Jones Gultom
Harian Analisa, 25 Sep 2011
Terlalu jauh tafsiran T. Agus Khaidir menanggapi polemik politik sastra yang digulirkan Yulhasni di ruang Rebana, Harian Analisa, beberapa minggu lalu. Meski membubuhkan tanda tanya dalam judul tulisannya, saya kira Agus Khaidir terjebak asumsinya sendiri. Politik sastra yang dimaksudkan Yulhasni, sebenarnya lebih kepada pernyataan retoris, jadi tak menentu arahnya. Mengait-ngaitkan konstelasi Lekra vs Manikebu dengan isu politik sastra, membuktikan dunia sastra kita (Medan) masih arogan.
Saya kira bukan di situ letak persoalannya. Jika politik sastra yang dimaksud Yulhasni lebih bersifat ajakan agar sastrawan mau memasuki ruang politik, kiranya perlu dipertanyakan. Politik seperti apa yang dia maksud. Karena sastra itu sendiri adalah politik, apalagi jika dia masih berbicara tentang persoalan sosial dengan berbagai fenomenanya. Apakah muatan politik dalam sastra itu muncul sebagai nilai atau hanya sebatas tematis, adalah hal lain yang bersifat teknis.
Harus saya akui, dalam kapasitas saya sebagai salah satu penjaga halaman sastra di Harian MedanBisnis, kebanyakan karya yang saya dapati memang cenderung menjauhkan diri dari hal-hal politis praktis. Itu jika yang saya maksud dengan politik, hanya menyangkut kebijakan-kekuasaan. Tema politik, motif serta kandungan yang ada di dalam karya-karya itu, lebih sekedar ungkapan personal penulisnya.
Tidak tepat, bila hal itu disebut karena ketidakmauan penulisnya terhadap wacana politik. Kalau pun kemudian karya itu dianggap jadi tak kontekstual, saya kira hal itu tergantung persfektif masing-masing orang. Saya lebih setuju jika karya-karya yang dimaksud Yulhasni itu tergolong kering karena miskin gagasan, terutama untuk kepentingan banyak orang. Tetapi belum tentu begitu untuk seni dan penulisnya sendiri.
Saya kira bukan soal politik , tetapi krisis kemanusiaan. Apakah sastra kita, terutama di Medan, memang masih bicara soal manusia dan kemanusiaannya? Merunut pahamnya, seni untuk seni atau seni untuk semua merupakan ungkapan dialektis, ketika di zamannya manusia mulai menggugat kemanusiaannya sendiri. Pasca renesains, seni mengalami pergeseran. Semula dia dikultuskan sebagai cara mendekati “keilahian” dengan konsep ide dan gagasan, kemudian berubah menjadi begitu taktis sebagai pendobrak kelahiran revolusi industri. Sejak itu seni menyempurnakan posisinya; vertikal-horizontal. Keduanya tak mungkin terpisah begitu saja. Rupanya sudah menjadi takdir, seni hidup dari dualisme itu.
Apa yang terjadi dalam dunia sastra kita dewasa ini hanyalah perulangan. Ketika dinamika sosial-politik begitu progresif, seperti yang terjadi belakangan ini, pelaku sastra menjadi gamang. Apakah menolak atau ikut di dalam situasi itu. Kemudian, pilihan itu seringkali tak menghasilkan apa-apa. Karena memilih pun masih menjadi persoalan, bagi kebanyakan sastrawan. Setidaknya menurut saya, hal itu disebabkan atas beberapa faktor.
Pertama, sebagai bangsa yang tak pernah selesai dengan ideologinya, masyarakat kita, termasuk pelaku sastranya, belum menemukan cara yang tepat ketika akan membahasakan politik dalam karyanya. Seringkali hal ini terjadi karena persoalan analogi, penafsiran maupun referensi yang tak cukup memadai. Selain itu, pola klasik sastrawan; intuisi dibangun atas persfektif tunggal kreatornya, sering menyebabkan pemaknaan atas ide itu justru semakin dangkal dari yang sebenarnya; sekedar sampai pada idiom-idiom, bersifat parsial dan tak jarang terjebak di dalamnya.
Sebagai contoh, kasus Gayus misalnya. Jika sastrawan sekedar menyorotinya sebagai praktik korupsi, dia tertinggal jauh dengan dinamika politik. Wajar saja, seringkali karya yang semula dimaksudkan untuk menyentil para politisi, oleh politisi itu sendiri, justru nyanyian nina bobok. Karenanya tak heran pula jika sastra (seni pada umumnya) di daerah ini, masih sering dijadikan “bulan-bulanan” oleh masyarakat di luar seni. Malah, oleh pihak-pihak tertentu, termasuk sastrawannya sendiri, kerap sekedar dijadikan proyek. Jadilah puisi masuk kantor dewan. Puisi masuk kantor Panwaslu.
