Triyanto Triwikromo
www.suaramerdeka.com
Apa jadinyan jika Pak Piek Ardijanto Suprijadi, lelaki tua yang setia berpuisi hingga hari tuanya itu, tidak tinggal di Tegal? Apakah antologi 12 penyair Indonesia Dari Negeri Poci bisa terbit? Apakah Tegal bisa ingar-bingar dengan peluncuran perdana buku yang dicetak secara mewah itu?
Barangkali tak semua dari kita bisa dengan segera menjawabnya, tetapi Handrawan Nadesul, seorang penyair dokter yang puisi-puisinya termuat dalam Dari Negeri Poci punya jawaban yang taktis, “Spirit Tegal, spirit Pak Piek, telah kami pinjam untuk menerbitkan buku ini. Spirit itu pulalah yang menjadikan acara di Tegal ini menjadi sedemikian meriah”.
Handrawan tidak salah. Karena seorang sastrawan gigih bernama Piek Ardijanto Suprijadi-lah beberapa waktu lalu ada lomba baca puisi dengan hadiah total 1,5 juta, ditutup malam peluncuran perdana antologi Dari Negeri Poci (31/7), dan sarasehan pada pagi harinya.
Malam Peluncuran
Ada isu yang menarik ketika Dari Negeri Poci, yang memuat puisi 12 penyair Indonesia (Adri Darmaji Woko, Handrawan Nadesul, Bambang Priyono Soediono, Dharnoto, Eka Budianta, Kurniawan Junaedhie, Oei Sien Tjwan, Piek Ardijanto Soeprijadi, Rahadi Zakaria, Rita Oetoro, Syaifuddin A Ch, dan Widjati) hendak diluncurkan. Menurut Suriali Andi Kustomo, penyair asal Tegal yang kini bermukim di Semarang, ada kemungkinan bakal terjadi insiden. “Mereka yang ada di buku ini bukan penyair Tegal. Ini akan digugat oleh para penyair Tegal, karena mereka berani mengklaim seakan-akan berasal dari Tegal dengan membuat buku Dari Negeri Poci. Dan bicara tentang poci, tentu tak bisa dilepaskan dari Tegal”.
Apakah insiden itu kemudian benar-benar menjadi kenyataan? Hampir, tetapi tidak sampai terjadi. Mungkin karena Wali Kota kemudian ikut membaca, mungkin juga karena Dandimnya juga tak mau ketinggalan. Atau karena ada pula seorang rohaniwan yang terlibat dalam acara itu. “Ya, para penyair muda Tegal jadi lupa pada gugatan mereka, karena terkesima pada para pejabat yang mau baca puisi,” ujar salah satu sumber.
Dan acara memang akhirnya menggelinding lancar. Diawali acara sampingan semacam lomba baca puisi dengan materi buku yang hendak diluncurkan, didahului pembaca-pembaca puisi dari kelompok Revitalisasi Sastra Pedalaman, dan baca puisi para pejabat. Kejutan pertama muncul ketika Piek Ardijanto Soeprijadi naik ke panggung. Dengan suara yang gemetar dan seperti menahan marah, dia berusaha membela ke-12 penyair dari gugatan para penyair muda Tegal yang didengarnya. “Dalam hujan yang lebat, mereka datang dari Jakarta ke rumah saya. Malam itu mereka mengajak saya ke Guci. Sebenarnya saya tidak mau, tetapi mereka memaksa saya untuk berhujan-hujan ke sana. Disanalah mereka bicara tentang spirit Tegal, disanalah kemudian timbul kesepakatan untuk menerbitkan antologi,” tandasya.
Untuk sesaat penonton diam. Meski begitu, ada pula yang nyeletuk, “Ini pembelaan paling kampungan!”
Untunglah Piek tidak mendengar, hingga dia masih bisa melanjutkan sambutannya. “Mereka tidak pernah saya ajari untuk membikin puisi. Tetapi mereka yakin, Tegal dan saya setidaknya telah melahirkan sebuah spirit bagi mereka untuk terus menulis puisi dan menerbitkannya dalam kumpulan ini”. Usai pembelaan itu, acara pun mengalir lagi.
Giliran selanjutnya adalah Dharnoto yang mempertunjukkan musikalisasi puisinya dan puisi Kurniawan Junaedhie. Pentas ini malah memunculkan kecaman-kecaman. Yono Daryono, sutradara teater, menganggap yang dipentaskan Dharnoto tak lebih dari pertunjukan grup vokal. “Saya sedih melihat Dharnoto yang seorang teaterawan kok membaca puisi seperti itu. Ini pelecehan terhadap Tegal, kata Yono. Pendapat yang senada juga muncul dari YY Haryo Guritno dan Sony Serenada, salah seorang penyiar di kota itu. “Dengan dilagukan seperti itu, puisinya jadi hilang,” papar Sony.
