Sastra Kian Kembang Kempis

Reportase: Adinda Pryanka
harnas.co

Dua hal yang membuat sastra koran atau majalah tetap bertahan. Yaitu menciptakan sastra elektronika atau justru menegasi besar-besaran terhadap dunia virtual.
KEHADIRAN media massa, khusus koran atau majalah, sejak lama telah memberi ruang bagi sastra (cerpen, puisi, dan cerita bersambung) berkembang di Indonesia. Adanya sastra koran atau majalah, demikian yang sering akrab dikenal, juga membantu melejitkan nama dan karier sang penulis.

Namun, seiring dengan turunnya bisnis media cetak, sejumlah suratkabar mengurangi halaman, tak terkecuali ruang sastra. Salah satu contohnya, koran Suara Merdeka di Jawa Tengah, yang mengurangi rubrik sastra dari empat halaman menjadi satu halaman.

Penulis dan sutradara teater Agus Noor mengatakan, sangat merasakan dampak penurunan ruang sastra secara langsung. Persaingan untuk mempopulerkan karya sastra semakin ketat seiring dengan keterbatasan wadah.

Memulai karier di saat koran tengah menjadi primadona pada 1980-an, Agus merasa terbantu dengan kehadiran koran.

“Paling utama, kita dapat mempublikasikan karya hingga diapresiasi karena lembaga sastra yang dalam hal ini adalah koran, memiliki sifat otoritatif,” ujarnya dalam Diskusi Sastra “Senjakala Ruang Sastra di Media” di Gedung Olveh, Jakarta, Kamis (28/4).

Memasuki awal 2000 hingga sekarang, kondisi mulai berubah. Masyarakat mulai bisa menulis lewat blog dan media sosial. Mereka dapat bebas menuangkan ekspresi untuk dibaca siapapun tanpa memiliki kewajiban untuk diedit, layaknya proses mengirimkan ke media cetak. Tapi, kebebasan itu tidak diiringi dengan kehadiran lembaga yang memiliki sifat otoritas layaknya media cetak. “Sekarang, tidak ada lembaga otoritas yang bisa menjadi sumber perbandingan. Tidak hanya sastra, tapi hal ini juga berlaku dalam film dan musik,” ucap Agus.

Selain kehilangan lembaga otoritatif, Agus juga mengatakan, terhapusnya etalase akan persaingan yang sehat antarpenulis di generasi muda maupun senior. Suasana kompetitif yang dihadirkan di media cetak tentu tidak bisa tergantikan dengan kehadiran blog dan media sosial.

Ketakutan serupa juga dirasakan penulis Djenar Maesa Ayu. Ia mengatakan, generasi muda akan kehilangan media untuk berekspresi, bermimpi, dan berjuang untuk menggapai mimpi itu. Ia pun menceritakan pengalamannya harus harus menunggu tiga tahun hingga cerpennya dimuat di Harian Kompas.

Banyak faktor penyebab hingga akhirnya sejumlah media mengurangi ruang sastra. Selain permasalahan teknis yang dihadirkan dunia digital dengan ciri berkarakter cepat, selera publik pun ikut berubah. Sastra yang kerap diidentikkan sebagai hal serius kian terpinggirkan, berganti dengan konten enteng.

Masih Tetap Ada

Di tengah keterbatasan ruang sastra, Redaktur Budaya dan Sastra Harian Kompas Putu Fajar Arcana menjelaskan adanya secercah titik terang dalam kondisi saat ini. Setidaknya, lebih dari 10 koran masih menampilkan rubrik sastra meski tidak dalam halaman melimpah layaknya beberapa dekade lalu.

Yang membuat sastra itu masih ada di media bukanlah berdasarkan kebijakan atasan di sebuah koran. “Tapi, selalu tumbuh bibit atau anak ideologis yang tercipta secara personal. Mereka mengemban tugas ‘mulia’ hingga menjadi redaktur kebudayaan di suatu media yang menjadi pengendali segala hal ada atau tidaknya ruang kesusastraan,” ujar Putu.

Dengan begitu, keberadaan sastra selalu rentan terhadap berbagai perkembangan; bergantung pada anak-anak ideologis tersebut. Tapi, tidak menutup kemungkinan juga, anak-anak ideologis itu memudar dan dipastikan ruang sastra akan menemui ajalnya. Kondisi ini, kata Putu, sudah menimpa banyak penerbitan harian di Indonesia, tak terkecuali Kompas.

Sementara itu Redaktur Sastra Harian Suara Merdeka Triyanto Triwikromo menyebut saat ini adalah era generasi internet. “Di mana internet kian populer, dan ‘kebudayaan’ menjadi konteks yang sama rata di mata orang,” tutur Tri, sapaan akrabnya.

Dalam kondisi tersebut, kata dia, muncullah klise massal yang didesakkan oleh pasar. Tri menceritakan, publik telah hanyut dalam kebudayaan mereproduksi teks dalam balutan industri. Jika sebuah novel sukses di pasaran dengan ideologi cinta, maka pengarang lain berlomba-lomba menghasilkan karya serupa demi meraih pencapaian tinggi.

Dampaknya, sastra koran atau sastra majalah menjadi sastra minoritas yang langka. Ruang sastra kian mengurang seperti yang dialami Harian Suara Merdeka pada tiga tahun lalu. Penghargaan sastra (untuk koran) pun berhenti, seperti Anugerah Sastra Pena Kencana dan Anugerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (kini, Kemendikbud).

Tri menjelaskan, ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi keterbatasan minim ruang sastra itu. “Mengikuti alur dalam dunia baru itu dengan menciptakan kemungkinan baru, seperti sastra elektronika, atau justru melakukan negasi besar-besaran pada dunia virtual untuk kemudian mengembalikan diri ke dunia tanpa kesemuan,” tuturnya.
***

http://www.harnas.co/2016/04/29/sastra-kian-kembang-kempis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *