Marco Kusumawijaya *
Majalah Tempo 13 Apr 2009
Yang saya maksud bukan kehabisan kata-kata, melainkan benar-benar terancam hilangnya kata-kata bahasa Indonesia. Setidaknya ada dua ancaman, ialah hilangnya realitas yang diacu oleh kata, dan hilangnya makna dalam penerjemahan yang tidak memadai—lost in translation. Semuanya berdampak pada berkurangnya ke bhinekaan.
Layar, misalnya, makin menghi lang dari kehidupan kelautan kita. Para nelayan makin jarang menggunakan layar karena tersedianya mesin, dan karena harus makin jauh pergi ke laut untuk mendapatkan ikan, sebab perairan yang dekat pantai telah tercemar. Di suatu pantai di Sulawesi Tenggara, tempat terdapat banyak tambang nikel, pantainya telah tercemar sedimentasi. Perahu-perahu nelayan bukannya berlayar, melainkan berbendera partai peserta pemilu, serta bergerak karena tenaga mesin yang membakar bahan bakar fosil, bukan karena layar yang berdayakan angin bersih dan terbarukan.
Apa yang akan terjadi dengan kata ”berlayar” dalam arti pergi ke laut? Apa yang akan terjadi dengan ungkapan ”layar terkembang”? Bagaimana pula dengan kata kartu pos yang sekarang sudah tergantikan dengan e-card (kartu pos elektronik) dan mesin ketik yang sudah digusur oleh laptop.
Mungkin kata itu akan bertahan, meskipun mungkin nanti terlupakan asal-muasalnya.
Kata rumah tangga tidak banyak diketahui asal-muasalnya. Mengapa kata rumah dan tangga itu harus disandingkan? Saya punya dugaan berdasarkan pengalaman di Aceh. Ketika sedang membantu membangun rumah di Aceh, ada satu gagas an menempelkan dua rumah menjadi satu pada satu sisi, seperti kembar siam, sehingga halaman dari masing-masing rumah di sisi berla wanan akan lebih lebar. Ini pemecahan untuk lahan sempit. Konsekuensi logisnya, kami kira, adalah juga menyatukan tangga naik ke rumah-rumah yang memang kami rancang berpanggung (atau bertungkat, kata orang di Siak, Riau). Kami mendapat reaksi yang keras. Hal itu tidak bisa diterima sama sekali, meskipun rumah yang menempel dapat diterima. Setiap rumah harus memiliki tangga tersendiri. Boleh saja bersebelahan, tetapi harus jelas berbatas. Setiap rumah tangga harus terdiri dari rumah dan tangga.
Kini kita tetap menggunakan kata rumah tangga meskipun rumah makin tidak bertangga, karena tidak lagi bertungkat, atau kalaupun bertangga, maka bertangga bersama seperti pada gedung rumah susun.
Kampung halaman adalah contoh lain. Kata halaman di sini dapat diduga bukan berarti halaman masing-masing rumah yang terpisah. Sebab, di kampung, halaman sering tidak berbatas tegas dan sambung-menyambung menjadi tempat bermain atau lalu-lalang sehingga bersifat publik. Ketika urbanisasi telah mencapai beberapa generasi, kampung halaman tidak lagi menjadi tempat tujuan pulang atau mudik pada hari Lebaran. Sebab, mungkin rumah dan tanah nenek moyang di sana sudah dijual. Pada 1950-an ada gerakan sukarela di kalangan para sosialis di Jakarta untuk membagikan tanahnya di kampung halaman kepada petani setempat, sehingga akhirnya mereka menjadi sepenuhnya orang Jakarta yang tidak lagi punya tujuan mudik. Akankah kata kampung halaman bertahan seratus tahun lagi, ketika bangsa Indonesia sudah menjadi penghuni kota beberapa generasi?
Kehilangan kata karena lost in translation harus dicegah, karena mengancam keanekaragaman hayati maupun budaya.
Di halaman Hotel Hyatt di Yogya pohon duku diberi nama dalam tiga bahasa: Lansium domesticum, Langsat, Duku. Maksudnya, yang pertama itu bahasa Latin atau ilmiahnya, yang kedua bahasa Inggris, dan yang ketiga bahasa Indonesia. Padahal langsat sangat berbeda dengan duku. Kulit langsat berwarna kuning kental, maka ada kata kuning langsat, sedangkan kulit duku kuning pucat, keputihan, tentu tidak bagus kalau kulit perempuan dibilang ”kuning duku”. Tetapi langsat banyak terda pat di Semenanjung Malaya (dan Sumatera!). Mungkin dari sinilah orang Inggris mengambil kata langsat itu. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memadankan Lansium domesticum baik untuk langsat maupun duku.
Kain bisa jadi kehilangan makna spe sifiknya bila hanya diterjemahkan sebagai Indonesian cloth atau textile.
Kata saujana berarti bidang pandangan antara subyek dan horizon (sejauh-jauhnya), seperti pada sauja na mata, yang berarti sejauh mata memandang (KBBI). Menurut Badudu-Zain (Kamus Umum Bahasa Indonesia), kata ini berasal dari seyojana yang berakar kata yojana, yang digunakan untuk menyatakan jarak yang jauh. Kini kata itu dipakai oleh sebagian kalangan pelestarian pusaka dalam kata ”pusaka saujana” dengan maksud menerjemahkan konsep cultural landscape. Konsep cultural landscape ingin menyatukan benda terbangun (misalnya Borobudur) dengan lingkungan sekitarnya. Tetapi cara menggunakan kata secara seenaknya ini, selain menjadi ngawur, bisa menghilangkan arti sesungguhnya dari kata saujana. Mengapa tidak menggunakan kata yang sudah lama dikenal, alam budaya, sehingga menjadi ”pusaka alam budaya”?
*) Marco Kusumawijaya, Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta.
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2009/04/13/kehilangan-kata-kata/