Nirwan Dewanto *
islandsofimagination.id
Kurang lebih empat dasawarsa lalu, kritikus sastra H.B Jassin berkata bahwa sastra Indonesia adalah warga sastra dunia. Hari-hari ini tampaknya kita mesti berkata bahwa pernyataan Jassin itu benar dalam satu hal: sastra dunia itu milik kita, menjadi bagian dari kehidupan sastra Indonesia mutakhir. Apalagi di zaman “globalisasi” sekarang! Paling tidak, dengan “sastra dunia” itulah para sastrawan kita mempunyai ukuran baik-dan-buruk dalam mencipta dan menilai.
Ya, “sastra dunia.” Dengan tanda kutip. Sebab istilah itu sangat bermasalah. Bagaimana mungkin kita tahu tentang sastra dunia jika itu berarti karya-karya sastra yang ada di seluruh dunia dari berbagai zaman pula?
Pada suatu hari, saya bertanya kepada seorang penulis prosa yang suka membanggakan diri mengenal sastra dunia: Apa yang Bung kenal tentang sastra dunia?
Lalu ia menyebut nama-nama, antara lain, Haruki Murakami dan Roberto Bolaño. Dan sejumlah penulis pemenang Hadiah Nobel dan Hadiah Man Booker dalam sepuluh tahun terakhir. Tanpa penulis-penulis itu, katanya, kita akan miskin.
Tapi itu nama-nama yang ada di pasar, yang hot di toko-toko buku di seluruh dunia (juga di Jakarta), begitulah jawab saya.
Saya bertanya lebih lanjut: Jadi buat Bung sastra dunia itu adalah nama-nama pengarang yang didesakkan pasar buku dunia kepada kita? Lagipula itu hanya buku-buku yang berbahasa Inggris, bukan?
Ketika dia mulai merah-padam, saya bertanya lagi: Apa Bung peduli pada pada karya-karya sastra dari Lithuania, Pantai Gading, Laos, Ecuador, Vanuatu? Apa kita peduli kepada karya-karya yang biarpun dianggap penting dalam bahasa-bahasa nasional masing-masing, tetap tak tersedia terjemahan Inggrisnya?
Ia tercenung lama, dan jawaban kami adalah tidak. Sudah pasti tidak!
Maka di titik ini, kami berdua bersepakat bahwa kami tidak mengenal apa itu sastra dunia. Maka, cuma ada “sastra dunia.”
Dengan cara yang sama kita bisa bertanya siapakah penulis dan pengulas sastra di belahan bumi mana saja yang tahu sastra Indonesia? Jawabnya, sangat mungkin adalah: Tidak ada. Atau, belum ada. Kecuali segelintir pakar yang peduli kepada Indonesia—dan melihat sastra Indonesia sebagai bagian dari perhatian mereka kepada Indonesia. Dan kita tahu pula, studi Indonesia di luar negeri semakin susut jumlahnya. (Yang paling terkenal, seperti di Universitas Leiden, bahkan sudah tutup.)
Baiklah. Kita kendurkan sedikit makna “sastra dunia”. Misalnya saja, “sastra dunia” adalah sastra-sastra nasional atau regional yang mungkin dikenal di kancah dunia. Dengan cara ini tampaknya kita bisa menggolongkan “sastra dunia” berdasarkan seberapa jauh bahasa-bahasa pembawanya tersebar ke belahan-belahan bumi.
Golongan pertama adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa bekas kaum penjajah—bahasa-bahasa Prancis, Spanyol, Portugis dan—terutama—Inggris. Lagipula, lembaga penerbitan di khazanah bahasa-bahasa itu memang luar biasa kuatnya, sehingga jadilah mereka agen-agen globalisasi yang kuat. (Maka kita paham kenapa sastra Argentina dan sastra Brasil mudah ditangkap oleh industri perbukuan di dunia ini.)
Golongan kedua adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa yang terpelihara sejak dari masa klasik ke masa modern—misalnya saja, bahasa-bahasa Arab, Turki, Cina, Jepang. Sementara itu, minat dunia akademik di Barat terhadap bahasa-bahasa ini juga sudah melembaga lantaran bangsa-bangsa yang membawa bahasa-bahasa tersebut (pernah) telanjur kuat dalam sebaran agama, perdagangan, dan diaspora terkait.
Golongan ketiga adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa Eropa “pinggiran”—misalnya bahasa-bahasa Rusia, Finlandia, Swedia, Cek; bahkan bahasa-bahasa Albania, Polandia, Lithuania. Mereka ini bukan hanya “saudara sepupu” Eropa Barat; dalam lapangan seni budaya, mereka pernah menyumbang banyak kepada gerakan modernisme artistik.
