Kesatuan

Agus R. Sarjono *
Majalah Tempo, 11 Jul 2011

“Wahai pemuda Indonesia, jika Tunku Abdul Rahman bertanya kepadamu, ‘Berapa jumlah pemuda Indonesia?’, jawablah: ‘Satu!’” Demikian gelegar pidato Bung Karno saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia. Jawaban “satu!” yang diberikan Bung Karno tentu bukan karena beliau malas menghitung berapa persisnya jumlah pemuda Indonesia saat itu. Juga bukan berarti Bung Karno kalah soal berhitung dibanding Rhoma Irama hanya karena Bang Haji melantunkan “Seratus tiga puluh lima juta/Penduduk Indonesia….”

“Satu!” adalah jawaban kuat Bung Karno untuk menekankan karakter pemuda Indonesia yang tak mudah tercerai-berai.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jawaban Bung Karno tersebut sepadan dengan “satu bahasa”, yakni satu anggapan (pikiran, pandangan, dsb); sedangkan kata “satu” dalam KBBI adalah:

1 bilangan yg dilambangkan dng angka 1 (Arab) atau I (Romawi); 2 nama bagi lambang bilangan asli 1 (angka Arab) atau I (angka Romawi); 3 urutan pertama sebelum ke-2; 4 bilangan asli terkecil sesudah 0.

Tentu Bung Karno bukan maestro pidato kalau bersedia ikut kamus dan mengubah ungkapannya menjadi: “Jawablah: ‘Satu bahasa!’” Selain tidak lucu dan kehilangan daya gugah, jawaban demikian akan digugat oleh aktivis bahasa daerah yang kerap mengingatkan bahwa Sumpah Pemuda bukan berisi “Satu bahasa: bahasa Indonesia”, melainkan “Menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia”.

Kata “satu” di atas erat kaitannya dengan kata “kesatuan”, yang dalam KBBI: ke·sa·tu·an n 1 perihal satu; 2 keesaan; sifat tunggal: demi- dan persatuan bangsa; 3 satuan;

– penggiling padi mesin pengolah padi yg dilengkapi dengan pemecah kulit padi, pemisah gabah, dan pemutih beras; – sosial 1 unsur studi dl kemasyarakatan yg diberi batasan tertentu dan yg secara relatif bersifat konstan, spt individu, keluarga, taraf hidup; 2 kesatuan orang yg terikat atas ciri-ciri tertentu dl kehidupan masyarakat.

Jika kita menyebut Indonesia sebagai negara kesatuan, lazim disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia, pengertian manakah dalam KBBI yang cocok untuk itu? Jika tidak ada pengertian yang cocok dalam Kamus Besar bagi kata “kesatuan” yang dimaksudkan dalam NKRI, berarti kata “kesatuan” sudah dianggap dipahami dan dihayati segenap rakyat Indonesia hingga tidak perlu lagi dinyatakan dalam kamus. Ia dianggap hadir secara implisit mendarahi segenap pengertian kata “kesatuan”. Urusan ini bolehlah kita anggap beres.

Masalahnya, pada zaman multipartai, multitafsir, multi-interest, dan berbagai multi lainnya, bisa saja muncul kelompok eksplisit yang menggugat sikap implisitisme kaum implisit. Mereka akan menuduh bahwa tidak adanya pengertian “kesatuan” dalam kamus sebagaimana dimaksudkan oleh kata “kesatuan” dalam NKRI merupakan bukti bahwa pada dasarnya Indonesia sebagai negara kesatuan belum merupakan fakta, melainkan baru imajinasi belaka. Mereka yang implisit akan menekankan, meski tidak ada pengertian resmi dalam Kamus Besar, bangun Indonesia sebagai negara kesatuan adalah nyata, hidup, tak terbantah, bahkan tak bisa ditawar.

Kaum eksplisit tentu menghendaki segala sesuatunya relatif eksplisit, sedangkan kaum implisit beranggapan semua yang dihayati dan diketahui bersama tentu diketahui dan dihayati bersama, tak perlu dieksplisitkan, alias “tahu sama tahu”. Masalah akan menjadi rumit jika kedua kelompok itu mulai saling memamerkan bukti. Pasalnya, kedua kubu ini punya fakta.

Ibu-ibu yang tengah dipusingkan oleh pencarian sekolah bagi anak mereka pada dasarnya tidak peduli dengan perdebatan ini. Biaya pendidikan yang menggila sudah membuat mereka frustrasi, apalagi jika pendidikan supermahal itu hanya berujung di lembah pengangguran yang menganga. Namun, tatkala lulusan sekolah di Depok, yang jaraknya selangkah dari DKI, tidak bisa masuk sekolah di DKI karena dibatasi kuota lima persen untuk siswa dari luar Jakarta, mereka mulai panik. Anak mereka yang sudah lulus ujian akhir nasional (manifestasi negara kesatuan) harus berhadapan dengan kuota (manifestasi negara federasi).

Mereka mungkin penasaran dan mulai membuka Kamus Besar untuk melihat makna kata “kesatuan”. Mereka mungkin tidak paham hukum tata negara, tapi mereka dapat merasakan bahwa negara bukanlah negara kesatuan jika penduduk suatu kota tidak diperlakukan sama di kota lain dalam negara kesatuan tersebut.

Bagi kaum eksplisit, sebuah negara kesatuan haruslah mengumumkan secara eksplisit bahwa warga negara pemegang kartu tanda penduduk NKRI mendapat perlakuan yang sama dan dapat berada di mana saja di seluruh wilayah negara kesatuan Indonesia. Seorang beretnis Papua dapat berada di tempat yang 99,99 persen penduduknya berbeda agama, etnis, bahkan sikap politik dengan dia, dan hak-hak serta keselamatannya dijamin negara kesatuan kita sejauh dia tidak melanggar hukum. Maka lulusan sekolah di mana saja di seluruh pelosok Indonesia harus diperlakukan sama saat ia mendaftar sekolah di mana pun di wilayah Indonesia tanpa dikenai diskriminasi asal daerah.

Saudara-saudara sekalian, siapa bilang kamus tidak penting? Kalau negara kesatuan menjalankan prinsip federasi, kamus memang dibutuhkan, bukan?
***

*) Agus R. Sarjono, Penyair, Pemimpin Redaksi Jurnal Kritik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *