak berarti sastra kehilangan kesadaran partisipatif dalam melandasi tindakan normatif. Sepanjang berkenaan dengan keseluruhan kehidupan yang konkret dan tak terserpih-serpih, kesadaran semacam itu tetap dijaga; apalagi jika sastra memposisikan diri sebagai “rumah besar” manifestasi dan medium empati bagi “keseluruhan warga-hidup,” serta merangkul berbagai pengalaman yang berasal dari tindakan-tindakan eksistensial.

Hakikat gejala sastrawi, dengan demikian, adalah keseluruhan pengalaman manusia yang bersumber dari keseluruhan kehidupan. Artinya, ia merupakan hasil dari proses dinamik dan dialektik-resiprokal yang melalui dan di dalamnya sang subjek kreator maupun reseptornya tidak terpisahkan dari dan berada dalam dunia kehidupan nyata: tempat keduanya tinggal bersama. Karya sastra yang baik meniscayakan tak terpisahkannya diri-subjek yang terlibat secara resiprokal. Dengan demikian, ia pun bisa diamati, ditafsir, dan dinilai bagi dirinya sendiri secara objektif pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain, ia memperoleh signifikansi, nilai, dan relevansinya dalam keterkaitannya dengan keseluruhan kehidupan. Relasi dialektik-resiprokal tersebut menjadikan “jagat” yang dibangunnya itu mampu menyuguhkan nilai emosional sejati, yakni nilai-nilai yang mampu membentuk dan meningkatkan taraf hidup dan kehidupan: berbudaya dan berperadaban. Suatu ketika bisa saja sastra secara formalistik tertutup di dalam dirinya sendiri. Dalam konteks yang demikian, sesungguhnya ia mewakili sebuah keretakan yang tak terelakkan dalam proses kehidupan seseorang. Dinyatakan demikian karena landasan objektif sebuah pengalaman tercerabut dari konteks pencerapan dan nilai, dan dihapus dari fungsinya. Artinya, dalam pemenuhan diri dan isolasinya, karya sastra hanya akan berakhir sebagai “busa bahasa, yang ditiup melambung, cuma kempes di udara:” betapapun mempesona dan menariknya, ia menjadi tak berguna karena kehilangan makna kemanusiaan.

Sastra akan mampu merefleksikan realitas secara penuh dalam cara yang hidup dan menyentuh apabila ia bersandar pada kenyataan berikut ciri-cirinya yang melekat. Pengabaian akan hal itu akan membuat representasi sastra kehilangan daya gugah. Bobot “jagat” sastrawi hanya diperoleh melalui keterlibatan langsung dan mendalam dengan kenyataan, dan bukan sekedar sebatas pada ciri-ciri permukaan. Dengan cara demikian, sastra mampu menembus jantung permasalahan hingga pada akhirnya mencapai intensitasnya secara penuh-menyeluruh. Intensitas yang penuh-menyeluruh ini bukan merupakan hasil penjumlahan bagian atau elemen-elemen jagat internalnya, melainkan diwarisi dari tiap-tiap bagian atau elemennya yang ada dan dimungkinkan. Kekuatan sebuah karya sastra setara dengan totalitas dan kesatuannya: struktur keseluruhannya sarat oleh hidup dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, apapun perubahan ataupun peringkasan yang mungkin dibuat atasnya, karya sastra yang bersangkutan tetap mampu mempertahankan vitalitas total dan kesatuan internalnya, serta tetap lengkap dan mampu berdiri sendiri sesuai dengan pola khas atau partikularitas yang menjadi miliknya.

Dalam kehidupan keseharian, seluruh pemikiran, perasaan, dan kehendak kita diarahkan pada satu realitas yang sama, yang membedakan hanya variasinya saja: pada dasarnya kita selalu dihadapkan pada fakta, pertanyaan, dan kesulitan yang sama. Karena itu, perjuangan kita diarahkan pada pemecahan permasalahan eksistensial secara menyatu dan tak tercerai-berai. Situasi ini merupakan dan menjadi situasi yang tak terhindarkan dalam melihat relasi resiprokal antara sastra dan kehidupan. Apapun bentuk tindakan kita dalam hidup keseharian, kita selalu berupaya untuk memahami chaos dan disharmoni, ketidakjelasan dan kekacauan sebuah realitas, dengan lebih baik. Realitas kadang sarat dengan teka-teki, dan seringkali mengancam. Kita pun berupaya memperhitungkannya dengan hati-hati agar berhasil menghadapinya. Dalam dan melalui sastra, kita berupaya dan mencoba untuk menemukan sifat dasar dunia yang harus kita hadapi dan bagaimana kita bisa bertahan hidup di dalamnya. Sebagai pencapaian budaya, karya-karya sastra adalah “rumah besar” berbagai pengalaman yang diarahkan juga pada tujuan-tujuan praktis. Hanya ketika dilakukan upaya-upaya khusus dan dalam kondisi sosio-historis yang khusus pula, sastra berpeluang dipisahkan secara eksistensial dari tempat ia disemai, berakar, tumbuh, dan berkembang. Dalam kaitan ini, sastra dinilai dan ditangani sebagai sebuah aktivitas independen yang memiliki hukum dan nilai-nilainya sendiri. Akan tetapi, sastra tetap merupakan capaian budaya yang tidak terpisah sama sekali secara radikal dari pengalaman praktis.

Sebutan-sebutan terhadap terhadap genre sastra tertentu: sastra agamis, fiksi sains, puisi filosofis, sastra dedaktis, novel sejarah, sastra psikologis; menunjukkan dan sekaligus membuktikan bahwa sastra merupakan salah satu sumber (ilmu) pengetahuan. Bukan hanya karena ia melanjutkan “kajian ilmiah” dengan cara melengkapi penemuan-penemuannya, melainkan juga karena ia menunjukkan keterbatasan-keterbatasan kajian ilmiah, yang seringkali “kehabisan tenaga” dalam melakukan sistemisasi realitas, dengan cara memberikan paparan pengetahuan tertentu yang tidak bisa ditelusuri di luar sastra. Melalui sastralah kita memperluas cakrawala pemahaman, meskipun pemahaman itu sendiri bukanlah abstraksi ilmiah yang sesungguhnya. “Penemuan-penemuan” yang dihasilkan oleh sastra terkait dengan berbagai fenomena merupakan hal penting bagi ilmu karena intuisi sastrawi menawarkan pandangan-pandangan yang bisa dijadikan “gapura agung” bagi kajian ilmiah. Dalam kaitan inilah dapat dipahami mengapa pemahaman Ben Anderson terhadap Indonesia, untuk menyebut sekedar misal, utamanya dalam kaitannya dengan “kuasa dan wibawa” politik, banyak ditopang dengan membaca karya-karya sastra. Tentu saja, dalam kaitan ini bukan fakta-fakta politik belaka yang dimaksud oleh Anderson, melainkan telaah terhadap prosesnya dan juga tafsir terhadap perjuangan kelompok-kelompok tertentu, yang kadang luput dari perhatian sejarah perpolitikan dan ilmu pengetahuan sosial. Di sisi lain, sastrawan-sastrawan yang karyanya “dimanfaatkan” untuk kepentingan itu niscaya juga menyadari adanya kekuatan tertentu sebagai fakta-fakta dalam sejarah politik, yang niscaya juga dapat diformulasikan dan dijelaskan secara ilmiah. Persoalan G30S/PKI seperti dalam cerpen karya Umar Kayam dan novel Ahmad Tohari merupakan misal lainnya lagi. Ilustrasi ini menegaskan bahwa novel modern dan landasan sosio-historis memang bisa saja menemukan titik temu. Apalagi jika disadari bahwa sastra dan ilmu berangkat dari persoalan dan bahasa yang sama. Implikasinya, seliar apapun imajinasi seorang sastrawan tidak akan “melampaui batas,” sebaliknya, sekecil apapun imajinasi tersebut selalu mengandung nilai-nilai kebenaran.

Sastra sebagai sastra (dalam madzab “seni untuk seni”) merupakan titik awal yang menunjukkan bahwa ia menyimpangi kebenaran keilmuan karena memang tidak berangkat dari ilmu dan tidak pula akan berakhir sebagai ilmu. “Goa-garba” yang melahirkan sastra adalah ruang-ruang spekulatif kebutuhan hidup, dan ia mendapati dirinya berada sejajar dengan ilmu karena peran fungsionalnya sebagai penerjemah sekaligus pemandu keberadaan manusia. Dalam kaitan ini, sastra hendaknya dipandang sebagai “teks” (baca: karya sastra sebagai artefak) yang selalu berhasil mencapai tujuan-tujuannya, yang jelas berbeda dengan “sastra” sebagai doktrin atau pengetahuan doktriner.

Perbedaan dan sekaligus persamaan antara sastra dan ilmu terutama karena sastra mampu memposisikan diri di atas struktur intelektual ilmu melalui jalan mengimitasi kenyataan: mimesis. Sementara itu, struktur intelektual ilmu cenderung dengan sadar mengubah berbagai fenomena menjadi prinsip dan kaidah, serta memperlakukan objek secara berjarak dengan ukuran-ukuran nilai tertentu. Seperti halnya dengan ilmu yang secara eksak mengukuhkan realitas dengan berbagai kategori yang diciptakannya, sastra juga mentransformasi, menyesuaikan, dan mengidealisasikan realitas. Keduanya tetap terikat pada realitas objektif. Karena itu, sifat realistis sastra pun se-realistis ilmu. Hal ini tidak berarti bahwa di antara keduanya tidak terdapat ketegangan: jarak antara subjek kreatif dan fakta objektif tetap ada. Artinya, sastra tetap merupakan suatu kaidah yang elemen-elemen pembangunnya berakar dari dunia pengalaman nyata, dan bukan hanya dari dunia ide yang super-inderawi ataupun super-alami —betapapun struktur keseluruhannya telah “dikelola” sehingga menjadi fantastis, atau bahkan: absurd. Ketika “pintu-pintu” lain telah tertutup, sastra mampu mencapai kebenaran lewat “pintu belakang” secara cerdas.

Pandangan yang menyatakan bahwa refleksi ilmiah terhadap realitas merupakan representasi fakta yang lebih dapat dipercaya ketimbang refleksi lain yang bisa saja menyimpang dan berubah-ubah dari realitas objektifnya, tidak sepenuhnya benar. Konsepsi ilmiah tentang dunia tidaklah lebih mendekati kenyataan ketimbang konsepsi sastrawi. Dalam kaitannya dengan pengetahuan ilmiah, kita cenderung menaksir terlalu tinggi elemen inventif, dan sebaliknya, menaksir terlalu tinggi elemen mimesis dalam sastra. Terlepas dari segala bentuk imajinasi-fantastik dan sifat berlebih-lebihannya, sastra juga terikat pada realitas, meski dalam cara yang berbeda dengan ilmu. Struktur berbagai genre sastra selalu dibangun berdasarkan susunan realitas. Dalam berbagai upayanya untuk membebaskan subjek dari rutinitas keseharian dan memunculkan realisasi-dirinya sendiri dalam sebuah dunia utopianisme yang bebas-lepas, sastra pun memiliki kebutuhan untuk selalu berpijak pada fakta yang ada dan pengalaman langsung.

Bersambung…

Bahasa »