Judul: POE(LI)TICS
Penerbit: Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH)
Terbit: November 2015
Tebal: xii+ 320 hlm
ISSN: 2477-3425
Peresensi: Rianto *
koran-jakarta.com
Tanggal 24-25 November 2015 Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) Universitas Gajah Mada (UGM) mengadakan seminar bertajuk “Politik Kritik Sastra di Indonesia”. Ada 18 pembicara memamparkaan kritik sastra. Hasilnya dibukukan dalam POE(LI)TICS: Esai-esai Politik Kritik Sastra di Indonesia.
Buku bermaksud menjangkau pembaca lebih luas. Kemesraan sastra dan politik membawa kronik, tokoh, serta definisi ideologi. Katrin Bandel sebagai Indonesianis yang banyak mengurusi sastra Indonesia mengaku, kritik sastra membuatnya agak jengkel. Dia menulis, “Salah satu pekerjaan penting dalam proses perkembangan pemahaman saya terhadap politik kritik sastra adalah tulisan-tulisan saya tentang karya Ayu Utami,” (hal 6). Katrin membedah kehebohan publik sastra terhadap karya Ayu Utami yang dianggap melawan rezim Orde Baru dan ketabuan publik sastra Indonesia akan seks.
Kritiknya terhadap novel Saman terkait karya dan politik global mendapat tanggapan Mochtarova dan Schulze. Penyerangan langsung terhadap Katrin di majalah Orientierungen menunjukkan betapa pentingnya tanggapan seorang Indonesianis ataupun penulis kritik sastra di luar Indonesia terhadap sebuah karya.
Mereka tidak bersedia menerima analisisnya yang menempatkan berbagai unsur pencitraan Ayu Utami dan karyanya di Eropa sebagai bagian dari wacana (neo)kolonial (hal 8).
Pada hakikatnya sastra menginginkan ‘bersih’ dari imperialisme konsep dan rezim ethis. Goenawan Mohamad mengatakan, dalam sejarah, kritik sastra tak niscaya diperlukan sastra. Kritik sastra adalah gema yang mempunyai arahnya sendiri (hal 11).
Ada perdebatan, sastra mesti menyelesaikan masalah di masyarakat. Faruk HT mencontohkan kritik Armijn Pane terhadap novel tulisan A Dt Madjoindo Si Tjebol Rindoekan Boelan. Meskipun Arjmin Pane memuji produktivitas pengarang, namun masih terjebak ke dalam “karya rutin”. Artinya, mengemukakan “moral dengan cara rutin.” Dia tidak menyelesaikan soal-soal hidup dan masyarakat (hal 29).
Zaman kolonial lebih bergema lewat majalah, koran-koran, dan buku. Saudagar buku Bandung Mawardi dalam esainya Mengenang tak Terang menyebutkan, kritik sastra hadir dalam bentuk esai-esai. Sayang menurut Bandung, pembukuan sejak awal abad XX sampai 1940-an, belum diusahakan sebagai kritik sastra masa silam (hal 52).
Pembacaan surat kabar Koran Soerapati oleh Wahyudi Heriyadi (hal 55) dan Medan Prijaji oleh RM Kurniawan Master Desiarto (hal 67) mengukuhkan pelacakan dan pembukuan sejarah melalui media lawas sebagai agenda penting.
Sastra menghadirkan pertikaian ideologis tahun 1945-1965 dan menjadi ladang perebutan pengaruh di masyarakat. Lalu muncul banyak tokoh, peristiwa, dan lembaga bebau sastra. Pengaruh itu bisa dilihat dari perkembangan dan pemberangusan Lembaga Kebudayaan Kerakyatan (Lekra).
Muhidin menyebutkan Lekra membentuk suborganisasi bernama Lestra. Salah satu kerja penting Lestra meriset ulang sejarah sastra Indonesia yang bersandar pada pedoman yang sudah digariskan organisasi (hal 87).
Dalam episode perang ideologi, di tengah demam komunisme Amerika, justru masuk dalam dunia sastra melalui pembentukan lembaga, beasiswa, dan gerakan sastra baru Indonesia. Wijaya Herlambang mengendus ada pengaruh politik Amerika di bidang kebudayaan.
Dalam esainya Infiltrasi Amerika dan Penghancuran Komunisme dalam Kebudayaan Indonesia Modern (hal 117) dibeberkan peran intelejen CIA yang membentuk CCF dengan agenda politik kebudayaan untuk mempengaruhi para intelektual, penulis, dan seniman.
*) Alumnus Universitas Negeri Jakarta
http://www.koran-jakarta.com/menguak-hubungan-mesra-politik-dan-sastra/