Zen Hae *
Majalah Tempo, 1 Agu 2016
Dalam sebuah kicauannya beberapa bulan lalu, penyair dan kritikus seni Nirwan Dewanto (@nd_nir) bertanya, “Mengapa sanjak menghilang?” Jawabannya mungkin bisa kita temukan jika kita mundur ke dasawarsa 1950 atau ke masa yang lebih silam daripada itu.
Ketika para kaum terdidik bumiputra di Hindia Belanda mulai menulis apa yang kemudian disebut sebagai puisi, mereka menggunakan sebutan pinjaman dari bahasa Belanda: poëzie, yang diucapkan menurut lidah mereka: poési. Sejumlah esai Sutan Takdir Alisjahbana (STA) di majalah Pandji Poestaka pada 1932 menyebutkan pokok soal yang sedang ia bahas adalah poési, jenis karya sastra yang sebelumnya dinamai dengan kata pinjaman dari bahasa Arab, syair.
STA dan para penyair generasi kedua ini juga menggunakan nama lain untuk syair jenis baru: sonnet atau soneta. Pilihan ini bukan tanpa alasan sama sekali. Dalam sebuah tilikannya di Poedjangga Baroe Agustus 1933, Armijn Pane menegaskan kesejajaran bentuk soneta yang asal-muasalnya dari Italia itu dengan pantun yang berkembang di Nusantara. Delapan larik pertama soneta (terdiri atas dua kuatrin) berisi pelbagai citraan alam, yang sejajar dengan sampiran dalam dua baris pertama pantun. Sementara enam larik terakhir soneta (terdiri atas dua terzina) berisi pernyataan isi/maksud penyair, yang sejajar dengan isi pada dua baris terakhir pantun.
Kendati demikian, penggunaan nama soneta merujuk pada puisi baru yang senantiasa dibatasi jumlah larik, bait, dan rimanya. Untuk jenis puisi bebas, mereka lebih senang menggunakan nama puisi, meski bentuk ini baru benar-benar optimal pada masa Chairil Anwar.
Sebelum itu, bangsa Melayu punya sejumlah kata untuk menamai bentuk-bentuk puisi tradisional: pantun, talibun, gurindam, seloka, madah, sajak, sanjak, syair. Meski dalam bentuknya yang tradisional, nama-nama ini memperlihatkan watak kosmopolitan sastra Melayu. Dua kata pertama (pantun, talibun) adalah khas Melayu; gurindam diserap dari bahasa Tamil; seloka diserap dari bahasa Sanskerta; madah, sajak, sajak, syair diserap dari bahasa Arab. Nama-nama tradisional sekaligus kosmopolitan ini masih kerap digunakan pada masa 1930-an.
Modernisasi bentuk puisi yang diupayakan oleh Chairil Anwar makin menggilas nama-nama tradisional yang diwarisi dari generasi Pujangga Baru dan khazanah Melayu itu. Hingga akhir dasawarsa 1940, Chairil hanya menggunakan dua nama secara berganti-ganti: puisi dan sajak. Di luar itu, terutama dalam sejumlah telaah yang muncul sesudah kematian Chairil Anwar pada 1949, masih digunakan pula kata sanjak sebagai nama lain untuk puisi, sementara penghasilnya disebut penyanjak.
Intojo, salah seorang pengarang generasi Pujangga Baru yang masih aktif menulis pada dasawarsa 1950, suatu ketika menulis perbandingan puisi Amir Hamzah dan Chairil Anwar di majalah Indonesia, Nomor 10 Tahun II, Oktober 1951. Dalam esai “Amir Hamzah dan Chairil Anwar” ia jelas-jelas membedakan antara sajak dan sanjak, di samping tetap menggunakan kata puisi untuk pokok soal yang sama. Misalnya, dalam kalimat Disini ternjata, bahwa sandjak jang tak bersadjak sudah dipakai pula oleh Amir Hamzah. Tetapi dalam puisi bahasa-bahasa Indonesia memang sedjak dulukala ada kebiasaan demikian, misalnja dalam tembang Djawa dan Sunda, dalam bahasa-berirama Melaju jang antara lain pernah dipakai djuga oleh Amir Hamzah untuk wadah tjurahan isi hatinja….”
Dalam catatan kaki esainya itu, Intojo menerangkan: “Sadjak = persamaan bunji, teristimewa pada suku kata terachir dari baris sandjak. Dalam bahasa Belanda: sadjak = rijm, sandjak = vers.”
Pemerian itu bisa jadi tampak ilmiah dan jelas, tapi tidak terlampau praktis dalam penggunaannya. Sajak sebagai padanan rima sekaligus nama jenis puisi modern masih lebih sering digunakan ketimbang sanjak yang secara khusus merujuk pada bentuk karangan secara keseluruhan, bukan permainan bunyi dalam larik per larik. Ketika diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1968, kumpulan puisi Priangan Sidjelita karya Ramadhan K.H., misalnya, masih disebut sebagai “kumpulan sanjak”, bukan “kumpulan sajak” atau “kumpulan puisi”.
Pada dasawarsa 1960 dan sesudahnya, kata sanjak praktis hilang dari kosakata puisi Indonesia modern. Kata ini dipandang terlampau kuna dan berbau zaman sebelum perang. Menjadi penyair modern dalam pengertian ini adalah memutuskan hubungan dengan masa silam, dengan generasi-generasi penyair sebelumnya. Meminjam kalimat Armijn Pane, “Kami akui keindahan pantun dan syair, gurindam, tetapi tempatnya ialah zaman yang lalu. Dalam zaman ini tiada pada tempatnya.”
Begitulah, dalam situasi puisi Indonesia mutakhir yang tampak tanpa masa silam ini, maka puisi adalah nama umum untuk jenis karangan yang kerap dibedakan—meski tidak selalu berhasil—dengan prosa. Sajak sesekali masih digunakan demi mencapai makna khusus sekaligus klasik. Syair lebih banyak digunakan dalam bentuk pelaku-penghasil penyair; pada saat yang sama kata kerap digunakan pula sebagai padanan lirik dalam dunia musik. Adapun pemuisi dan penyajak (nomina bermakna pelaku-penghasil) yang secara morfologis benar, belum lagi berterima, sementara penyanjak dipandang terlampau kuna dan anakronistis.
* Penyair dan kritikus sastra
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2016/08/01/sanjak-sajak-puisi/