Bahasa Kedua

Dian Anggraini *
Lampung Post, 25 Agu 2010

Jika Anda menonton film Obama Anak Menteng yang diputar di bioskop bulan lalu, mungkin perhatian kita tertuju pada pemeran Barry Soetoro atau Obama kecil. Sosok kecil pemeran presiden ke-44 Amerika itu sangat piawai berakting dan fasih berbahasa Inggris. Rasa penasaran itu membuat saya mencari tahu siapakah dia.

Hasan Faruq Ali, demikian namanya, berusia 14 tahun. Sekilas ia tak berbeda dengan anak-anak yang berasal dari Indonesia bagian timur. Berhidung besar, rambut keriting, dan berkulit gelap. Namun, dugaan saya salah. Hasan bukanlah orang Indonesia. Ia lahir di Questa, New Meksiko, Amerika Serikat, dari pasangan Shakur Ali (personel grup religi Debu) dan Naseem Nahid. Mengetahui biografi Hasan, saya tak heran bila ia pandai berbahasa Inggris.

Dalam acara Rossy yang tayang di salah satu televisi swasta 18 Juli 2010 lalu, saya kaget. Bukan karena kemampuan berbahasa Inggris Hasan melainkan ketidakmampuan Hasan berbicara bahasa Indonesia dengan lancar. Padahal, menurut pembawa acara Rosiana Silalahi, Hasan dan keluarga telah bermukim di Indonesia selama 10 tahun. Asumsinya, saat itu usia Hasan empat tahun.

Saya miris mendengar pengakuan Hasan itu. Ia menuntut ilmu, bergaul, makan, dan bahkan bernapas di sini tapi tetap saja tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Masyarakat kita tidak mampu menularkan bahasa Indonesia atau memang lingkungan sekitar tidak memberinya peluang. Ini berbanding terbalik dengan masyarakat kita yang sok nginggris. Baru satu tahun tinggal di negeri orang sudah lupa mengatakan makan siang, lain waktu, sampai berjumpa, dan lainnya.

Dalam Hipotesis Umur Kritis (Critical Age Hypotesis) disebutkan seorang anak yang berumur di bawah belasan tahun, minimum 12 tahun, akan dapat memperoleh bahasa manapun dengan kemampuan seorang penutur asli (Lenneberg, 1967).

Proses literalisasi sendiri, menurut Krashen, terjadi saat anak berusia 4-5 tahun. Artinya, usia Hasan dari sejak pertama bermukim di Indonesia, tepatnya di Makassar pada waktu itu, sudah bisa menerima bahasa Indonesia sama halnya persis dengan anak-anak kita.

Hasan mengungkapkan kelancaran berbahasa Indonesia mulai ia dapatkan selama syuting film yang berlokasi di Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dalam tempo dua puluh satu hari ia bahkan sudah mengenal beberapa kosakata Betawi seperti he eh. Begitu cepatnya adaptasi tersebut karena didukung oleh lingkungan kerjanya.

Hasan adalah contoh kecil dari realitas. Betapa kita, begitu menjunjung tinggi bahasa “orang lain” tetapi bahasa kita justru dinomorduakan oleh pendatang.

Kita lebih memilih berkomunikasi dengan bahasa pendatang, ketimbang pendatang yang harus berkomunikasi dengan menggunakan bahasa kita sendiri.

Kebiasaan ini sudah seharusnya kita ubah. Kita harus belajar pada negara lain yang bersikukuh mempertahankan bahasa nasionalnya ketimbang mengalah dan merendahkan jati diri.

Kita harus mencontoh negara lain. Jerman dan Prancis bisa menjadi panutan. Seorang teman yang telah menginjakkan kaki ke Jerman bercerita bangsa tersebut sangat menjaga jarak dengan sesuatu yang berbau Inggris. Film di bioskop didubing total dalam bahasa Jerman. Di toko buku, seksi buku bahasa Inggris ditempatkan di tempat yang terpencil, yang mesti dicari-cari ke pelosok toko. Termasuk dalam menjalin relasi dengan orang Jerman, jika mereka tahu kita berbahasa Jerman, mereka akan senang. Walaupun pas-pasan, tapi tidak masalah. Mereka tidak meminta kita untuk sempurna dalam menguasai bahasa mereka.

Orang Prancis pun sangat percaya diri terhadap bahasanya. Gambaran umum yang saya dapat malah mereka tidak mau bercakap bahasa Inggris. Seorang teman yang bertanya pada resepsionis Hotel Fiat, Rue de Douai, Paris dengan menggunakan bahasa Inggris tidak dijawab. Padahal, menurutnya, hotel tersebut berkelas. Resepsionis tersebut dengan percaya diri malah berkata, “Vous etes a Paris, donc essayez de parler en Francais, s’il vous plait.” (Anda di Paris, jadi cobalah untuk berbicara bahasa Prancis, silakan).

Dari contoh itu kita belajar sesuatu yang berharga. Mereka merasa bangga menggunakan bahasa sendiri. Mereka juga merasa jati diri mereka terampas jika selalu menggunakan bahasa asing. Bahasa tentu menunjukkan nasionalisme.

Jadi, kapan kita bisa mendengar orang Indonesia mengucapkan “Selamat datang, Anda di Indonesia dan silakan berbicara bahasa Indonesia”?

*) Pemerhati bahasa, tinggal di Bandar Lampung.
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2010/08/25/bahasa-kedua/

Leave a Reply

Bahasa »