Mata Hari dan Matahari

Seno Gumira Ajidarma *
Majalah Tempo, 27 Feb 2017

Saya bukan penggemar Paulo Coelho, jadi sempat cuek saja melihat The Spy (2016) terpampang di gerai buku-buku impor di bandar udara. Namun, karena selalu tertarik membaca soal spionase, pada penerbangan berikutnya saya mencari buku itu, dan ternyata habis. Setiap kali menjelang keberangkatan, saya tengok gerai buku-buku impor di bandara mana pun, The Spy tidak terlihat lagi. Artinya, ada percetakan entah di mana sibuk mengejar target.

Lantas muncul juga buku itu. Sebelumnya saya lakukan googling, dan seperti saya duga dari sampulnya, The Spy adalah buku tentang Mata Hari. Membawa buku itu masuk pesawat, tamat membacanya sewaktu mendarat dalam satu jam penerbangan, seingat saya tidak ada penjelasan tentang kata “mata” dan “hari” tersebut.

Mungkin diandaikan, pembaca dengan sendirinya mengerti: Mata Hari (1876-1917) adalah “nama komersial” penari Margaretha Geertruida Zelle, perempuan kelahiran Belanda yang pernah tinggal di Hindia Belanda dan dihukum mati di Prancis sebagai agen ganda yang juga bekerja untuk Jerman dalam Perang Dunia I. Dalam kenyataannya, perempuan ini hanyalah seorang penari erotis-eksotis dari dunia hiburan yang “rindu order” ketika menua. Ia menjalankan petualangan seksual sebagai gantinya, di antara para pejabat militer Prancis, yang memanfaatkannya untuk menggali informasi dari para pejabat militer Jerman.

Intelijen Jerman justru berhasil menipu intelijen Prancis, yang percaya Mata Hari berkhianat, sehingga Mata Hari, yang memburu upah di balik kesenangan seksual, yang secara romantis dibelokkan sebagai cinta, dihukum tembak. Kesialan ini menjadi tragedi romantis dalam berbagai biografi dan film komersial, yang berpuncak pada film berjudul Mata Hari (1931) yang dibintangi Greta Garbo, aktris film bisu tercantik dan terkenal sejagat waktu itu. Kini, semenjak arsip Mata Hari terbuka pada 1999, semakin banyak eksplorasi komersial atas kehidupannya. Coelho tidak akan menjadi yang terakhir.

Dari sudut pandang bahasa, kata “matahari” menarik karena sangat dikenal dalam makna yang sangat berbeda dengan arti kata itu: bintang yang disebut Matahari. Ucapkanlah “Matahari! Matahari!” keras-keras di Paris hari ini, maka tidak ada yang akan menengok ke atas, tapi sebagian orang sangat mungkin bertanya-tanya, mengapa nama perempuan bernasib malang itu disebut-sebut di jalanan.

Sebaliknya, bila “Matahari! Matahari!” diteriakkan di Pasar Genjing, Jakarta, tidak ada seorang pun yang akan menghubungkannya dengan penari yang mengaku menimba inspirasi tari striptease dari candi-candi di Jawa itu. Tidak berarti orang-orang di Pasar Genjing akan menengok ke atas, karena terdapat juga “matahari” lain yang sempat terdengar dominan, yakni jaringan gerai Matahari.

Kata “matahari” sebagai gabungan kata “mata” dan “hari” untuk menunjuk bintang Matahari juga unik, karena sekaligus simbolis: satu-satunya penerang bagi bumi, menjadikannya “mata” dari “hari”. Tidak aneh jika berdasarkan yang puitis inilah Margaretha memilih namanya, Mata Hari, dua kata terpisah, sebagai nama panggungnya. Bukan Matahari sebagai penanda bintang.

Meski hampir semua teks di luar buku Coelho menyebutkan asal-usul nama Mata Hari, hanyalah petualangannya yang menjadi memori kolektif pembaca atau penonton, yang tidak berbicara dalam bahasa Indonesia.

Suatu konsep bahasa terhubungkan dengan kenyataan ini: bahwa makna adalah produk relasi sistematis di antara berbagai elemen yang berbeda-beda. Meski sama-sama berbunyi “matahari”, dari sumber yang sama pula, yakni bahasa Melayu, relasi sistematis yang berbeda antara “matahari” di Paris dan “matahari” di Pasar Genjing membuat makna kata itu berbeda.

Makna “matahari” di Prancis dan Amerika Serikat (baca: Hollywood) pasca-Perang Dunia I, dalam dominasi wacana hiburan, hanyalah Mata Hari, perempuan yang kehadirannya dibentuk eksotisisme terhadap segala sesuatu yang “ketimur-timuran”. Memenuhi kebutuhan fantasi atas sesuatu “yang lain”, tapi yang tidak perlu menggoyang superioritas Eurosentrisme.

Sedangkan makna “matahari” di Pasar Genjing tidak akan segera menuju kepada perempuan yang ditembak mati di Vincennes, Prancis, pada pagi 15 Oktober 1917 itu, karena “matahari” bukan pula “mata” dari “hari”, melainkan hanya sumber kegerahan yang membuat manusia membutuhkan AC.

Namun konsep lain bahwa bahasa bukanlah sesuatu yang empiris, melainkan suatu kapasitas sosial, mendapatkan pembuktian. Kelompok sosial yang mengenal Mata Hari melalui majalah hiburan, novel Remy Sylado Namaku Mata Hari (2011), atau The Spy tadi mungkin terpikir juga akan Mata Hari ketika mendengar ada yang berseru, “Matahari! Matahari!” saat melewati Pasar Genjing.
***

*) SENO GUMIRA AJIDARMA lahir di Boston, 19 Juni 1958. Ia adalah seorang sastrawan, fotografer dan kritikus film Indonesia. Cerita pendeknya Pelajaran Mengarang terpilih sebagai Cerita Pendek Terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan cerita pendeknya antara lain: Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999), juga beberapa novel seperti Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Pada tahun 1987, ia mendapat Sea Write Award. Berkat cerita pendeknya Saksi Mata, ia memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997. Pada 2005, ia mendapatkan Khatulistiwa Literary Award 2005. Kini ia tinggal di Jakarta dan mengajar matakuliah Kajian Media di FFTV-IKJ dan Kajian Sinema di Program Pascasarjana FIB UI.
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2017/02/27/mata-hari-dan-matahari/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *