Membangun Dialog Antargenerasi Penyair di Yogya

Margita Widiyatmaka

Setahun (lebih sebulan) Pembacaan dan Diskusi Puisi PKKH (Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri) UGM (Universitas Gadjah Mada) dikompilasi menjadi sebuah buku “DIALOG : Setahun Diskusi Puisi, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada” yang diluncurkan Minggu malam 30 Juni 2013 di PKKH UGM.

Saya tidak akan meresensi buku tersebut, tetapi saya merasa sangat mengapresiasi dan salut terhadap model dialog/diskusi yang menampilkan para penyair dari berbagai generasi dengan masing-masing keunikan mereka. Kegiatan ini dimulai dari Edisi Coba-coba (Edisi Ro Kancane-komunitas di Facebook) tanggal 28 Mei 2012, Edisi #1 dan seterusnya, sampai dengan Edis #12 tanggal 29 Mei 2013, nampaknya merupakan secercah harapan bagi tumbuhnya dialog antargenerasi penyair. Saya yang kebetulan mengikuti setiap bulannya acara tersebut menjadi salah satu pengunjung yang merasa menikmati penampilan 13 (tiga belas) penyair dari generasi (tahun kelahiran) yang berbeda-beda, dari yang termuda (Mutia Sukma, kelahiran 1988) sampai yang tertua (Iman Budhi Santosa, kelahiran 1948). Ketiga belas penyair tersebut adalah Indrian Koto, Iman Budhi Santosa, Tia Setiadi, Sutirman Eka Ardhana, Mutia Sukma, Hamdy Salad, Ulfatin Ch., Mustofa W. Hasyim, Agus Manaji, Komang Ira Puspitaningsih, Otto Sukatno CR, Kedung Darma Romansha, dan Joko Pinurbo. Kita dapat menikmati sekaligus mengapresiasi keunikan puisi-puisi mereka. Misalnya, Kedung Darma Romansha menampilkan mitos dalam beberapa puisinya dengan perpekstif baru, Indrian Koto melukiskan dan mempertanyakan perubahan kampung kota tempat tinggalnya, Iman Budhi Santosa berpuisi penuh imaji tradisi yang misteri, Mustofa W. Hasyim mengekspresikan puisi-puisinya yang realistik-sufistik, Tia Setiadi menggunakan “Tangan Yang Lain” (Toni Morisson, novelis Afrika-Amerika) menginspirasi salah satu puisinya dengan judul yang sama (Tangan yang Lain, Buat: Toni Morisson), Joko Pinurbo tampil dengan puisi-puisinya yang bergaya “telling story” dengan tema-tema sederhana menjadi puisi-puisi yang luar biasa, “cethar membahana”.

Para penyair menyadari betapa mahalnya nilai (makna) kata dalam puisi. Dalam hal ini nilai lebih bermakna daripada sekedar label harga. Nilai seorang penyair pun lebih bermakna daripada label harga sebagai penyair. Saking tingginya nilai itu, sehingga diberi awalan “tak” pun menjadi semakin bermakna atau tak ternilai harganya.

Semua itu menjadi catatan menarik selama setahun perjalanan Pembacaan dan Diskusi Puisi PKKH UGM. Yang lebih menggembirakan, cara pembahas mengapresiasi puisi mereka tidak sebatas menyanjung atau memuji, tetapi juga mengritik meski tak langsung atau harus “mlipir-mlipir” (melalui celah-celah yang mengenakkan) untuk menyatakan puisi mereka kurang/belum berhasil.

Yang perlu kita acungi jempol, meski kendala dana selalu menjadi masalah, tetapi acara rutin tersebut tetap terselenggara dengan baik. Menurut Prof. Faruk HT, dana kegiatan ini sementara masih di-”backup” pihak Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. FIB merasa paling diuntungkan oleh kegiatan ini, karena selalu melibatkan salah satu mahasiswanya sebagai pembahas. Pembahas dalam hal ini berasal dari praktisi (penyair) dan akademisi (mahasiswa). Sebagai kegiatan ekstrakulikuler mahasiswa, tentu forum ini diharapkan akan terus berlangsung sebagai sarana pembelajaran (asah, asih, dan asuh). Kita pun perlu mengapresiasi peran Prof Faruk HT, dan anak buahnya (mahasiswa S2 FIB UGM), sebagai kapten sekaligus penjaga gawang acara ini.

Kegiatan tersebut akan diserahkan ke PKKH UGM, apabila usulan dana kegiatan telah disetujui Universitas. Beralihnya pengelolaan ini (dengan format apapun, yang penting masih terkait dengan sastra) mestinya masih melibatkan mahasiswa maupun seniman (termasuk penyair).

Pembacaan dan Diskusi Puisi PKKH UGM, salah satu upaya membangun dialog antargenerasi penyair di Yogya, yang menjembatani kesenjangan antargenerasi yang berbeda, yang menguji kesetiaan untuk saling menyapa.

Akhirul kalam:
Tiada mata yang terarah, kecuali yang jeli
Tiada kata yang terindah, kecuali puisi.

http://www.kompasiana.com/margitawimaka.blogspot.com