Abdul Hamid Nasution
riaupos.co 14 Nov 2015
JIKA bicara Melayu tak pelak kita harus bicara soal Islam. Bukan kah Melayu adalah Islam, atau jiwa Melayu itu adalah Islam. Membincangkan karya sastra Melayu, sudah barang tentu perbincangan itu tak jauh dari nilai-nilai keislaman. Karena ruh Islam sudah bersatu tubuh dengannya. Namun karya sastra Melayu tak harus pula kita sebut ia sebagai sastra Islami, hal ini karena sastra Melayu itu laksana jasad, ruhnya adalah Islam.
Sastra Melayu yang memiliki ruh Islam ia akan berlandaskan pada sosial budaya orang Melayu yang bermoral. Lewat karya sastra Melayu (baca: Islam) menurut Ala al Mozayyen yang disampaikannya pada Seminar Sastra Islam Internasional awal 2011 lalu, terdapat tujuh karakteristik dalam sastra Islam, yang terdiri dari konsistensi, pesan, universal, tegas dan jelas, sesuai dengan realita dan menyempurnakan perangai (akhlak) manusia. Sedangkan Goenawan Mohammad menyebutkan bahwa sastra Melayu menyampaikan sistem kepercayaan atau bahkan ajaran Islam, memuji dan mengangkat tokoh-tokoh muslim, mengkritik realitas yang tak sesuai dengan niai-nilai Islam, atau setidaknya sastra tak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam (Goenawan Mohamad: 2010).
Setelah sekian lama penyebutan sastra Islam, maka muncul istilah ‘Sastra Profetik’ yang digagas oleh Kuntowijoyo lewat tulisannya di Majalah Horisan pada tahun 2005, berjudul “Maklumat Sastra Profetik (Kaidah, Etika dan Struktur Sastra)”. Kuntowijoyo sendiri mendefenisikan ini sebagai karya sastra yang memiliki nilai-nilai kenabian, yang dalam hal ini juga mengemban misi kenabian.
Boleh jadi gagasan Kunto ini dengan sengaja telah bersinggungan dengan apa yang telah disampaikan Allah dalam QS Ali Imran ayat 110: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, Kamu menyuruh mereka kepada yang ma’ruf. Dan mencegah mereka dari kemungkaran, serta beriman kepada Allah.” Maka peran manusia selain sebagai hamba yang harus beriman, ia juga mengemban amanah suci yang harus menyampaikan apa yang benar, dan selalu mengajak kepada kebaikan, serta memberi peringatan dan nasihat agar orang-orang terhindar dari keburukan. Hal ini dapat disebut sebagai nilai ataupun ruh keislaman.
Gagasan Kunto itu juga mengilhami Griven H Putera, sehingga ia menisbahkan dirinya beraliran sastra profetik. Dengan ini jelas dia tak setuju jika ia dilabeli sebagai penulis karya sastra religius. Karena ia tak mau terjebak pada simbol-simbol agama semata, akan tetapi menurutnya universalitas Islam itu harus dapat diambil setiap golongan. Maka dengan membangun nilai-nilai serta ruh Islam di dalam karyanya karena hal ini lebih diterima penikmatnya.
Maka ketika membaca beberapa karya prosa (cerita pendek) Griven, kita akan mendapati ruh Islam dalam karyanya cukup kental meskipun terkadang masih terdapat juga simbol. Seperti dalam cerita “Cincin Sulaiman” yang terbit di harian Republika edisi 26 April lalu. Ia mengisahkan sosok Sulaiman yang terus termenung, setelah cincinnya diambil Syekh Awal pemimipin pengajian di kampungnya. Perasaanya begitu gundah, serasa ia telah kehilangan separuh jiwanya lantaran cincin yang memberi tuah pada dirinya dari pemberian orang misterius itu tak lagi mengikat jari manisnya.
Dalam frasa berikut ini dapat dibaca bahwa ada hal yang dilarang Islam pada setiap muslim agar tak mengagungkan benda-benda yang dapat menimbulkan persekutuan iman pada Allah, “Ketika memakai cincin itu, ia merasa semua orang segan dan sayang kepadanya sehingga ia merasa rezekinya terasa mengalir tak pernah tersendat seperti sebelum memakai cincin itu.” Seperti realitas pecinta batu mulia sekarang ini, sangat banyak kalangan muslim yang meyakini, bahwa batu yang mereka pakai membawa tuah bagi dirinya. Padahal yang demikian jelas telah dilarang Islam.
Batin Sulaiman terus bergolak atas kepergian cincin itu, tambah lagi karena godaan dan paksaan istrinya cincin itu harus diambil dari Syekh Awal. Namun dengan lunglai dan wajah lesu Sulaiman membawa jiwanya untuk mengingat sang pencipta. Berkali-kali ia minta ampun dan istigfar untuk menenangkan jiwanya, bacaannya makin cepat. Namun kekesalan dalam hatinya tak kunjung hilang, keridoan hatinya tak mengiringi kepergian cincin itu. Lalu ia tertunduk dalam tepekurnya yang panjang di mushala kecil di sudut rumahnya. Tak menyadari ia pun tertidur sehingga azan shalat Isya saja tak lagi ia dengar.
“Anakku, puncak teringgi dalam perjalanan spiritual adalah menjadi hamba yang mukhlisin dan akan berbuah mukhlasin. Dan itu sulit sekali mencapainya, Nak. Kita harus ikhlas dengan semua ketentuan Ilahi. Ikhlas menerima segalanya. Tuhan tak pernah bermaksud buruk kepada hamba-Nya. Ketika sesuatu diambil dari sang hamba, maka sesuatu itu belum atau kurang baik bagi hamba-Nya tersebut. Jadi, jangan sedih dengan kepergian sesuatu yang engkau cintai dan jangan terlalu gembira dengan anugerah yang engkau terima. Nikmat dan bencana keduanya bernilai sama; sama- sama ujian Tuhan buat sang hamba. Ingat ihklas, ikhlas, ikhlas. Ikhlaskan sesuatu yang pergi darimu. Yang mesti engkau takutkan hanyalah kehilangan Dia. Jika Dia pergi darimu, maka habislah engkau.”
Itu lah pesan seorang kakek berpakaian serba putih, berjenggot putih yang Sulaiman temui dalam tepekur panjang di atas sajadahnya. Kepergian cincin Sulaiman yang tak dibarengi dengan keikhlasan membuat hatinya begitu berat melakukan sesuatu. Boleh jadi karena yang hilang itu adalah barang yang sangat ia cintai. Bagiamana jika yang lain, misal kehilangan anggota keluarga, pergi menemui (dijemput) Allah. Atau harta yang berlimpah, seketika lenyap dari hadapan, karena kebakaran, gempa, bangkrut atau musibah lainnya. Apakah kita akan merasa ikhlas menerima hal itu. Selaiknya memperbanyak istigfar dan mohon ampunan agar ketabahan hati selalu ada dalam jiwa kita ketika orang-orang yang kita cintai, barang yang kita sayangi pergi sewaktu-waktu, kita dengan ikhlas dapat menerimanya.
Dengan demikian kita dapat melihat, bagaimana Griven ‘berdakwah’ dalam karya yang kerap ia hasilkan. Ruh Islam sangat kental di dalamnya. Sehingga pesan Islam atau kultur Islam tak bisa lepas dalam karyanya. Kalau pun tak memuat simbol di dalamnya, dan tak secara eksplisit melihat Islam dalam karyanya, akan tetapi kalau diteliti dengan seksama, kita akan mendapati latar cerita yang ia kisahkan tetap saja ada unsur Islamnya. Boleh jadi pengaruh pendidikan atau pemikiran Griven turut membuat hal semacam ini terjadi pada karya-karyanya. Karena jika merujuk ke pengalaman pendidikan Griven, ia pernah mondok di pesantren, dan ia pun lulusan dari kampus Islam.
Selain itu, dalam suatu diskusi pada suatu sesi di Gerakan Indonesia Menulis yang dilangsungkan di Balai Bahasa Provinsi Riau, dengan tegas ia mengatakan bahwa ada satu tujuan yang lebih berharga dari tujuan-tujuan lainnya kenapa seseorang harus menulis. Griven menyebutkan bahwa tujuannya (niat) adalah sebagai ibadah. Dengan niat yang demikian, Griven ‘berdakwah’ menyampaikan nilai-nilai universalitas Islam. Islam yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi segenap makhluk di alam ini). Ia mampu keluar dari eksklusivitas, dan menjadikan karyanya merdeka. Maka ia jadi sebuah identitas bagi Griven, yang turut memperkaya khasanah sastra Islam di Indonesia, yang sudah didahului seperti Hamzah Fansuri, Al-Sumatrani, Raja Ali Haji dan yang lainnya.
***
http://www.riaupos.co/2733-spesial-mengeja-islam-dalam-karya-griven-h-putera.html