Pengalaman Unik Membaca Ulid *

Katrin Bandel **

Bagi saya pribadi, membaca novel Ulid Tak Ingin ke Malaysia (yang sekarang dicetak ulang dengan judul lebih pendek: Ulid) karya Mahfud Ikhwan membawa pengalaman yang agak unik. Novel tersebut bersetting di sebuah desa terpencil bernama Lerok, di Jawa Timur, dengan tokoh utama seorang anak laki-laki yang kehidupannya dikisahkan mulai masa kecilnya sampai remaja dan beranjak dewasa. Dalam perjalanan hidupnya sejak kecil tersebut, tokoh utama Ulid menyaksikan peralihan gaya hidup dan mata pencaharian yang cukup substansial di desanya, seiring dengan keputusan semakin banyak warga desa untuk menjadi buruh migran di Malaysia. Dengan demikian, pada dasarnya setting dan topik novel itu cukup jauh dari lingkungan pergaulan dan pengalaman hidup saya sendiri. Namun, meskipun begitu, ternyata saya mudah beridentifikasi dengan Ulid, si tokoh utama. Bagaimana hal itu dapat terjadi, padahal saya beda etnis, beda kelas sosial, beda gender, dan beda lingkungan hidup dengan tokoh tersebut?

Saya akan berangkat dari salah satu adegan Ulid sebagai contoh. Relatif di awal novelnya, Mahfud menggambarkan peristiwa Ulid kecil dimarahi emaknya karena mendengarkan sandiwara radio sepanjang malam sehingga siangnya dia tertidur di masjid saat jumatan. Sebagai hukuman, emaknya mencabut baterai dari radio itu sehingga Ulid tidak bisa mendengarkan radio lagi. Setelah mengetahui hilangnya baterai itu, Ulid kecil (yang masih berusia 5-6 tahun) mengamuk, kemudian dengan gagah memutuskan untuk “menghukum balik” orangtuanya: dia akan meninggalkan rumah, dan tidak akan kembali lagi. Namun tentu tekad itu segera surut ketika hari mulai malam, perut Ulid lapar, dan dia ketakutan sendiri di saat anak-anak lain sudah pulang ke rumah masing-masing. Yang membuat adegan itu sangat menarik dibaca adalah bahwa dengan lihai Mahfud mengajak pembacanya memasuki dunia batin tokohnya. Digambarkan betapa digerakkan oleh rasa marah dan kecewa, dengan pikiran kanak-kanaknya yang masih pendek, Ulid dengan mantap mengambil “keputusan besar” untuk menjadi pengembara yang tidak akan pulang ke rumah lagi. Kemudian, dalam penggambaran selanjutnya yang cukup mendetail, diceritakan betapa perasaan Ulid mulai berubah. Rasa takut dan lapar semakin menggoyahkan pertahanannya, tapi dia menolak untuk menyerah disebabkan rasa malu. Ulid tak ingin mengakui kebodohan keputusannya sendiri, sehingga dia bertahan sampai titik akhir, yaitu sampai keteguhan hatinya runtuh, dan dia lari pulang terbirit-birit karena ketakutan mengingat cerita-cerita tentang jin.

Di masa kecil saya sendiri, saya tidak pernah mendengarkan sandiwara radio, juga tidak pernah tertidur di masjid (memasuki masjid saja tidak pernah) atau mendengar cerita tentang jin. Namun, pengalaman pertumbuhan emosional yang digambarkan lewat adegan dalam novel Ulid tersebut tidak jauh dari pengalaman saya sendiri. Tentu saja saya pernah mengalami keasyikan bermain sehingga lupa waktu, marah karena tidak terima saat dihukum orangtua, keras hati dan ngambek, atau malu dan enggan mengakui kesalahan saya sendiri. Mungkin mayoritas anak-anak di mana pun memiliki pengalaman seperti itu, meskipun dengan setting yang berbeda-beda. Membaca penggambaran Mahfud tentang “keputusan besar” yang diambil Ulid, misalnya, spontan saya teringat bagaimana suatu hari ketika bertengkar dengan adik saya, dengan gagahnya saya mengambil keputusan untuk tidak mengajaknya berbicara sampai Natal depan. Natal masih jauh, sehingga semestinya saya mendiamkan adik saya selama beberapa bulan. Tapi kemudian, dalam waktu beberapa jam saja saya sudah bosan, sehingga “terpaksa” membatalkan keputusan konyol itu. Seperti dendam Ulid yang runtuh karena lapar dan takut, permusuhan saya dengan adik saya buyar begitu saja saat saya mulai jenuh bermain sendiri tanpa bisa mengajak adik.

Dengan kata lain, di tengah kekhususan setting dan masalah-masalah lokal yang digambarkan dengan segala detailnya, Mahfud menghadirkan pengalaman manusia yang mungkin dapat dikatakan universal. Efeknya adalah bahwa Ulid, si anak miskin dari pelosok yang baru mulai mengenal listrik setelah orangtuanya merantau ke Malaysia, tidak terkesan asing. Pengalaman dasarnya – bangga, marah, ngambek, takut, malu, jaga image, dan sebagainya – tidak jauh berbeda dibandingkan anak kecil di mana pun di dunia.

Apabila novel Ulid kita bandingkan dengan karya-karya sastra Indonesia lain yang berkisah tentang masyarakat pedalaman, saya rasa kecenderungan Mahfud untuk berfokus pada pengalaman batin yang universal menjadi tawaran baru yang sangat menarik. Pada tahun 1970-an sampai 1980-an sempat muncul cukup banyak novel Indonesia yang berkisah tentang masyarakat pedalaman, kerapkali dengan fokus pada perubahan sosial, mirip dengan Ulid. Istilah yang sering dipakai untuk menamai karya seperti itu adalah “warna lokal”. Salah satu yang paling terkenal di antaranya adalah trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1982-1986). Seperti Mahfud, dengan lihai Ahmad Tohari mengajak kita memasuki dunia kampung miskin, yaitu sebuah dunia yang dapat diasumsikan cukup asing bagi mayoritas pembaca. Dalam hal deskripsi alam dan penggambaran detail-detail kehidupan desa yang menjadi unsur penting dalam Ronggeng Dukuh Paruk, saya rasa Ahmad Tohari sungguh luar biasa. Meskipun demikian, saat membaca Ronggeng Dukuh Paruk, saya tidak pernah bisa memasuki dunia batin Srintil, tokoh utamanya, seperti saya memasuki batin Ulid saat membaca Ulid. Srintil hadir sebagai bagian dari sebuah dunia asing, dengan pengalaman-pengalaman aneh (misalnya, dijadikan penari ronggeng secara spontan tanpa pernah belajar) dan menyakitkan (antara lain, dilacurkan sejak usia sangat muda) yang tidak saya kenal dan tidak bisa saya bayangkan. Saya bisa bersimpati padanya, tapi identifikasi atasnya sangat terbatas.

Mengapa unsur identifikasi itu begitu saya tekankan? Apa pentingnya saya bisa beridentifikasi atau tidak dengan sebuah tokoh utama? Tentu saja identifikasi pribadi saya dengan tokoh tersebut tidak begitu relevan dipersoalkan di sini. Namun yang ingin saya argumentasikan adalah bahwa dengan berfokus pada pengalaman batin tokohnya, Mahfud menawarkan jenis identifikasi yang melampaui batas kelas sosial, gender, dan etnisitas. Tawaran tersebut saya nilai sebagai pendekatan alternatif yang sangat menarik. Alternatif terhadap apa?

Penulisan novel bersetting pedalaman mungkin tampak sederhana: asal penulis mengenal masyarakat dan alam yang mau dideskripsikannya, itu sudah menjadi bekal yang cukup baik untuk menghadirkan sesuatu yang menarik di hadapan pembaca. Namun usaha untuk menggambarkan dunia pedalaman itu membawa tantangan yang tidak kecil. Bagaimana cara mendeskripsikan masyarakat pedalaman pada pembaca yang berada jauh dari dunia itu? Salah satu risikonya adalah alam dan budaya lokal dihadirkan sebagai sesuatu yang eksotis, sehingga muncul semacam nostalgia mengenai kehidupan pedesaan yang lebih “asli”, sederhana, dan dekat dengan alam. Jenis eksotime lainnya yang potensial terjadi adalah penggambaran adat lokal sebagai keunikan yang menarik, tapi asing dan irasional. Di samping itu, sebagian karya sastra bersetting pedalaman berfokus pada representasi penderitaan dan kemiskinan yang dialami masyarakat setempat. Fokus semacam itu tentu penting dalam rangka menyampaikan kritik sosial. Namun, risikonya serupa dengan kecenderungan eksotisme lainnya, yaitu manusia yang digambarkan terkesan asing dan sangat berjarak dengan pembaca. Penulis dan pembaca sibuk berefleksi tentang dunia pedalaman serta nasib masyarakatnya, sedangkan anggota masyarakat itu sendiri menjadi objek pasif yang seakan-akan tidak berdaya sama sekali, dan tidak sadar akan persoalan-persoalannya sendiri.

Dalam hal itulah Ulid menawarkan sesuatu yang berbeda. Seperti yang coba saya sampaikan lewat contoh adegan di atas, tokoh Ulid dihadirkan dengan segala kompleksitas perkembangan batinnya. Dengan demikian, dia terkesan sama sekali tidak asing dan berjarak dari pembaca, sebab pengalaman-pengalamannya tidak jauh berbeda daripada apa yang dialami anak seumurnya di mana pun di dunia. Dengan kata lain, lewat pilihan Mahfud Ikhwan untuk berfokus pada unsur universal (perkembangan batin anak) daripada unsur lokal (misalnya tradisi lokal) dalam penggambaran karakter dan pengalaman tokohnya, kita didekatkan pada tokoh tersebut. Jarak terjembatani, kita tidak lagi memandang Ulid si anak desa terpencil sekadar sebagai objek yang hanya bisa dikagumi (karena hidupnya yang “eksotis”, lebih “asli”, dsb.) atau dikasihani (karena kemiskinannya), tapi sebagai manusia yang hidupnya dan perjuangan-perjuangan batinnya sama rumit den kompleksnya dengan diri kita sendiri.

Tapi bukan berarti Mahfud dalam novelnya berfokus hanya pada yang universal, sedangkan unsur kekhasan lokal diabaikan. Hanya saja, unsur lokal dalam novel Ulid bukanlah hal se-”eksotis” kesenian tradisional atau kepercayaan lokal. Kekhasan lokal yang secara khusus disorot dalam novel ini adalah mata pencaharian yang secara turun-temurun menghidupi penduduk lokal, yaitu bengkuang dan gamping. Proses membakar gamping dan budidaya bengkuang diceritakan secara mendetail, dan keterikatan dan cinta tokoh Ulid pada kekhasan daerahnya tersebut digambarkan dengan sangat eksplisit. Fokus pada mata pencaharian itu memberi nuansa menarik pada novel berwarna lokal ini, sebab dengan demikian novel ini terhindarkan dari oposisi biner yang kelewat stereotipikal antara tradisi lokal dengan “dunia modern”. Diceritakan bahwa desa Lerok merupakan penghasil gamping dan bengkuang dengan kualitas unggul. Mata pencaharian itu pada akhirnya ditinggalkan bukan karena kualitasnya kalah dengan hasil produksi lebih modern, tapi karena permainan pasar yang menyebabkan harga gamping dan bengkuang jatuh. Itulah yang pada akhirnya mendorong penduduk Lerok untuk merantau ke Malaysia.

Kritik sosial yang diutarakan dengan cara demikian memiliki warnanya sendiri, yang membuatnya cukup berbeda dibanding, misalnya, kritik sosial dalam novel warna lokal tahun ‘70-an dan ‘80-an. Dukuh Paruk dalam novel Ahmad Tohari digambarkan sebagai kampung yang tertinggal, dengan penduduk yang kurang pengetahuan sehingga tidak mampu meningkatkan taraf kehidupannya (dan kadang-kadang justru merugikan diri sendiri, misalnya lewat produksi tempe bongkrek yang menyebabkan keracunan), dan dengan tradisi-tradisi lokal yang pada akhirnya perlu ditinggalkan karena tidak sesuai dengan ajaran agama formal. Lerok dalam Ulid sama sekali tidak seperti Paruk. Desa tersebut memiliki keunggulannya sendiri, baik dalam hal produksi bengkuang dan gamping, maupun di bidang pendidikan agama (Islam). Namun, rupanya, di hadapan kekuatan dinamika pasar, keunggulan tersebut tidak dihargai. Dengan kata lain, kritik yang disampaikan oleh novel ini bukan lagi bahwa masyarakat pedalaman kurang diperhatikan sehingga menjadi miskin dan tertinggal, tapi bahwa keahlian dan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat pedalaman cenderung terpinggirkan dan digilas oleh kekuatan pasar.
***

Ulid diterbitkan pertama kali dengan judul Ulid Tak Ingin ke Malaysia pada tahun 2009. Dalam waktu enam tahun sejak cetakan pertama itu, mengapa hampir tidak ada gaungnya sama sekali? Apa alasan novel sebagus ini tidak mendapat apresiasi yang selayaknya?

Penyebabnya pasti kompleks dan beragam. Di sini saya hanya ingin mempertimbangkan salah satu faktor yang saya duga cukup berpengaruh: Ulid tidak sesuai dengan trend-trend yang sedang dominan saat ini, baik di dunia sastra maupun fiksi populer.

Seperti yang saya gambarkan di atas, novel Ulid menceritakan pertumbuhan tokoh utamanya sejak masa kecil sampai menjadi dewasa, dengan fokus pada pengalaman batin dan perkembangan emosional. Settingnya adalah pedesaan, dengan menyorot perkembangan gaya hidup yang terjadi setelah mata pencaharian penduduk berubah. Dalam hal fokus pada pertumbuhan tokoh di masa remaja sampai dewasa, sebetulnya ada kemiripan dengan novel sejenis Saman dan Larung karya Ayu Utami atau Nayla karya Djenar Maesa Ayu. Namun, meskipun sebagai salah satu aspek (yang tidak begitu utama) Ulid mengisahkan perkenalan tokoh utama dengan cinta dan hasrat terhadap lawan jenis, unsur seksualitas yang sangat dominan dalam novel Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu tidak ditemukan dalam Ulid. Fokus Mahfud dalam penggambaran pengalaman cinta pertama Ulid terletak pada pengelolaan emosinya, yang mengantarnya pada sikap yang lebih dewasa. Tidak ada usaha “mendobrak tabu”. Pengalaman Ulid terjadi dalam batas kewajaran dan nilai moral yang berlaku di lingkungannya.

Kalau seksualitas tidak menjadi fokus, apakah kemudian Ulid ini sejalan dengan novel-novel Islami yang mengedepankan peran agama dalam pertumbuhan tokohnya? Agama memang cukup berperan dalam Ulid. Pengalaman Ulid sejak kecil diwarnai oleh kegiatan ibadah dan nilai Islam yang cukup kental di lingkungannya. Namun, berbeda dengan novel populer Islami yang menjadi trend dalam waktu kira-kira satu dasawarsa ini, Ulid tidak menyampaikan pesan moral keagamaan yang tegas. Tidak ada penghakiman atau adegan taubat saat menceritakan perilaku yang bertentangan dengan perintah agama. Di samping itu, tidak ditemukan narasi yang sangat menonjolkan “imbalan” yang akan diperoleh tokoh atas amal dan takwanya, seperti misalnya dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, di mana setelah melewati berbagai ujian tokoh utama mendapatkan dua istri jelita dan harta benda melimpah. Ulid menyikapi ujian hidupnya dengan tawakkal. Namun imbalan di dunia ini tidak ditampakkan. Setelah tawakkal, di akhir novel Ulid terpaksa mengubur segala cita-citanya, dan berangkat mencari keberuntungan ke Malaysia seperti orangtuanya. Tidak ada perubahan hidup yang ajaib sebagai bagian dari sebuah kisah motivasi ala Ayat-ayat Cinta.

Berkaitan dengan agama, masih ada topik lain juga sedang cukup populer di dunia sastra Indonesia (dan dunia intelektual secara umum) belakangan ini, yaitu persoalan konflik agama, fundamentalisme, dan toleransi. Namun dari trend itu pun Ulid tidak menjadi bagian darinya. Tidak ada konflik agama apa pun dalam novel ini, dan toleran atau tidaknya pemahaman agama Ulid dan tokoh-tokoh lain tidak dipersoalkan.

Khusus berkait dengan setting pedalaman, kita juga bisa mengamati perkembangan trend tertentu. Otonomi daerah tampaknya merangsang penulisan karya-karya bersetting budaya lokal. Namun berbeda dengan Ulid, karya semacam itu sering menghadirkan persoalan-persoalan seputar identitas etnis, tidak jarang dengan cara menghadapkan yang lokal pada yang nasional (Jakarta). Setting budaya Jawa dalam Ulid tidak pernah secara khusus dipersoalkan, dan identitas etnis atau daerah tidak menjadi masalah. Yang dipermasalahkan bukan kekhasan budaya etnis/lokal yag perlu dibanggakan atau dipertahankan, tapi mata pencaharian tradisional yang tergilas oleh kekuatan pasar.

Trend lain berkaitan dengan setting pedalaman terjadi di dunia fiksi populer, terutama lewat novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang menyajikan kisah tentang dunia pendidikan di lingkungan masyarakat miskin. Ulid pun banyak berkisah seputar pengalaman anak miskin di pedesaan yang mengejar ilmu dan berusaha memperbaiki nasib. Namun, dalam hal pesan moral seputar pendidikan tersebut, ada perbedaan yang cukup mencolok antara Laskar Pelangi dan Ulid. Optimisme tentang peluang anak miskin mengangkat diri lewat pendidikan yang menjadikan Laskar Pelangi sebuah novel motivasi yang dirayakan tidak kita temukan dalam Ulid. Secara jauh lebih realistis (yang juga berarti: lebih pahit), di akhirnya novelnya Mahfud Ikhwan berkisah tentang kandasnya cita-cita mulia Ulid untuk menjadi peneliti yang akan mengangkat kembali budidaya bengkuang.
***

Saya salut dengan pilihan Mahfud Ikhwan untuk tidak mengikuti trend-trend yang sudah ada, yang mungkin saja akan bisa membuat novelnya lebih cepat diapresiasi. Dengan memilih fokus dan topik yang tidak populer, bagi saya novel itu justru terkesan lebih jujur dan lebih relevan. Semoga cetakan kedua ini menemukan kalangan pembaca yang lebih sesuai dan mampu menikmatinya.

*) Dimuat sebagai pengantar untuk Ulid edisi baru (Ulid: Sebuah Novel, Pustaka Ifada, 2016).
**) Katrin Bandel adalah kritikus sastra, mengajar di Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
https://www.facebook.com/notes/mahfud-ikhwan/pengalaman-unik-membaca-ulid/10153964643875941

Leave a Reply

Bahasa »