Golongan keempat adalah sastra-sastra dalam bahasa-bahasa setempat yang, betapapun lebih terbaca luas di negeri-negeri bersangkutan, tertutup (kepada dunia luar) oleh sastra berbahasa bekas-penjajah, misalnya Inggris. Ini kasus untuk sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahas Hindi, Tamil, Telugu, Mayalayam, Bengali, Urdu di anak benua India dan Pakistan, misalnya.
Golongan kelima adalah sastra-sastra nasional yang dijajakan oleh bangsa-bangsa yang bersangkutan ke seluruh dunia, sebagai bagian dari kiprah mereka sebagai kekuatan ekonomi dan budaya yang baru. Misalnya saja sastra Korea Selatan dan Cina. (Sebagaimana kita tahu, Korea Selatan, adalah negeri yang sangat bersistem mengembangkan ekonomi kreatif.)
Golongan keenam adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa nasional yang tidak dikenal dunia; dan bangsa-bangsa yang bersangkutan pun tidak menjalankan diplomasi budaya yang genah, yang bisa membuat hasil-hasil seni dan sastra mereka dikenal masyarakat internasional. Sastra Indonesia termasuk ke golongan ini.
Tak terkira jumlah karya sastra yang sudah dihasilkan oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Inilah lautan karya sastra yang keluasaannya tidak akan pernah terjelajahi bahkan oleh mereka yang mengaku pakar sastra bandingan, apalagi oleh pasa sastrawan yang mengaku kenal dengan “sastra dunia.”
Demikianlah, sastra dunia adalah rumah jagal sastra, jika saya boleh meminjam istilah seorang pakar sastra bandingan bernama Franco Moretti. The slaughterhouse of literature. Dalam sejarah sastra dunia sejak dulu hingga sekarang, karya-karya yang dilupakan, lenyap, “dimatikan” dalam gelombang sejarah, jauh lebih banyak daripada karya-karya yang masih dibaca. Sastra dunia adalah the great unread, kata Moretti.
Demikianlah, yang dianggap besar di masa kini banyak yang diremehkan di masanya sendiri. Yang dianggap berjaya di masa sekarang mungkin akan dilupakan di masa-masa mendatang. Yang terkubur di zaman kemarin bisa saja naik ke puncak di zaman esok. Yang dianggap penting di pasar dan dunia akademik mungkin akan jadi sepele setelah para “agen pemasaran” itu berlalu, begitu juga sebaliknya.
“Sastra dunia” buat saya adalah sebuah perpustakaan mahabesar. Di situ tersedia seluruh dokumentasi sastra-sastra nasional di dunia ini dari seluruh zaman. Sayangnya para pustakawan di situ lebih banyak mengarahkan para pengunjung ke sastra-sastra tertentu saja, yang berada di bagian yang bersih dan terang cahayanya. Tidak ada seorang pustakawan pun yang tahu jalan menuju rak sastra Indonesia nun di pojok gelap dan terpencil.
Tentu saja bangsa Indonesia bisa memilih sendiri karya-karya sastra apa yang penting untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat pembaca di luar di sana. Kenapa tidak?
Dan membawa sastra Indonesia ke gelanggang dunia adalah 1001 langkah yang harus direncanakan dan ditempuh dengan cara saksama—dan dalam tempo yang tidak sesingkat-seingkatnya. Terlibat sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Buchmesse di tahun ini baru satu langkah belaka, barangkali hanya langkah kebetulan. Bahkan jika kita nanti berhasil mengerjakan 1003 langkah pun, kaidah “rumah jagal sastra” tetap akan berlaku bagi sastra-sastra mana pun di dunia ini.
Menerjemahkan ke bahasa-bahasa asing; menarik minat para ahli, agen, penerbit, media dan pembaca mancanegara; bergiat dalam berbagai “diplomasi kebudayaan” yang genah, dan seterusnya—semua itu memerlukan kerja dan komitmen (dan dana) yang sinambung dan bersistem. Perlu kita camkan bahwa dalam soal-soal tersebut negara-negara “kecil” seperti Georgia, Israel dan Slovenia jauh lebih siap ketimbang Indonesia.
Tetapi jangan-jangan semua upaya menuju “sastra dunia” itu hanya bisa terlaksana bila bangsa dengan 250 juta warga ini benar-benar jadi bangsa yang gemar membaca dan menulis—bangsa yang mencintai dan merawat bahasa, sastra dan kesenian sendiri. Bukankah mendunia itu efek samping belaka dari beresnya kita menata kehidupan di rumah sendiri?
*) Nirwan Dewanto adalah penyair, editor sastra dan kurator seni.