Goenawan Mohamad *
Majalah Tempo, 10 Mar 2014
Saya pernah mendengar seorang penyair bahasa daerah membaca puisinya dengan menarik dan kocak, dan kemudian mengatakan, “Bahasa Indonesia adalah bahasa imperialis.”
Saya tak tahu adakah ironi dalam ucapannya. Tapi, kalau tidak, ia lupa bahwa tiap bahasa-juga bahasa daerahnya-punya kemungkinan mendesak bahasa lain. Yang disebut bahasa “Sunda”, misalnya, atau “Jawa”, dapat dilihat sebagai bahasa yang dikonsolidasikan, dan sebagai akibatnya meminggirkan bahasa yang tak diakui sebagai “Sunda” atau “Jawa” yang “baik dan benar”. Dalam keadaan itu, bahasa Indonesia justru jadi alternatif yang membebaskan. Orang-orang dari tempat saya dibesarkan, di pesisir utara Jawa, yang hidup dengan bahasa “Jawa” yang dianggap tak pantas, akan lebih leluasa berbahasa Indonesia bila mereka bercakap-cakap dengan para priayi dari Surakarta.
Mungkin itu sebabnya bahasa Indonesia, yang tak dianggap sebagai asing, berkembang seperti sekarang.
Kekuasaan-sosial, ekonomi, politik-memang punya peran penting dalam cerita ini. Tapi tak berarti penyeragaman yang lengkap bisa terjadi. Sekian ratus tahun setelah Raffles, kita berdiri di tepi Oxford Street di Singapura dan kita akan yakin bahwa bahasa orang Singapura adalah bahasa Inggris-tapi kita tak tahu lagi sekarang apa arti “Inggris”. Hal yang sama terjadi jika kita berada di sebuah sudut Kota Manila, Filipina. Akhirnya, bahasa dibentuk oleh pelbagai kebutuhan dan keniscayaan lokal.
Seperti hal-hal lain, bahasa tak pernah luput dari sejarah.
Alkitab punya cerita yang terkenal tentang gagalnya proyek Menara Babel. Manusia berniat mendirikan sebuah menara yang menjulang tinggi mendekati langit dan dengan itu mereka akan hidup dengan satu bahasa. Tuhan menganggap itu sebuah ketakaburan yang membahayakan posisi-Nya. Ikhtiar itu digagalkan. Manusia dicerai-beraikan, dengan bahasa yang berbeda-beda.
Ada beberapa tafsir tentang cerita ini. Saya tak akan mempersoalkan motif Tuhan menghancurkan proyek itu. Yang bagi saya menarik ialah korelasi antara kehendak hidup di menara yang menjulang mendekati langit itu dan kehendak akan universalitas bahasa-satu hal yang, sekalipun tanpa intervensi Tuhan, tak akan pernah tercapai. Bahasa selamanya berada di dekat bumi. Ia tak akan terpisah jauh dari apa yang disebut Marx sebagai “basis”-kehidupan dunia yang konkret, berubah, berbeda-beda. Seperti saya katakan tadi, bahasa tak pernah luput dari sejarah. Ia tak sepenuhnya hanya bersentuhan dengan noesis, yang menangkap ide yang abstrak dan universal, yang dalam pembagian Platonis berada nun di atas. Bahasa tumbuh dalam kondisi manusia-di-dunia, dengan tubuhnya yang menyimpan energi dan dinamika yang tak sepenuhnya transparan bagi dirinya sendiri. Lacan justru menamakan dunia bawah sadar itu (jika kita pakai bahasa Inggris) “the Real”, “yang Nyata”, tapi sebenarnya yang antah-berantah, yang tak kunjung bisa di-bahasa-kan.
Karena itulah bahasa menunjukkan keterbatasannya sendiri. Pada akhirnya, yang disebut “memahami” tak dengan sendirinya berarti menangkap sesuatu melalui proses kognitif dan verbal. Dalam kuliah umumnya tentang hermeneutika di Komunitas Salihara pertengahan Februari lalu, F. Budi Hardiman menunjukkan adanya pengertian “memahami” (verstehen) yang diperkenalkan oleh Heidegger di zaman ketika rasionalitas melahirkan teknologi yang memisahkan manusia dari dunia kehidupan dan kata-kata politik memekakkan kuping. “Memahami” bagi Heidegger didahului oleh Vormeinung. “Pra-pemahaman” ini terbentuk dari (saya kutip F. Budi Hardiman) “totalitas keterlibatan kita dalam praktek-praktek hidup yang kita jalani, dan hal itu ‘bungkam’, yaitu non-tematis, pra-predikatif, non-verbal”.
Ketika kata-kata hanya celoteh, atau klise, terdiri atas sebutan yang tak jelas artinya, kita perlu kembali ke “pra-pemahaman” itu. Saya kutip satu bentuk puisi yang, dengan meminimalkan bahasa, membawa kita ke dalam pengalaman yang “non-tematis, pra-predikatif, non-verbal” itu-sebuah haiku yang termasyhur dari Matsuo Basho di abad ke-16:
Sebuah kolam
seekor katak meloncat masuk.
Plung!
Terjemahan saya pasti kaku, tapi saya berharap cukup menunjukkan bagaimana puisi ini terbangun dari imaji: kolam, katak yang meloncat, bunyi. Penyair Ezra Pound, pelopor sajak-sajak Imagis, menunjukkan keistimewaan puisi Basho. Dalam haiku, katanya, “Imaji itu kata yang melampaui bahasa yang dirumuskan.”
Proyek Menara Babel adalah proyek yang menyangka bahwa bahasa tak bisa dilampaui-dan bisa memecahkan konflik dunia. Alkitab tentu tak mengatakan ini, tapi dalam arti tertentu, bahasa bersifat “imperialistis”. Ia mengurung kita dan sekaligus memisahkan kita dari pengalaman pra-bahasa. Sementara itu, dengan sepotong haiku, kita masuk ke pengalaman yang konkret di bumi, bukan naik ke pucuk menara. Dan dalam satu momen “minikata”, manusia bisa saling bertemu. Saya suka mengutip sajak Subagio Sastrowardojo ini:
Ah, baik diam merasakan keramahan
pada tangan yang menjabat dan mata merindu
Tentu saya berlebihan. Tentu tak sepenuhnya bahasa bersifat imperialistis-baik sebagai bagian dominasi sosial-politik maupun sebagai penjajah yang hendak mengingkari dunia bawah-sadar kita. Ketika Fredric Jameson menggunakan kiasan “the prison-house of language”, ia agaknya tak menatap ke potensi lain dari bahasa: sebagai pembebas.
Dalam film Andrei Tarkovsky, Zerkalo (“Cermin”), adegan dimulai dengan seorang anak gagap yang diajari bicara: “Kau akan berbicara dengan keras dan jelas, bebas dan tanpa kesulitan, tak takut akan suaramu dan kata-katamu.” Syahdan, si anak pun menurut, dan berseru, “Aku bisa bicara!”
Bagi para penonton Rusia, adegan itu adalah pasemon bagi saat datangnya kebebasan, dan kebebasan adalah berbicara-setelah bertahun-tahun kekuasaan Stalin yang membungkam.
*) Penyair
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2014/03/10/setelah-menara-babel/