Anindita S. Thayf *
Kompas, 24 Des 2016
Modernisasi di Indonesia yang melaju pesat pascareformasi dan ditopang oleh kemajuan teknologi informasi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya telah melahirkan kelas menengah dalam jumlah melimpah di kota-kota besar. Sebagai generasi yang telah menginternasional, mereka berpatokan dalam menjalani kehidupan pada segala sesuatu yang berasal dari mancanegara, terutama Eropa dan Amerika Serikat. Mulai dari cara berpakaian, menata rumah, menentukan tempat dan cara berlibur, hingga selera makan. Mereka juga tak lagi canggung menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Anak-anak sudah terbiasa memanggil ibu mereka dengan sebutan Mom dan bapak mereka dengan Dad sembari menyapa ”good morning” saban pagi.
Selain yang berkiblat ke Eropa dan Amerika, muncul pula kelas menengah yang menjadikan Timur Tengah sebagai kompas. Oleh kelas ini, bahasa Arab yang digunakan masyarakat Timur Tengah dipilih sebagai bahasa kedua. Jadilah bahasa Arab pesaing baru bahasa Inggris. Selain diajarkan di sekolah-sekolah, bahasa Arab juga mulai mewarnai percakapan sehari-hari, baik di dunia nyata maupun maya. Maka lahirlah anak-anak yang terbiasa memanggil ibunya dengan sebutan Ummi dan bapak dengan Abbi.
Ludwig Wittgenstein menyatakan bahasa serupa alat. Sebagai alat, bahasa bisa mengemban tugas yang tak terhitung jumlahnya. Tentang fungsi, itu bergantung pada apa yang hendak dituju si pengguna bahasa. Dengan demikian, latar belakang yang berbeda dari seorang pengguna bahasa akan menghasilkan pengertian yang tidak seragam untuk satu kata yang sama. Salah satu fungsi bahasa asing bukan semata-mata untuk berkomunikasi, tetapi juga untuk membedakan manusia kelas tersebut dengan manusia kelas lain di masyarakat, seperti buruh atau tani. Sebagai alat unjuk diri kelas, semakin sering seseorang menggunakan bahasa asing yang dicampur bahasa Indonesia semakin dianggap maju.
Bahasa asing yang sekarang sedang tren adalah Inggris dan Arab. Seorang anak yang belum tahu beda antara bahasa ibunya dan bahasa pengantar sekunder sering kali akan mencampurnya dalam percakapan. Maka, muncullah kalimat seperti, ”Ummi, aku mau banana.” Memang terkesan lucu bila kalimat itu diucapkan oleh anak-anak, tetapi bagaimana bila hal itu berlanjut hingga mereka dewasa? Masih pantaskah bahasa campur-aduk semacam itu disebut bahasa Indonesia?
Pertanyaannya sekarang adalah sampai kapan bahasa Indonesia mampu bertahan dari penggerusan bahasa-bahasa asing lewat gejala berbahasa seperti yang terjadi saat ini? Bila 10 kata dalam bahasa Indonesia diganti dengan 10 kata bahasa asing per hari, maka bagaimanakah nasib bahasa Indonesia sepuluh tahun ke depan—masih bisakah seutuh sekarang? Dan, apa pula jadinya bila modernisasi mendorong masyarakat menjadikan lebih banyak bahasa asing sebagai bahasa pengantar sekunder?
Saat ini masyarakat masih sanggup membedakan antara bahasa Indonesia dan bahasa bangsa lain, antara bahasa ibunya dan bahasa kedua. Namun, bagaimana dengan generasi masa depan yang sudah menggunakan ”bahasa (yang entah) apa namanya” itu sejak kecil?
Barangkali tidak lama lagi kalimat ungkapan kebanggaan ”Damn, ana cinta Indonesia!” akan menjadi jargon yang menasional dari para pemuda Indonesia yang mengaku patriotik. Namun, sebelum hari itu tiba, baiknya kita panjatkan doa semoga bahasa Indonesia diberi umur panjang sehingga kita tak perlu repot-repot mengubur sebagian isi Sumpah Pemuda hanya gara-gara satu bahasa (yang entah) apa namanya.
* Penulis Novel, Tinggal di Yogyakarta
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2016/12/24/bahasa-apa-namanya/