Saut Situmorang: Buku 33 Tokoh itu “Sampah”

Wawancara Ranang Aji SP dengan Saut Situmorang
koranopini.com

KoPi, Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia melahirkan kontroversi dan dianggap berpotensi menodai sejarah sastra Indonesia. Setelah wawancara KoPi bersama Jamal D Rahman beberapa waktu lalu, pelbagai tanggapan kelompok kontra semakin mengeras. Berikut adalah wawancara KoPi dengan salah satu tokoh pembuat petisi penolakan buku tersebut; Saut Situmorang. Dalam kesempatan yang sama, Penyair dengan tradisi kiri ini menganggap tuduhan kontra demokrasi Denny JA terhadap dirinya sebagai pemutarbalikan fakta.

“Sejak bulan Mei saya menulis komen di situs Denny JA, komen saya tidak pernah dimuat karena tidak memuji-muji dia”, ucap Saut. Fakta kecil ini menunjukkan siapa yang sebenarnya tidak demokratis.

Berikut adalah wawancara selengkapnya berkaitan dengan penolakan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia. Wawancara ini juga dimaksudkan sebagai pemenuhan kaidah jurnalistik cover both-side.

Ranang Aji SP (RASP) : Reaksi temen-temen dianggap berlebihan. Begitu ya?

Saut Situmorang (SS) : Bagi tim 8 pasti sangat berlebihan, kalau mungkin mereka tidak menduga kan? bahwa reaksi dari dunia sastra Indonesia akan begitu. Bagi kami, itu sangat wajar. Reaksi seperti itu sangat wajar karena memang yang sedang direspon ini adalah suatu usaha manipulasi sejarah yang bisa dikatakan hampir tidak pernah terjadi dalam sejarah sastra Indonesia. Jadi, makanya, reaksinya kita lihat kan reaksinya lintas komunitas? Bahkan para perintis petisi itu, kalau kau lihat komposisi orang-orangnya, saya, Faruk HT, Nuruddin Asyhadie, Eimond Esya itu berbeda-beda. Itu bukan dari satu komunitas atau pun dari satu ideologi. Kalau di luar isu ini, mungkin kami perang. Jadi kau bisa bayangkan reaksi itu lintas komunitas, lintas ideologi. Sangat berlebihan memang iya.

RASP : Dalam demokrasi pendapat mestinya sah-sah saja, kenapa tidak membuat buku tandingan? Saya dengar sudah ditawari membuat buku yang sama.

SS : Itu Orang yang punya ide seperti itu, satu disamping naif, itu penipu. Pertama, Buku itu tidak kami anggap sebagai buku, itu cuma dusta. Makanya kami menulis petisi. Kalau buku itu masih kami anggap buku, tidak akan kami petisikan seperti itu. Kedua, kalau kita membaca isi petisi, itu secara sangat hakikat untuk dibicarakan hal-hal yang sebenarnya diklaim oleh buku itu sendiri. Jadi kita meminta pembaca untuk membaca buku itu, sampah menurut kami itu, dari perspektif yang buku justru itu tawarkan, kriteria-kriteria yang mereka berikan dalam melakukan seleksi. Jadi kalau kita bilang, itu buku dibalas buku, kita sudah mengakui kalau buku itu memang buku, kita tidak mengakui itu buku, ini persoalannya.

Bagi kita, itu dusta sejarah. Bahkan covernya aja dusta. Covernya itu milik pelukis, Hanafi, temen juga, yang dicuri. Hanafi tidak diberi tahu. Dan Hanafi mengkontak mereka. Sampai yang saya tahu, mereka enggak pernah merespon. Itu kalau enggak salah Hanafi wawancaranya di sebuah portal berita apa gitu, tapi istrinya menulis juga di Facebook, di status. Emang benar. Lukisan itu diambil dari buku. Buku ini kerja sama antara Hanafi dengan orang yang nulis novel Chaibi, perempuan itu siapa namanya, lupa aku namanya. Jadi itu salah satu ilustrasi dalam buku ini bukan anak, diambil dari situ. Bahkan kalau kita ngeliat di kolofon buku, lukisan itu enggak ada judulnya. Kan biasanya orang, oh, ini lukisan judulnya botol karya…kan gitu? Jadi bahkan dari covernya aja, dia udah enggak benar, apa yang mau direspon coba? Itu pencurian, itu kalau di luar, itu kedelapan orang itu sudah masuk penjara itu.