Mendengar berbagai kecaman, kalangan penonton kemudian terbagi menjadi dua kubu. “Namanya saja musikalisasi puisi, tentu yang terdengar sebuah lagu,” sungut seorang ibu yang menggendong anaknya, “mentang-mentang orang teater, ngomong seenaknya sendiri”.
Suasana pun muram. Ketika Rahadi Zakaria membaca puisinya, penonton tak tergelitik untuk merespons. Untunglah, malam itu ada Widjati, penyair tua Tegal yang nyentrik. Dia menyelamatkan pentas itu dengan gayanya yang khas. Penonton pun memberi aplaus.
Keresahan
Inilah puncak acara yang sebenarnya. Di sebuah kebun yang luas milik Sentot Susilo, Direktur Radio Vitra Angkasa, yang bekerja sama dengan Suara Merdeka serta sponsor lain, dialog-dialog bernas muncul. Ada yang menyinggung tentang posisi kesastraan kita dewasa ini. Ada yang menyinggung keterlibatan penyair di dalam masyarakat yang sakit. Ada pula yang bicara tentang pemasaran sastra.
Handrawan Nadesul, misalnya, mempertanyakan posisi kesastraan kita. “Kesastraan kita bagaikan bola salju yang menggelinding, tetapi pelan-pelan,” ungkapnya. Oleh F. Rahardi, pernyataan itu dijawab dengan santai sekali. “Itu terjadi karena sebagai penyair kita tak bisa menggelinding dengan kencang”.
Tentu saja Handrawan tidak puas. Dan dia pun berkomentar lagi. “Bola salju itu ada penerbit, ada media massa, dan ada penyair serta sastrawan. Tetapi selama ini kita kurang memperhatikan fungsi penerbit dan media massa. Hampir semua usaha muncul dari penyair dan krena penyair tidak kuat, akhirnya usaha itu sering mengalami sebuah jalan buntu,” tandasnya.
Lagi-lagi F. Rahardi menyambar pernyataan Handrawan dengan spontan.”Media massa itu kan punya hukumnya sendiri, punya kebijakan sendiri. Alternatif yang terbaik adalah penyair harus masuk ke media massa dan mewarnai media massa itu dengan sajak-sajaknya. Kita jangan lagi memosisikan penyair dan puisi secara salah”.
Sayang sekali, dialog itu selesai sampai di sini. Karena secara tak terhindakan, Wiyono salah seorang penata artistik film yang pernah mendapatkan Citra, telah memunculkan persoalan baru. Dia bertanya tentang keterlibatan pejabat di dalam malam peluncuran perdana Dari Negeri Poci. Oleh Oel Sien Tjwan, pertanyaan itu dijawab dengan nada humor. “Para pejabat itu komunikatif di dalam menanggapi kami. Dan itu lucu, bila diteruskan mereka akan bisa jadi pelawak”.
Halim HD yang biasanya serius pun gatal untuk melucu ketika harus menanggapi pertanyaan Wiyono. “Siapa dulu dong sutradaranya?” katanya sambil melirik Yono Daryono. Dijawab seperti itu, Wiyono tidak marah. Dia malah berteriak, “Baik, Baik, Semoga Tegal banyak melahirkan pelawak”.
Setelah kelucuan reda, muncul lagi sebuah pertanyaan yag menggugat. “Penyair itu sering mengeluarkan petuah-petuah, sering bicara tentang kemiskinan, perdamaian, tetapi tanggung jawab mereka terhadap semua itu mana?” tanya seorang peserta sarasehan. Eka Budianta mendapat giliran untuk menjawab.
“Ini pernyataan yang bagus,” katanya. “Pernyataan ini meletakkan kesastraan pada masalah yang lain”.
Eka kemudian mencoba menjelaskan, penyair selalu terlibat pada apa yang tengah dialami masyarakatnya. “Ketika pemerintah berusaha mengentas kemiskinan, penyair sudah lebih dahulu memikirkannya. Dan sejak dulu, sajak-sajak Rendra sudah bicara tentang itu semua. Penyair itu penyampai keindahan yang senantiasa menjadi nurani zaman. Ia pasti akan terlibat dalam masalah yang paling krisis sekalipun”.
Jawaban Eka ternyata ditanggapi secara lain oleh Handrawan Nadesul. “Harus dibedakan dong antara estetika dan etika. Fungsinya jangan dibaurkan,” katanya.
Sekali lagi, dialog semacam ini tak jadi runcing. Sebuah persoalan tiba-tiba menyelonong dan mengaburkan persoalan yang pertama atau kedua. Karena, F. Rahardi secara persuasif memunculkan kasus pemasaran sastra. Dia bilang, sekarang bukan saatnya lagi penyair merengek-rengek untuk diterima media massa. Sudah saatnya para penyair menerbitkan karyanya sendiri dalam bentuk buku. “Ini harus kita biayai sendiri. Murah, hanya 1,5 juta, kita alkan memiliki sebuah antologi,” katanya.
***
Dijumput dari: http://frahardi.wordpress.com/2011/06/24/mempertanyakan-posisi-penyair-tegal/