Deviasi Bahasa Puisi

Muhammad Husein Heikal *
Kompas, 8 Apr 2017

Bagi penyair, ada kewenangan istimewa dalam memperlakukan bahasa yang dikenal sebagai deviasi bahasa. Dalam Buku Praktis Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 2003) dijelaskan bahwa pemahaman bahasa dalam konteks media puisi tidak sama dengan pemahaman terhadap bahasa yang hidup dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa sastra berbeda dengan bahasa pidato, buku teks, atau karya ilmiah. Bahasa dalam puisi sering menyimpang dari kaidah atau ketetapan tata bahasa yang normal. Penyimpangan ini dalam linguistik disebut deviasi bahasa. Penyimpangan itu diperbolehkan demi visi puisi sang penyair kesampaian.

Beberapa pemanfaatan deviasi bahasa tersua pada struktur kalimat dalam larik (1) menepis sedih ia dalam kalut (menepis mendahului subjek dengan maksud untuk mengedepankan predikatnya; (2) biarkan bumi semakin bergesa (mestinya kata bergesa bertulis tergesa-gesa; (3) seribu api—tata urut frasa ini tampaknya ingin menjelaskan bahwa panasnya api itu beribu-ribu kali panasnya dari panas biasa; (4) di sayup-sayup embun—preposisi di seharusnya bergabung dengan nomina atau yang menyatakan tempat, tapi di di sini disandingkan dengan adjektiva, sayup-sayup; (5) seperti hujan yang jatuh remis–terjadi penyingkatan kata geremis menjadi remis yang dilakukan penyair.

Penyimpangan struktur kalimat, pembalikan tata urut kata, pelesapan unsur kata, atau penyingkatan kata dimaksudkan agar tercapai keindahan puisi yang diciptakan. Puisi mampu memanfaatkan bahasa secara leluasa karena penyusunan bahasa dalam karya sastra lebih dinamis (Tynjanov dalam Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1977: 22). Karya sastra dianggap sebagai sebuah kerja kreatif-imajinatif yang memiliki kelebihan khusus: bahasa dalam kesusastraan tidak hanya sebagai media komunikasi. Bahasa dalam sastra memberi makna yang luas bagi hubungan antarmanusia. Kemampuan sastrawan mengeksploitasi bahasa dalam berbagai dimensi membuat bahasa sastra terkesan lebih memukau.

Bahasa sastra dicirikan memiliki karakteristik konotatif, simbolis, efek musikalitas, dan multitafsir. Yang terakhir disebut merupakan yang paling menonjol karena kesalahan tafsir bisa menimbulkan persepsi (pembaca) yang berbeda. Ini mengakibatkan adanya kesalahan komunikasi sehingga puisi itu tidak total dipahami pembaca yang salah menafsirkan.

Chairil Anwar menuliskan ini kali (dalam puisi ”Senja di Pelabuhan Kecil”). Bila mengikuti aturan tata bahasa, ini kali seharusnya ditulis kali ini. Ini kali bisa menimbulkan penafsiran ini sungai. Padahal, kali di sini adalah persoalan waktu. Namun, bila kata kali diganti menjadi saat atau sekarang tentu cita rasa puisi akan berbeda.

Dalam puisi ”Kenangan”, Chairil sengaja menyelang-seling bahasa. Kata-kata klise dengan bentuk yang justru baru atau belum dikenal. Kadang/Di antara jeriji itu-itu saja/Mereksmi memberi warna. Kata mereksmi sangat menarik perhatian dan terlihat istimewa, selain jeriji tentunya. Kata itu begitu asing di telinga kita. Ada kemungkinan mereksmi adalah bahasa prokem yang digunakan sebagai sarana komunikasi para remaja. Di balik bahasa itu terselubung sandi-sandi yang hanya dimengerti kalangan tertentu. Chairil menampakkan kebosanannya dengan kata itu-itu saja sehingga muncullah kata-kata baru yang segar sebagaimana yang telah dilakukannya dengan berbagai eksperimen dan inovasi.

Pada titik itulah keterlibatan penyair dalam menafsirkan puisinya sangat penting. Ada indikasi yang lebih kuat, terlepas dari kontroversi apakah puisi yang memberi dan menghadirkan makna kepada pembacanya, ataukah sebaliknya, pembaca itu sendiri yang menyajikan makna terhadap sajak. Di pihak lain apakah pembaca/penafsir harus semata-mata berhadapan dengan teks (puisi) sebagai sesuatu yang telah utuh ataukah keterlibatan penyair menjadi penting? Bagaimanapun, puisi terbuka untuk berbagai penafsiran selagi ia memberi argumentasi yang layak diterima; sementara penyair leluasa mengeksploitasi dan menyimpangkan bahasa atas nama deviasi bahasa.

* Juara I Lomba Debat Bahasa Indonesia, Balai Bahasa, Sumatera Utara (2016)
Deviasi Bahasa Puisi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *