Nurasiam Khalil
Radar Jombang 30 Okt 2016
Seruni adalah seorang gadis desa yang berumur 15 tahun dia adalah seorang gadis yang sederhana yang memiliki perawakan kecil, ramping, kulit hitam manis dengan rambut sepanjang body yang biasanya diikat dua. Dia memiliki kebiasaan yang unik dia sangat suka memainkan seruling diwaktu senja. Terkadang dia seorang diri kadang juga bersama kelincinya yang ia beri nama si Puci menunggu senja dengan membawakan seruling bambu.
Seruling itu sangat berharga baginya karena itu adalah hadiah dari ayahnya sekitar lima tahun silam sebelum akhirnya sang Ayah pergi entah kemana. Semenjak ayahnya dituduh sebagai salah satu antek-antek PKI. Pernah ada suatu kabar bahwa ayahnya telah disekap oleh para barisan berbaju loreng. Semenjak kabar itulah ia tak pernah lagi mendapat kabar tentang sang ayah, apakah kini telah benar-benar pergi ataukah masih hidup. Namun, ia selalu menggantungkan harapan pada sang penguasa langit bahwa suatu saat nanti ayahnya akan kembali. Satu-satunya harapan didunia ini adalah ayahnya karena ibunya telah meninggal ketika ia masih berumur dua tahun.Dan saat ini dia hidup bersama seekor kelincinya.
Seruni jarang sekali bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Dia adalah seorang gadis yang sangat tertutup, rentan terhadap kehidupan sosialnya semenjak ia berhenti dari sekolahnya karena tidak memiliki cukup biaya. Untuk kehidupan sehari-harinya ia bergantung pada sepetak sawah peninggalan ayahnya, semua sawah yang dulu dimiliki ayahnya diambil alih oleh pemerintah karena menurut pemerintah sawah-sawah itu adalah pemberian dari PKI.
Untunglah sepetak sawah itulah yang masih tersisa, entah bagaimana caranya sepetak sawah itu tidak diketahui oleh para kaki-tangan pemerintah. Sawah itu berada disebuah rel kereta api. Jadi setiap saat kereta api selalu melintasi sawahnya. Setiap kali kereta itu melintas Seruni selalu mengamatinya. Setiap kereta itu melintas seakan-akan tiap gerbongnya memberikan sebuah isyarat kepada Seruni, tetapi entah ia sendiripun tak mengerti dengan isyarat itu yang seakan-akan menjadi teka-teki yang sulit dipecahkan.
Ketika senja sudah mulai tiba ia tak langsung pulang kerumahnya. Seruni mengambil seruling bambunya, sambil berlari-lari kecil dari satu batas sawah kebatas sawah berikutnya. Ia seakan-akan berlomba dengan rombongan burung-burung yang berkicau. Sepertinya burung-burung itu sedang berusaha mengejar matahari sampai ke tempat peraduannya, sepertinya mereka tak ingin ditinggalkan oleh sang mentari itu.
Kali ini Seruni tidak ditemani oleh si Puci ia memainkan sendiri serulingnya. Ia duduk di bawah pohon ketapang yang rindang, pohon itulah menjadi tempat biasanya Seruni melepaskan segala penat, mencurahkan segalaasa. Suara seruling itu begitu indah, bagaikan suara seruling krisna yang berasal dari negeri Ramayana itu. Suara seruling itu sepertinya menjadi sebuah panggilan bagi burung-burung yang tadinya terbang berkicau kini kembali dan menari-nari setelah mendengar alunan seruling dari si gadis manis Seruni.
Semakin lama mataharipun tak tampak lagi diatas lazuardi, mungkin saat ini dia sudah terlelap dengan sangat pulasnya, bersama mimpinya disana. Serunipun kembali kerumahnya. Sebelum dia beristirahat tak lupa dia untuk menengok sahabatnya si Puci “Apa dia baik-baik saja ya, seharian penuh aku tak bersamanya, jadi kangen”. Seruni berbicara sendiri.“ “Puci gimana kabarmu, apa kamu baik-baik saja”? sekian kali dia mencoba memanggil-manggil sahabatnya itu dari balik kandangnya, namun tak sedikitpun si Puci menyapa. Akhirnya Seruni membuka pintu krangkeng itu berkali-kali dia menggesek-gesek tubuh si Puci namun si Puci tak jua terbangun.
Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori tubuh Seruni “Puci sahabatku, jangan tinggalkan aku sendiri, aku takut hidup sendiri di dunia ini.” Tangis Seruni mulai pecah ia tak sanggup ditinggalkan oleh sahabatnya itu, karena hanya kelinci itu satu-satunya yang dia miliki di dunia ini dan sekarang semuanya telah pergi meninggalkannya. Semuanya terenggut satu persatu bagaikan daun kering yang terjatuh dari pohonnya. Dia benar-benar semakin takut berada di dunia ini.
Seruni mengambil jasad si Puci lalu menguburkannya dibelakang rumah bersama dengan seruling bambu miliknya. Mulai hari itu Seruni berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan lagi memainkan seruling diwaktu senja. Seandainya saja pada waktu dia tidak bermain seruling mungkin si Puci masih bersamanya saat ini atau seandainya saja dia mengajak sahabatnya itu mungkin ini semua tak akan terjadi. Seruni terus bermain dengan fikiran kalutnya, dia merasa sangat bersalah. Sejak itulah dia sangat membenci waktu senja.
Detik berganti menit, menit berubah menjadi jam, hari berganti hari jarum jam terus berputar enggan untuk berhenti walau sedetikpun. Jarum jam itu seakan menjadi saksi setiap peristiwa yang kemudian terukir menjadi sebuah sejarah.
