Ajip Rosidi *
Pikiran Rakyat, 27 Nov 2010
Pada 1951, UNESCO menganjurkan agar bahasa pengantar yang digunakan di lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah sebaiknya bahasa ibu anak-anak didik karena bahasa ibu lebih mesra dan lebih dikuasai oleh anak didik. Akan tetapi, pemerintah Republik Indonesia pada 1953 melalui Undang-Undang Pendidikan menetapkan bahwa di sekolah rakyat 6 tahun, yang sebelumnya menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar untuk semua mata pelajaran, hanya boleh digunakan sebagai bahasa pengantar di kelas I-III. Di kelas IV dan selanjutnya sampai sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, bahasa pengantar yang digunakan harus bahasa nasional, bahasa Indonesia. Pada waktu itu memang ada anggapan bahwa segala sesuatu yang berbau daerah (bahasa ibu disebut juga bahasa daerah), membahayakan kenasionalan Indonesia, seakan-akan bahasa ibu atau bahasa daerah itu merupakan lawan dari bahasa nasional, bahasa Indonesia.
Untuk menanamkan rasa kebangsaan dalam diri anak didik diusahakan agar anak didik sejauh mungkin disingkirkan dari segala sesuatu yang berbau daerah. Mungkin karena masih ada ketakutan bahwa kesatuan Indonesia akan terpecah-belah menjadi negara-negara bagian seperti yang diinginkan oleh van Mook sehingga dalam KMB yang disepakati adalah negara RIS (Republik Indonesia Serikat) meskipun umurnya hanya beberapa bulan karena rakyat Indonesia menginginkan negara kesatuan.
Pada 1975, pemerintah Orde Baru menetapkan bahwa bahasa pengantar di semua jenjang sekolah, dari taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan atas (SLA) dan perguruan tinggi hanya boleh bahasa nasional. Bahasa ibu hanya boleh dijadikan mata pelajaran. Kemudian terjadilah keajaiban yang tak dapat dimengerti oleh akal yang sehat, anak-anak yang baru mengenal bahasa ibunya harus mempelajari bahasa ibunya itu dengan pengantar bahasa nasional yang belum dikuasainya. Yang lebih ajaib ialah tak ada anggota DPR atau ahli pendidikan yang mempersoalkan hal itu. Mungkin mereka tak mengerti akan masalahnya atau tidak tahu akan adanya anjuran UNESCO agar menggunakan bahasa ibu sebagai pengantar.
Pada masa setelah reformasi, lembaga pendidikan yang berupa sekolah menjadi lahan bisnis yang marak. Maklumlah, para pebisnis berpendapat bahwa di Indonesia hanya ada tiga ladang bisnis yang menjanjikan keuntungan cepat dan besar, yaitu bisnis makanan, bisnis kesehatan, dan bisnis pendidikan. Mereka berlomba-lomba mendirikan sekolah dari TK sampai universitas. Supaya menarik calon langganan, yaitu para orang tua murid, disebutlah bahwa sekolahnya “bertaraf internasional” yang antara lain menggaji guru dari luar negeri dan menjadikan bahasa Inggris (bahasa internasional) sebagai bahasa pengantar.
Dr. Daoed Joesoef, yang pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pernah bercerita bahwa beliau merasa kaget sekali ketika berkunjung ke salah satu sekolah internasional di Jakarta, ternyata murid-muridnya sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia.
Memang sejak awal kalau kita perhatikan, para ahli pendidikan dan para birokrat pengambil keputusan dalam bidang pendidikan pemerintah Republik Indonesia dalam menyusun kebijakan pendidikan yang diberlakukan di lembaga-lembaga pendidikan kita tidak pernah mementingkan anak didik. Barangkali tidak pernah kepentingan anak didik masuk ke dalam kepalanya ketika merencanakan kebijakan pendidikan. Yang selalu didahulukan ialah kepentingan nasional – entah apa pun artinya. Kemudian kehendak agar anak didik menjadi pancasilais, pernah agar menjadi manipolis sejati, pernah agar menjadi sosialis religius, dan entah apa lagi. Akan tetapi, tak pernah ada kehendak untuk membuat anak didik menjadi dirinya sendiri sesuai dengan kodrat dan bakat yang dipunyainya.
Yang menyedihkan ialah karena ternyata anak-anak lulusan lembaga pendidikan selama ini tidak mencapai tujuan seperti yang dikehendaki para pengambil kebijakan pendidikan itu. Sudah sejak lama ada keluhan bahwa anak-anak kita lulusan sekolah-sekolah itu luntur rasa nasionalismenya, rendah kemampuan berbahasanya, baik bahasa nasional maupun bahasa Inggris. Jangan disebut kemampuannya berbahasa ibu. Belum lagi kemampuannya dalam bidang-bidang ilmu yang diajarkan.
Sudah beberapa tahun timbul wacana tentang kegagalan pendidikan kita. Berbagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan kita tidak juga ada hasilnya. Entah sudah berapa kali dibentuk komisi pendidikan yang anggota-anggotanya terdiri atas para ahli pendidikan, dan entah sudah berapa tebal saran-saran yang dihasilkannya, tetapi keadaan pendidikan kita tetap menyedihkan. Bahkan kian lama bukannya kian membaik, malah kian melorot.
Sangatlah menarik berita yang berjudul “Bahasa Asing Jangan Jadi Bahasa Pengantar” dengan judul tambahan “Bahasa Ibu Tentukan Keberhasilan MDG’s” (Kompas, 11 November 2010, hlm. 12). Di situ diberitakan bahwa dalam konferensi internasional MDG’s (Language, Education, and the Millenium Development Goals) yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand, para pesertanya mengkhawatirkan pemakaian bahasa Inggris (asing) sebagai bahasa pengantar pendidikan malah bisa menyebabkan para siswa kebingungan dan tidak mengerti persoalan dan menimbulkan salah pengertian.
Para ahli peserta konferensi yang mempunyai pengalaman yang luas itu menyatakan bahwa penggunaan bahasa asing yang terlalu dini di taman bermain atau di taman kanak-kanak akan mengacaukan kemampuan berbahasa anak. Suzanne Romaine, ahli bahasa Inggris dari University of Oxford, Inggris, menyatakan,
“Ajarkan bahasa ibu dahulu. Baru seiring dengan itu, sedikit demi sedikit, ajarkan bahasa lain.”
Pernyataan itu barangkali dapat menyadarkan para ahli pendidikan kita, paling tidak merangsang pertanyaan dalam nuraninya, apakah kegagalan pendidikan yang kita alami sekarang ini bukan akibat dari kita tidak mempergunakan bahasa ibu di sekolah-sekolah kita? Bahasa Indonesia bagi anak-anak kita, terutama yang tinggal jauh di daerah, adalah bahasa baru.
*) Ajip Rosidi: Penulis, budayawan.