Atau pembacaan puisi oleh pejabat dan politisi parpol. Padahal hati kecil kita sama-sama tahu, kegiatan-kegiatan itu hanyalah gombal. Jadilah maling teriak maling. Koruptor membaca puisi tentang korupsi. Sastrawan dengan penuh kesastrawanannya, masih saja minta dikasihani pemerintahnya, sambil membayangkan berapa besar honor yang akan dia peroleh. Satu lagi, dari mana ceritanya, seorang sastrawan yang sejatinya muncul karena kezholiman, malah mengiba-iba pula kepada masyarakatnya yang sudah tak bisa makan.
Mestinya seni hadir dengan bahasa yang lebih luas serta mendalam sembari tetap mengusung nilai-nilai humanisme yang universal. Dalam kevakuman hidup, seni harusnya harus menjadi alternatif, kalaupun tak selalu mungkin jadi solusi. Karenanya seni yang baik mesti merangsang munculnya kritik, ide dan gagasan. Mungkin bagi sebagian orang term-term ini terlanjur dikaitkan dengan terminologi politik. Muncullah asumsi, seni yang berpolitik adalah seni yang berani mengkritik. Padahal itu hanyalah bagian kecil dari bangunan seni itu sendiri. Saya membayangkan jika seni di Medan mampu mengusung kompleksitas itu, maka profesi seniman akan sangat diidam-idamkan, melebihi politisi. Barangkali itu sebabnya para senat di zaman Yunani Kuno lebih sering disebut seniman daripada politisi.
Kedua, dikotomi Lekra dan Manikebu seperti yang disinggung Khaidir, telah membuat perspektif pelaku sastra kita menjadi abu-abu. Seolah-olah sastra yang berpolitik itu seperti yang diperlihatkan Pram. Dengan begitu, puisi-puisi Sapardi dianggap sangat apolitis.
Karenanya ada kecenderungan para sastrawan kita membuat opsinya sendiri-sendiri. Ini yang kemudian biasanya menjadi “kerjaan” akademisi dan ilmuwan sastra. Bukan malah menguatkan opsi itu, sebaliknya, justru keseringan membunuhnya. Perbandingan yang dipakai juga cenderung tak relevan. Ini pula yang membuat kritik seni kita inkonsisten. Di satu sisi dituntut kontekstual sastrawannya tetapi malah membandingkannya dengan karya sastrawan masa lalu.
Ketiga, misi kemanusiaan yang memang belum populer di kalangan sastrawan kita. Menurut saya inilah faktor terpenting yang justru sering diabaikan sastrawan. Sastra sebagai alat pencerahan masih belum dimaksimalkan dengan baik. Tentunya konsekuensi dari misi kemanusiaan itu adalah karya. Kebanyakan motif seseorang menjadi sastrawan lebih karena menganggap profesi ini menyiratkan kebebasan. Karenanya wajar jika karya sastra di Medan sering tak memuaskan kemanusiaan kita. Mungkin inilah yang dipahami Yulhasni, sehingga dia merasa harus memanggil kembali para sastrawan untuk pulang pada tugas politiknya.
Tanpa Identitas
Hal lainnya, adalah sastra di Medan tumbuh tanpa identitas. Identitas yang saya maksud menyangkut gagasan yang diusung para sastrawannya. Apa jadinya jika sebuah produk kebudayaan, yang konon diolah melalui pengalaman batin dan impresi yang cukup dalam, dilahirkan tanpa tujuan. Inilah yang membuat, karya-karya para sastrawan nyaris seragam. Situasi ini semakin diperparah dengan arogansi media massa. Seperti kita sadari, sentralisme di negara ini menyuburkan berbagai pengkultusan, termasuk dalam dunia sastra.
Akibatnya, sastrawan kita tak terbiasa survive dengan kekuatan kreatifnya, yang nantinya akan menggambarkan identitasnya itu. Saya juga tak menafikan pentingnya standarisasi sebuah media, tetapi jika hal itu dimanfaatkan sebagai motivasi. Selain itu, di internal sastrawan sendiri, banyak yang lari dari tanggungjawab. Ada yang merasa bukan sastrawan, tetapi ketika hal itu diusik, dia merasa tersinggung.
Lebih penting dari semua itu, apakah seorang sastrawan sungguh memiliki kepekaan sosial dalam dirinya? Jika memang demikian, kalau kemudian karyanya tak mendapat porsi dalam perebutan “halaman” itu, kenapa tak menjadikan dirinya sendiri sebagai media bagi karya-karyanya? Dengan begitu ada keterikatan yang harmonis antara karya dengan penulisnya.
Di Medan, sikap seperti itu termasuk juga penyebab, mengapa sastra kita kehilangan gregetnya. Kehilangan identitasnya. Kehilangan kemanusiaannya, yang oleh Yulhasni disebut kehilangan tujuan politiknya.
***