Tak terasa si gadis desa yang bernama Seruni itu kini mulai tumbuh menjadi seorang gadis dewasa yang cantik hingga tak heran jika pemuda-pemuda di desa itu menaruh hati pada Seruni. Namun, tak satupun laki-laki yang mau diterimanya, apalagi menjadi kekasih menjadi sahabatpun dia enggan. Karena memang sejak kecil dia jauh dari kehidupan sosial. Apalagi teman laki-laki teman perempuanpun dia tak punya.
Pada suatu hari ada seorang laki-laki yang datang berniat ingin mempersuntingnya. Laki-laki itu berasal dari keluarga yang cukup kaya didesa itu. Dia memiliki wajah yang tak begitu jelek. Namun, karena Seruni tak memiliki siapapun dirumah itu hanya dia seorang hingga tak boleh ada laki-laki yang datang meminangjika didalam desa itu ada seorang gadis yang hidup sebatang kara. Seperti itulah adat di desa itu. Jika ada yang datang meminang maka itu dianggap sebagai suatu aib dan merusak nama desa tersebut. Hingga laki-laki itupun harus mengurungkan niatnya untuk mempersunting Seruni.
Kehidupan Seruni semakin hampa, hari-hari dia jalani sendiri. Susah senang semua dia rasakan sendiri. Dia semakin takut ketika senja mulai datang menghampiri dunia ini. Terlihat cahaya matahari remang-remang disela-sela pepohonan, semakin lama cahaya itu semakin hilang dan tak tampak lagi.
Ditengah kegelapan malam Seruni masih termenug sendiri dia tak dapat memejamkan mata barang sedikitpun, padahal berkali-kali dia mencoba untuk memejamkan mata namun bayang-bayang masa lalu terus menghantuinya. Bayang-bayang sang ibu, bayangan sang ayah, dan bayangan si Puci sahabatnya seakan-akan menari didepan matanya. Dari kejauhan sana terdengar nyanyian burung-burung malam yang semakin menambah kegelisahan hatinya. Ia baru bisa memejamkan mata ketika bayangan fajar kazib (fajar yang tak sebenarnya) mulai sedikit-sedikit tampak. Terlelap !
Dari kejauhan sana terdengar kokok ayam yang bersahut-sahutan menandakan hari mau pagi. Semburan cahaya matahari mulai tampak di sela-sela pohon bambu yang bertengger dibelakang rumahnya. Serunipun telah terbangun sebelum matahari tampak ia tak mau bangun terlambat karena ia selalu ingat dengan pesan ayahnya bahwa seorang gadis itu tak boleh bermalas-malasan apalagi bangun terlambat, dia juga masih ingat dengan pepatah lama yang mengatakan “Siapapun yang bangunnya kesiangan maka rizekinya akan dipatok ayam”. Seperti itulah orang-orang desa.
Hari ini Seruni berniat untuk menengok sawahnya karena beberapa hari ini ia jarang pergi ke sawah semenjak kepergian si Puci. Entah apa yang membuat Seruni ingin sekali pergi kesawah, ingin melihat kereta api melewati sawahnya dia juga rindu dengan suara kereta api itu.
Tak membutuhkan waktu yang lama kurang lebih 10 menit ia sudah sampai ditempat dimana ia selalu menghabiskan waktu, melepas penat, berbagi bahagia dan kesedihan bersama tumbuhan-tumbuhan yang ada disekitar sawah. Dia teringat ketika ia meniupkan seruling bersama si Puci sahabatnya. Ia benar-benar merindukan masa-masa itu.
Tak terasa sudah beberapa jam berlalu dia berada disawah itu, semakin lama suara rel kereta api mulai terdengar ditelinganya. Seruni berlari untuk melihat kereta itu, dia berlari sekuat tenaga hanya demi melihat kereta yang melintas agar ia tidak tertinggal jauh dari kereta itu. Hari itu aneh bin ajaib dua kereta melintas dalam jarak waktu yang tak begitu jauh selang sekitar 30 menit setelah kereta pertama melintas disusul dengan kereta kedua tepat disaat tiba waktu senja.
Saat kereta kedua itu melintas Seruni sudah membalikkan badan ia mau meninggalkan tempat itu. Namun, ada sesuatu yang ganjil yang dia rasakan sehingga dia akhirnya mengurungkan niat utuk membalikkan badan. Ada sebuah isyarat, ia isyarat itu datang lagi persis seperti isyarat yang dulu ia rasakan beberapa tahun silam. Tiba-tiba ditengah perjalanan kereta itu terhenti. “Loh, kok kereta ini berhenti, apa dia rusak”? gumamnya dalam hati. Tak beberapa lama kemudian terlihat seorang laki-laki tua yang kira-kira berumur 60-an tahun keatas keluar dari kereta itu dengan tas ransel dipunggungnya. Laki-laki itu makin mendekat kearah Seruni berdiri. Awalnya laki-laki itu niatnya ingin bertanya kepada Seruni. Namun, makin lama jarak mereka semakin dekat dan jelas. Laki-laki tua itu menangis karena dia mengenali bahwa gadis itu adalah Seruni anak semata wayangnya. Seruni memiliki tahi lalat yang besar ditengah-tengah alisnya sehingga sang ayahpun dengan mudah mengenalnya. Awalnya Seruni ragu dengan laki-laki tua itu namun karena mereka memiliki ikatan batin yang kuat akhirnya mereka saling mengenal. Dengan sangat yakin mereka berpelukan, tangis di antara merekapun pecah, bagaikan dua pasangan kekasih yang baru dipertemukan kembali setelah sekian lama berpisah. Mereka melepaskan kerinduan yang sekian tahun terpendam dan kini sang penguasa langit dan bumi mempertemukan sang ayah dengan buah hatinya dibawah langit diatas bumi ini.
Jombang, 6 April 2016
*) Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) FIP Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.