Ayu Purwaningsih
dw.de
Dalam hitungan bulan, Indonesia akan tampil sebagai tamu kehormatan di pameran buku internasional Frankfurter Buchmesse 2015. Dibutuhkan kerjasama luas untuk keberhasilan Indonesia.
“Industri ini masih hidup, bergetar,“ demikian kata-kata penuh semangat yang dilontarkan direktur pameran buku internasional Frankfurt Book Fair, Juergen Boos, setahun yang lalu. Kata-kata bergelora itu mendorong semua pihak mengembangkan tradisi yang menjadi kunci pengetahuan ini. Seperti yang diharapkannya, tahun ini pameran akbar itu pun kembali mendulang kesuksesan, dengan menghadirkan tamu kehormatan: Finlandia.
Di sini tempatnya, di sini saatnya: di pameran buku internasional Frankfurter Buchmesse, dimana semua pihak yang terlibat dalam industri buku saling bertatap muka, mulai dari penulis, penerbit, penerjeman hingga agen penjualan. Di sini pula, karya dari satu negara punya kesempatan untuk dapat dibaca oleh dunia luar.
Kesiapan Indonesia
Dalam hitungan bulan, giliran Indonesia yang menjadi tamu kehormatan. Penghargaan ini dapat menjadi kesempatan luar biasa dalam memajukan dunia sastra Indonesia di kancah internasional. Nyatanya, karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, bisa dihitung dengan jari. Artinya, dalam waktu singkat, buku-buku lainnya yang akan tampil harus sesegara mungkin diterjemahkan.
Pemerintah mengakui kesulitan terutama dalam hal biaya penerjemahan, seleksi buku dan koordinasi. Sementara, biaya penerjemahan di Indonesia jauh di bawah standar penerjemahan buku internasional. Persiapan dianggap terlalu singkat. Padahal sebenarnya Indonesia tak perlu terburu-buru jika saja sedari dulu berbagai pihak, baik pegiat sastra dan pemerintah saling bekerjasama dan mendukung dalam mengembangkan dunia sastra di tanah air.
Seharusnya kegaduhan ini tak perlu terjadi apabila jauh-jauh hari pemerintah memberi perhatian lebih dalam pengembangan sastra tanah air, seperti yang banyak dilakukan negara lain.
Di Islandia misalnya, sastra berkembang luas di negara mungil ini. Penulis seperti Arnaldur Indridason dan Hallgrimur Helgasson bukan nama asing di panggung internasional. Orang-orang Islandia juga didorong untuk gemar membeli buku. Setiap orangnya per tahun membeli sedikitnya 8 buku. Semua ini karena baik penulis dan pihak yang terkait sektor sastra, termasuk pemerintah, menaruh perhatian besar akan industri ini.
Berkaca dari Brasil
Tahun lalu Brasil yang didaulat sebagai tamu kehormatan Frakfurter Buchmesse. Persiapan tampil di ajang akbar itu sudah dimulai Brasil selama bertahun-tahun sebelumnya. Padahal dulu Brasil tidak dikenal sebagai negara pengekspor kesusastraan, namun sebagai pembeli lisensi penerbitan.
Namun pemerintah Brasil berambisi. Lebih dari 35 juta dollar hingga tahun 2020 diinvestasikan untuk pemasaran karya-karya penulisnya. Dana sebesar itu, dianggarkan untuk membiayai ongkos penulisan dan penerjemahan karya sastra, sekaligus promosi dalam pameran-pameran buku internasional. Karya-karya penulis Brasil terkemuka di antaranya Jorge Amado, João Ubaldo Ribeiro dan Machado de Assis kini dapat dinikmati di luar negara-negara Amerika Latin.
Perhatian pada buku juga ditunjukkan negara Amerika Latin lainnya seperti Kuba. Di Havana, tiap tahunnya diadakan pekan buku yang juga diikuti berbagai negara lain. Dananya didukung oleh pemerintah. Karya sastra klasik dan modern ditampilkan dalam pekan buku tahunan tersebut.
Sastra bukan hanya sekedar tren. Karya-karya sastra berkembang mengikuti zaman. Membangun kecintaan akan buku harus terus dikembangkan dan didukung oleh berbagai pihak.
Kita tak bisa lagi menoleh ke belakang dan berkeluh kesah atas terlambatnya kesiapan Indonesia untuk tampil sebagai tamu kehormatan di Frankfurt. Momen pameran buku internasional tahun depan, dimana Indonesia akan menjadi tamu kehormatan, dapat menjadi gebrakan baru bagi berbagai pihak dalam membangkitkan minat baca dan mengembangkan karya sastra Indonesia.
http://www.dw.de/pameran-buku-frankfurt-tak-ada-kata-terlambat/a-17986630