RASP: Membredel buku bukannya merusak logika demokrasi?

SS: Siapa yang membredel buku? Nah ini persoalannya. Kita dalam petisi itu, menganjurkan kepada pemerintah, yaitu Depdikbud. Kenapa Depdikbud? Karena buku ini direncanakan untuk menjadi bacaan resmi di kurikulum sekolah-sekolah. Nah makanya kita pakai Depdikbud yang merupakan otoritas untuk buku itu, supaya menilai kembali buku ini, kan begitu? Menilai kembali buku ini pakai parameter buku itu sendiri. Nah itu terserah Depdikbud siapa yang akan dia pilih untuk membaca kembali buku ini. Nah kalau dari hasil bacaan ini menunjukkan buku ini adalah sampah, tarik aja buku ini. Buku ini kan berbahaya. Kita tidak ada yang bilang memberangus. Coba baca aja petisinya. Mereka itu membalik-balikkan aja. Petisinya tidak ada yang bilang seperti itu. Kita menganjurkan buku ini dibaca kembali. Dibaca dalam konsep kritik sastra, benar-benar metodologinya jelas. Dari pembacaan ini hasilnya kalau negatif, buku ini jangan dijadikan pegangan. Karena buku ini bukan buku, sampah… Berbahaya buku ini kalau masuk ke sekolah-sekolah karena isinya tidak benar. Mereka menciptakan sejarah baru sastra Indonesia. Dan yang luar biasanya ada nama Denny JA, kita enggak tahu siapa Denny JA dan belum ada kesepakatan bahwa yang dia tulis adalah puisi. Semua orang-orang, yang menulis baik-baik tentang puisinya itu dibayari dia. Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calsoum Bachri, Putu Wijaya, dibayar-bayar dia. Masak senior dibayarin? Nah ini persoalan. Belum lagi banyak sekali tokoh-tokoh yang sebenarnya sangat berpengaruh tidak masuk ke buku. Contohnya Sitor Sitomorang ,penyair itu.. siapa yang enggak kenal Sitor Simorang? Tidak masuk ke buku itu. Saya baca, saya punya bukunya, saya baca alasan mereka. Alasannya cuma sederhana karena Sitor lebih banyak tinggal di luar negeri. Loh ngapain?… Loh kalau emang dia tinggal di surga pun kan selama dia bisa menulis, orang masih bisa membaca karya dia, selama dia belum mati, kan begitu? Dan satu lagi, mereka… kalau kita bicarakan sejarah sastra Indonesia, salah satu orang yang sangat berpengaruh bagi pengajaran sastra dan bahasa Indonesia.. itu orang Belanda, namanya A. Teeuw. Semua orang yang pernah belajar sastra Indonesia di Indonesia pasti akan baca buku A. Teeuw, minimum “Pokok dan Tokoh”. Bahkan, H.B. Yasin baca itu, tapi nama A. Teeuw tidak masuk dalam daftar 33 itu. Alasannya, karena A. Teeuw itu orang asing. Oke… A. Teeuw orang asing, tapi di dalam tim 8 ada orang asing, Berthold Damshauser, orang Jerman dan bukan ahli bahasa Indonesia. Dia cuma penerjemah biasa. Dia bukan ahli Indonesia, saya kenal dia. Kok bisa dia masuk jadi tim juri? Di antara tim 8 itu? Dia orang asing, nah ini kan aneh? Tabrakan toh? Di satu sisi ada tokoh besar yang diakui semua orang sangat berpengaruh di sastra Indonesia, namanya A. Teeuw, tidak dimasukkan namanya karena katanya orang asing, sementara di tim 8 juri itu ada orang asing. Dan orang asing ini sama sekali bukan ahli Indonesia, dia cuma penerjemah. Dia bisa bahasa Indonesia gitu lah, bukan ahli. Nah, kalian enggak lihat itu tabrakan? Tabrakan semua itu, mulai dari cover sampai komposisi tim 8 itu semua tabrakan. Isinya liar. Wiji Tukul enggak masuk, coba kau bayangkan. Wiji Tukul pengaruhnya di kalangan aktivis. Aktivis mungkin enggak baca puisi Chairil. Tapi mereka tahu Wiji Tukul, dan satu pernyataan Tukul dipakai menjadi slogan kan? Hanya ada satu kata ‘lawan’ iya ndak? Dia enggak masuk dan tidak ada penjelasan mengapa tidak masuk. Denny JA masuk (Ketawa). Nah itu loh… itu aja sederhana… belum yang lain? Banyak sekali… banyak sekali.

RASP: Petisi yang mendorong pemerintah untuk menilai buku itu, kayak memenempatkan politik sebagai panglima?

SS: Ya memang , politik memang sebagai panglima. Dari dulu, dimana-mana politik sebagai panglima. Sejak 65 sampai sekarang, politik sebagai panglima dalam kebudayaan Indonesia. Kalau kau tahu sejarah Indonesia ya… sejak 65 itu pengarang Lekra tidak ada. Kau belajar sastra Indonesia enggak? Nah, pernah enggak kau baca pengarang Lekra? yang kau baca kan pengalamannya Manikebu kan? Atau yang diberikan Horizon? Kemana pengarang Lekra? Padahal mereka ada kan? Kecuali Pramudya, karena Pramudya terlalu besar. Nah, kemana yang lain-lain? Kalau kau baca buku sejarah sastra Indonesia, sebelum 65 mereka ada semua karena mereka ada. Begitu 65, begitu menang Manikebu dan Orde Baru, tiba-tiba aja menghilang namanya. Ini politik sastra, ini panglima bagi politik sampai sekarang. Coba kau lihat karya-karya yang mucul di Horizon. Ada enggak karya-karya yang realis? Semuanya eksperimental. Dan sejak tahun 66, semua pengarang Indonesia yang dianggap pengarang besar itu adalah pengarang yang eksperimental. maksudnya yang enggak menulis apa-apa, yang menulis non-sense, misalnya kayak Surtadji kan nulis non-sense. Danarto, dia nulis apa? enggak ada.

RASP: Sastra gelap ya..

SS: Nah itu dianggap dahsyat. Sementara orang yang nulis benar-benar itu enggak dianggap apa-apa. Kuntowijoyo enggak pernah dianggap pembaharu kan? Atau pengarang-pengarang Islam, ada enggak yang pembaharu? Kenapa pengarang-pengarang yang enggak jelas ini, yang tidak ada apa-apanya dilakukan tiba-tiba jadi pembaharu? Itulah politik kebudayaan. Yang seperti saya bilang tadi di buku Wijaya Herlambang itu sejak 1965 ya begitu. Nah, cuma mereka ini, selalu mengklaim, selalu menuduh memfitnah Lekra itu lah yang seperti itu. Lekra kan sudah habis? Ada yang dibunuh, ada yang di buang ke pulau Buru. Mereka tahanan politik lagi.. gila banyak susah ini… Pramudya, sampai sekarang dilarang kan karya dia, walaupun ironisnya buku tetap terjual, sampai sekarang di kurikulum enggak boleh karya Pramudya dipelajari. Itu bukan politik? Itu politik selera lagi. Selera kita ditentukan oleh mereka. Apa yang harus kita buat ditentukan. Wah itu dahsyat banget. Kelompok ini sangat terkenal, kelompok Manikebu, ini kan anak cucunya kelompok Manikebu Horizon, orang-orang seperti Jamal D Rahman ini kan anak kecil, malu ni aku, Agus R Sarjono, Rahman Ismahayana, Acep Zamzam Nur, itu temen-temen semua. Kenal semua aku… Johny. Ini kan orang-orang, terus terang saja ya… secara kritik sastra, ini ke delapan orang ini enggak ada, enggak mampu membahas karya. Mereka sebagai pengarang mungkin oke, nah gitu. Harus dibedakan, pengarang yang menciptakan karya sendiri dengan orang yang menganalisis karya sastra saja itu berbeda. Jangan dianggap karena dia seniman dia bisa langsung membahas karya orang, belum tentu. Dan kedelapan orang, karena saya kenal benar enggak mampu. Makanya kalau anda baca buku itu, itu sama sekali tidak ada ciri-ciri sastra. Jadi mereka itu sama seperti menulis feature. Kalau anda tahu Pokok dan Tokoh, ini siapa, ini Ranang… ini gini gini… baru kutip… menurut anu… ini gini gini. Gitu aja kok isinya. enggak ada memang membahas misalnya Chairil itu pengaruhnya di mana… begini karena begini dia begini… enggak ada. dia itu cuma menuliskan lahirnya di mana, besar di mana, curi buku di mana. Menurut penulis ini, ini hebat… Cuma begitu kok. Itu aja isinya buku itu. Padahal, mereka mengatakan ini paling berpengaruh. Kalau saya bilang anda paling berpengaruh, saya kan harus buktikan di mana anda paling berpengaruh, kan gitu? Oke, untuk menguatkan saya harus kutip orang, tapi saya yang membuktikan, begini loh… ini jadi gini gini.

RASP: Ini politik dagang juga?

SS: Itu sudah politik. Makanya kita menyimpulkan itu bukan buku. Ini proyek besar, terutama karena ada nama Denny J.A di situ. Ini proyek besar yang tujuannya, satu, jelas ini menipu sejarah sastra Indonesia. Yang kedua, harus di ingat tahun depan ada yang namanya book fair di kota Frankurt, di Jerman. Itu book fair paling besar di dunia. Dan Indonesia diundang secara resmi sebagai tamu kehormatan. Nah negara Indonesia oke, bersedia menjadi tamu kehormatan itu. Berarti negara kan dananya milyaran untuk membentuk panitia yang akan membawa buku-buku itu ke sana. buku-buku ini kan diterjemahkan dalam berbagai bahasa kan? Itu salah satu tujuan dari buku ini. Dan saya dengar, buku ini sedang diterjemahkan dalam bahasa Jerman oleh si Berthold tadi. Jadi ngak bisa buku itu sekedar dilihatin. Kalau menurut saya, di luar dari tokoh Denny JA, kelompok Horizon ini ingin… karena saya dengar, ada dua nama dari tim 8 ini yang masuk dalam juri, tim khusus yang dibentuk dari Depdikbud. Dua nama itu adalah Agus R Sarjono dan Berthold Damshauser. Jadi kita tahu, Taufik Ismail itu, Horizon itu suka mencari Funding. Pertama kali itu dari Ford Foundation, kemudian oleh Ford ditendang. Kemudian dia menciptakan proyek, proyek namanya “sastrawan Bicara Siswa Bertanya” itu milyaran. Nah ini yang dicari orang ini, kelompok Horizon ini, karena contoh begini… di dunia ini redaktur sastra, redaktur majalah sastra yang punya mobil, itu semua redaktur Horizon. Coba bayangan ini? Di barat itu tidak ada redaktur majalah sastra itu bisa naik mobil. Dan ini, yang saya bilang tadi, proyek untuk tahun depan ini, pemerintah sudah oke. Ini gila dananya. Itu yang mau diambil orang itu. Ini ada dua tujuan mereka ini. Berbahayanya di situ. Jadi enggak bisa hanya sekedar melihat buku gini. Pembaca umum memang dialihkan supaya melihatnya begitu. Makanya mereka kan kita tantang, berani enggak debat publik terbuka? Berani ngak kalian? Mereka kan pada takut… karena akan dibongkar. Orang-orang yang kalau itu jurnalis berusaha akan mencari, benar enggak ini bahwa ini sangat terlibat dengan tahun depan. Kalu dicari, ketakutan mereka. Saya yakin yang untuk tanggal 9 ini yang akan saya datang di seminar, ketakutan mereka. Jadi sengaja dibikin lah tuduh-tuduhan Denny, oke lah itu fasis, itu tu begini… begini.

RASP : Sampai hari berapa tanda tangan terkumpul di petisi itu?

SS: Kalau di petisi itu lebih dari 500, tapi kita kan juga bikin spanduk, ditanda tangani. Dan juga dukungan-dukungan dari komunitas sastra di daerah. Terakhir dari Malang, sebelumnya dari Kairo. Ini nanti para penulis perempuan di Hongkong juga mendukung. Itu lintas wilayah. Di Hongkong, mereka sangat kuat itu penulis perempuannya.

RASP: Berbicara liar di media sosial tidakkah itu melemahkan tradisi intelektual kita?

SS: Ya, karena kan begini. Kalau saya ya, saya melihatnya misalnya media sosial seperti twitter. Ya itu isi tweetnya aja dilihat apakah isi tweetnya memang bermutu atau cuma sampah. Fitnah atau memang dia punya isu. Itu aja. Saya pikir, kalau kita ngelihat, penipuan publik yang dilakukan oleh media kertas itu luar biasa di zaman Orde Baru. Kalau media kertas pasti akan menghina media on-line karena lawannya, kan begitu. Tapi kita ngelihat, itu kan alternative. Kalau media on-line dihajar sama media kertas, karena media kertas takut kemapananya terganggu. Kita kan tahu yang mana, yang enggak benar itu yang mana. Dulu tahun 2001, saya dan temen-temen membentuk komunitas yang namanya Cyber sastra. Itu sastrawan yang menulis di internet. Kami yang pertama. O itu mendapat perlawanan yang luar biasa. Dan terutama perlawanan dari media cetak. Jadi koran-koran di pulau Jawa dan majalah dari Jakarta sampai Surabaya menghajar kami. Sekarang lihat, koran-koran dan majalah semuanya on-line toh? Dulu kita dihina diejek macem-macem.

RASP: Anda ini kanon sasta kiri yang tersisa di Indonesia. Saya kira anda adalah pewaris tradisi Pramudya yang mendorong bagi lahirnya sastra Indonesia yang bermutu. Menurut anda puisi narasi Denny JA jauh dari itu?

SS: Sekarang begini saja, banyak orang yang sekarang mulai bicara, membocorkan bahwa sebenarnya yang dibilang puisi Denny JA itu ditulis oleh orang lain, ghost writer, yang dia bayar, itu salah satu. Nah, jadi caranya membuktikan, jadi seperti yang saya tantang dia melalui twitter,berani enggak Denny JA dengan saya langsung menulis puisi seperti dia itu di depan umum? Kalau dia memang pencipta puisi itu, jenis baru puisi seperti itu, harusnya dia ahli toh? Maka saya tantang Anda dengan saya di depan umum, kita menulis puisi seperti puisi anda. Bukti aja, anda menulisnya apa tidak. Kan begitu? Sampai sekarang enggak dijawab. Nah itu aja dulu. Jadi kalau kita ngomongin soal sajak, itu sajak biasa. Dan kalau dibilang puisi esai, puisi esai kan tetap puisi ya? Iy ndak? Walaupun anda bilang puisi majalah, kan puisi ya? Nah sekarang, di mana puisinya puisi Denny? Itu dulu. Orang kan ributkan dia esai gini… gini… tahi kucing lah. Tetap puisi toh? Nah, di mana puisinya puisi dia itu? Tahu enggak apa itu puisi? Nah sekarang itu dulu. Kenapa sebuah puisi disebut puisi? Nah itu dalam kan jadinya?

RASP: JDR lebih menimbang kuantitas?

SS : Manusia ini, Denny JA ini membayar orang, dan orang-orang murahan yang dibayari ini mau menulis, muji-muji dia dengan mengarang macam-macam. Tentang puisi esai itu, nah tidak ada itu puisi esai. Kalau mau tahu, dalam sejarah sastra dunia, itu abad 18, para pengarang di Inggris nulis namanya puisi esai, itu bentuknya puisi isinya esai membicarakan persoalan misalnya kematian, apa itu kematian. Jadi bentuknya puisi. Dia nulis apa Denny JA itu? Dia nulis apa? Enggak ada nulis apa? Tahu enggak arti esai? Itu dulu. Kalau kita ngomongin puisi esai, adalah puisi yang isinya esai, kan begitu? Nah ini kan berat. Pertama kali, dia harus puisi dulu. Kemudian isinya esai. Yang saya katakan tadi, tahu enggak apa itu puisi? Coba dulu sebutkan kenapa semua puisi jadi puisi. Kalau dulu di zaman pantun, apa itu pantun? Pantun itu jelas. Pantun itu bentuknya empat baris, terdiri dari empat sylabel, rimanya, sajak belakangnya itu AB- AB. Itu jelas kalau dah begitu itu pantun namanya. Nah sekarang ini puisi esai, nah puisi esai dalam istilah puisi yang kayak mana coba? Pernah ngak dibahas? Itu aja dulu. Coba anda buktikan tim 8 itu, di mana puisinya puisi essay itu? Jangan ngomong esai-esainya, enggak perlu! Dia mau bikin puisi rokok aja itu ngak apa-apa, ini bahas puisi dulu kan? Nggak ada disana kan? Nah itu lah yang akan dituntut kepada mereka kalau mereka berani ngomong dengan kita. Saya akan tuntut Ahmad Gauz itu yang menominasikan nama Denny. Coba dulu anda buktikan bahwa itu puisi. Satu dulu puisi coba. Apa unsur-unsur yang membuat tulisan menjadi puisi coba! Saya mau anda ajari, saya goblok. Setelah anda mampu baru kita bicarakan isinya di esai. Begitu kan? Nah kita itu, inilah yang kita harapkan, Depdikbud lakukan terhadap buku ini. Itu isi petisiku. Tapi kita dibilang fasis, o kita ini dibilang melarang buku itu, ini kan ada metodenya tentunya. Kita membaca, kalau buku ini negatif, buku ini sampah kan? Harus ditarik! Kalau hasilnya positif ya silahkan, kan begitu? Siapa yang membilang membredel buku? Enggak ada kan? Karena mereka ini, si Jamal ini, orang pesantren yang sesat itu ngak membaca, fitnah, kebiasaan orang itu seperti itu. Dan menuduh kita enggak membaca bukunya. Loh, waktu kita kemarin demo, mereka bagikan bukunya juga ke kita kok. Ya kita ambil aja, baca kan. Saya sudah dapat bukunya. Bahkan sudah saya coret-coret bukunya itu, karena hujan aja bukunya ngak di bawa. Ya baca dong. Masak belum baca langsung gitu. Kita digituin. Itu kan gila, anda mengomentari sesuatu yang belum and baca. Kan gila itu… bagaimana kita menulis petisi itu kalau kita belum baca bukunya. Nah ini lah, ini lah dusta-dusta mereka itu, termasuk JDR. Nah terakhir kan isunya, Ahmad Gauz yang belum, dia bilang coba lihat situsnya ini, hitsnya sampai sekian juta katanya kan, mengalahkan Agnes Monica di Youtube, gini-gini. Sekarang kan semua ahli computer, ahli internet membahas. Dusta lagi… hits itu bukan berarti pengunjung. Hits di situs bukan berarti pengunjung. Saya bisa aja menghits sepuluh kali, karena saya mungkin, yang ini saya hits, yang itu saya hits. Kan gitu? Menulis komentar saya hits. Udah sepuluh kali kan? Padahal cuma satu. Cuman saya kan? Tapi mereka klaim karena hitsnya sampai sekian juta. Pengunjungnya sampai sekian juta ternyata itu dibuktikan tidak. Salah satu pembuktian dari page rank situsnya. Page rank situsnya malah kalah dari page rank situs saya, Boemipoettra. Saya 2 per 10, mereka cuma 1 per 10. Bayangin? Page rank nggak bisa ditipu kan? Itu kan berdasarkan dari banyak orang yang mengunjungi, populernya, mungkin yang dikirim ke mana lagi. Nah itu dusta, itu kan disebut-sebut Jamal dalam wawancaranya juga kan? Nah dia dari… anda tahu ngak facebook kita yang anti buku itu? Tahu kan? Nah di situ kita mention nama mereka, JDR ini ngak pernah mau merespon. Padahal itu di bawah wawancara kau, itu kan? Bagaimana ini silahkan respon ini? Aku kan bilang bahwa link hitsnya ini, nah ini dibuktikan oleh Syahlul dari Malang, salah semua. Saya langsung nanya responnya sampai sekarang nggak ada. Saya bahkan di twitter langsung ke akunnya si Ahmad Gaus dan Denny JA, ngak pernah dibalas. Ini respon dong ini! kalian bilang gini hitsnya ini lihat, nah ini buktinya kalau kalian dusta. Ngak pernah dibalas sampai sekarang. Tapi tetap pula dituduh, yang ini lah, yang itu lah.

RASP: Peran kritikus sastra sangat dibutuhkan ya?

SS: Itu sangat penting, dan di Indonesia sangat minim. Di Indonesia kalau kita mau ngomongin soal kritikus sastra itu misalnya kita sebut nama A. Teeuw, orang Belanda itu kan? Dia bisa disebut awal. Atau juga Armin Pane zaman pujangga baru, kemudian ada Bachri Siregar orang Lekra. Kalau sampai kebawa-bawa sini, ya mungkin namanya Dani Entoda, ada Bun E Sumaryati, Subagyo Sastro Wadoyo terutama, terakhir Katrin Bandel. Kalau kita ngomong ini, H.B Yasin ya tidak… H.B Yasin tidak pernah menulis kritik sastra. H.B Yasin penting karena dia mengumpulkan karya-karya sastra sejak awal, itu aja. Dia itu sebagai documenter penting. Ngak ada tulisannya kritik sastra, coba baca aja. Sebagai penulis essay ya dia mungkin oke. Tapi kritik sastra lain, kritik sastra bukan seperti itu.

***