Misteri Kata Berulang

Putu Wijaya *
Majalah Tempo, 11 Okt 2010

SEBUAH kata tidak pernah berdiri sendiri. Setelah disepakati untuk mengusung sebuah pengertian, ia aktif bekerja dan lantas menimbun sejarah. Dalam perjalanannya, tak bisa dikontrol, ia bisa menaikkan berbagai penumpang. Tak sedikit penumpang gelap yang ikut menempel, sehingga kata itu tumbuh, berkembang, dan bisa membelot.

Kata “makan” mengandung pengertian mengisi perut. Memasukkan makanan ke dalam mulut untuk bertahan hidup. Tapi kemudian kata itu dipakai juga untuk menunjukkan memasukkan pengetahuan ke dalam otak, seperti dalam “makan sekolahan”. Dalam “makan hati”, tidak ada lagi urusan dengan makan, karena yang dimaksudkan adalah situasi “sakit hati”.

Kata “selesai” adalah lawan dari kata “mulai”, artinya berakhir atau rampung. Dalam perkembangannya, kata itu bisa berarti macat, mati, atau sempurna. Tetapi kemudian melompat untuk mewakili pengertian yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya. Dalam kalimat: “Selesai sudah perjuangan yang semula dipujikan akan membawa kejayaan itu”, “selesai” berarti gagal.

Kamus mencoba membatasi petualangan kata. Tetapi bahasa tidak bisa dikekang. Kata-kata bagaikan kuda liar yang akan terus saja berlari, bahkan menembus wilayah-wilayah terlarang yang semula sama sekali bukan trayeknya. Sebuah kata yang sangat lumrah, lewat lika-liku perjalanannya, berkhianat jadi pendukung pengertian yang sebaliknya karena disampaikan dengan intonasi lain. Kata “indah”, “cantik”, “pintar”, dan “hebat”, yang merupakan sebuah puncak pujian, bisa menjadi hujatan, celaan, dan umpatan, bergantung pada bagaimana ia diucapkan.

Arti kata kadang berhasil dipatok/diduga oleh kamus. Tetapi banyak sekali kata yang kemudian ingkar, menerobos takdir, melawan arti bakunya. Karena itu, kamus harus selalu rajin membersihkan diri kalau tidak mau menjadi hanya timbunan kata yang sudah mati. Kelakuan manusia pemakai kata sangat berperan.

Dalam bunyi yang berulang, ada misteri, energi, dan nuansa magis. Mantra adalah pengulangan-pengulangan yang membuat sang pemakai kata bisa kosong, lalu kemasukan. Seperti nada yang berulang-ulang dalam musik “tripping” yang bisa membawa terbang dan menghanyutkan pendengarnya “teler”.

Dalam kata-kata yang berulang, ada pendalaman dan juga pergeseran pengertian. Pengulangan adalah penerus, pengeras arti, tapi bisa juga menyulap sebuah kata untuk menunjuk sesuatu yang sama sekali baru. “Malam” dan “malam-malam” masih terkait tetapi sudah berbeda. “Jalan” dan “jalan-jalan” juga masih dekat. Tapi “main” dan “main-main” sudah berubah arti. Begitu juga “mata” dan “mata-mata”. Atau “rupa” ketika menjadi “rupa-rupa” dan “tiba” sesudah menjadi “tiba-tiba” artinya berbeda sekali.

Almarhum Arifin C. Noer adalah penulis lakon/sutradara/aktor yang sering membuat judul lakon dengan kata berulang. Misalnya Mega-mega, Kapai-kapai, dan Umang-umang. Pengulangan itu tidak lepas dari jiwa musikal Arifin (yang memiliki suara indah layaknya penyanyi) atau karena ia juga seorang penyair, sehingga irama menjadi penting.

Tak hanya menggandakan bunyi, Arifin juga mengubah konsonan pengulangan itu. Seperti Kucak-kacik. Dalam pengulangan yang berubah bunyi, ada hajat untuk mengeraskan. Memberikan tekanan lanjut, seperti pada kata “morat-marit”. Atau “huru-hara”, “wara-wiri”, dan “mondar-mandir”. Perubahan vokal itu menyebabkan terasa ada dinamika.

Ternyata ada konsep gerak (akting) dalam kata-kata. Hal tersebut jelas kalau kita simak sandiwara radio. Cerita-cerita seram jauh lebih seru ketika didengarkan ketimbang diperlihatkan dengan peragaan. Kata-kata dengan demikian tidak hanya simbol, tetapi juga kekuatan/senjata yang mampu merangsang/menggerakkan penonton dari jarak jauh.

Kata-kata bukan hanya perjanjian pengertian, melainkan remote control emosi pendengarnya. Tak mengherankan kalau dikatakan ada seribu makna dalam sebaris kalimat. Konon, puisi dapat mengganti beberapa pucuk senapan dalam pertempuran. Tak aneh kalau kata-kata dijaga ketat dalam pergaulan karena dapat memicu keributan.

Kata-kata memiliki bakat memberontak. Kata bisa berpotensi sebagai bom yang membuat sebuah kalimat bisa meledak dan menimbulkan huru-hara. Maka kata-kata pun diberi persyaratan busana, kalau mau digelar di ruang publik. Sebuah penerbit pernah minta penulis mengganti kata “ngeloco” dengan “masturbasi”. Sebenarnya kedua kata itu pengertiannya sama, tetapi yang pertama dianggap cabul.

Ternyata ada watak/sifat dalam kata. Kata-kata seperti makhluk hidup yang berbeda warna satu sama lain. Ada kata yang selamanya manis. Ada yang berbakat jadi prajurit. Ada yang temperamental dan berbahaya karena dapat membunuh tuannya sendiri, kalau yang bersangkutan tidak berhati-hati.

Kata juga tidak mau dibatasi oleh kesepakatan ketika ia dilahirkan. Ia bagaikan seorang ronin, samurai bayaran. Berkelana dan mengabdi kepada siapa saja yang mau membayar mahal, sebagai tuannya.

Tapi kata-kata juga tidak abadi. Ia bisa mati, bila tidak pernah dipakai lagi. Seperti kata “porem” dalam ungkapan “porem wajah” yang sudah diganti “raut wajah”. Namun hebatnya, kata yang sudah mati sewaktu-waktu bisa bangkit dan menyerang kembali dengan garang bila disulut. Kata “ganyang” yang berasal dari bahasa Jawa dan dikobarkan oleh Bung Karno pada masa “ganyang Malaysia” sampai kini berkibar.

*) Putu Wijaya: Dramawan, sastrawan.
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2010/10/11/misteri-kata-berulang/

Leave a Reply

Bahasa »