M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
satudaungraphic.wordpress.com
Di daratan Amerika Serikat, apresiasi terhadap desain buku juga menggeliat, sebagaimana terbaca saat pameran sampul New York Art Book Fair di Queens, New York, September lalu.
Berangkat dari napas apresiasi serupa, Merupa Buku ini merupakan buku langka yang mau menulis dunia perupaan buku, terutama untuk kasus Indonesia, khususnya Yogyakarta. Buku ini bukan karya utuh yang menelaah dunia rupa buku secara akademik dan ilmiah, namun ke-19 artikel di dalamnya seperti ditulis sebagaimana paper akademik. Koskow, demikian penulis buku ini biasa disapa, mampu “menginvestigasi” sepak terjang perancang sampul Tanah Air, memetakan aktivitas mereka secara geografis-historis, dan melakukan bedah estetik atas karya-karya mereka. Dan, dari sisi itu, buku ini tepat dipandang sebagai pertanggungjawaban atas keterlibatan Koskow di dunia perupaan buku.
Dunia rupa buku, bagi sang penulis yang juga pengajar di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini, merupakan media pengungkap isi buku. Karena itu, seorang perancang sampul membutuhkan kepekaan sosial, tidak sebatas kemampuan teknis menggambar. Karyanya merupakan kesatuan ide dengan isi buku yang menuliskan realitas. Logika normatif itulah yang mendasari Koskow dalam memeriksa kekuatan sampul buku penerbit alternatif di Yogyakarta pada 1990-an. Menurut dia, masuknya seni dalam perkembangan sampul buku, yang semula diterapkan Pustaka Jaya pada 1970-an, kembali dihadirkan penerbit ”kecil” Yogyakarta, seperti Bentang Budaya, Pustaka Pelajar, dan LKiS.
Sekalipun tak sampai menelusuri sejarah penerbitan buku Yogyakarta sebelum era 1990-an, buku ini cukup memberi percikan kronologis yang runtut. Pada era senjakala rezim Orde Baru itu, penerbit alternatif di Yogyakarta terkenal dengan sebutan ”penerbit rumahan”. Kebanyakan penerbit yang hidup kala itu bersandarkan pada ”manajemen pertemanan”, temasuk Bentang Budaya. Dalam proses kreatif perupaan buku, misalnya, Buldanul Khuri, pendiri yang kadang masih merancang sampul buku terbitan Bentang, kerap “memakai” jasa seniman yang dekat secara personal dengannya. Misalnya Agung Kurniawan, Tisna Sanjaya, Mella Jarsma, Heri Dono, Agus Suwage, Agus Kamal, Lucia Hartini, Sulasno.
Bersama Ong Hari Wahyu alias Si Ong, kecenderungan melibatkan seniman (lukis, grafis) dalam sampul buku Bentang tentu tak dapat dilepaskan dari pengalaman keduanya kala terlibat dalam dunia penerbitan, yakni Shalahuddin Press -—terlepas dari latar belakang keduanya yang pernah mengenyam pendidikan seni di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Selain mereka, ada nama Haitamy el Jaid yang sering menjadi ilustrator dan perancang sampul LKiS. Mereka semua muncul sebagai sosok yang mulai menempatkan desain sampul buku sebagai ”wilayah meleburnya seni dan desain”. Mereka adalah ”seniman sampul buku”.
Nah, guna mendekatkan imaji pembaca pada bahasannya, Koskow tak luput menampilkan desain sampul beberapa buku beserta bedah estetiknya. Penulis bernama lengkap FX Widyatmoko ini terbilang tekun untuk hal yang satu ini. Mulai dari sampul nglawasi khas Si Ong, sampul yang menghadirkan karya cukil kayu kelompok Taring Padi, sampul Haitamy el Jaid yang terinspirasi seni lukis surealisme Agus Kamal, sampul dengan visual tiga dimensi Agus Suwage, juga sampul buku Pustaka Jaya dengan seni grafisnya Popo Iskandar.
Menurut penelusuran Koskow, penerbit Pustaka Jaya pada era 1970-an merupakan pelopor penerbitan yang menghadirkan karya seniman dalam dunia perupaan buku. Selain seni grafis (cetak saring) Popo Iskandar, ada nama lain seperti pelukis Nashar dan Wakidjan. “Pada masa itulah,” tulis Koskow, “seni grafis mulai memperlihatkan eksistensinya kembali.” Dan, dengan berpijak antara era Pustaka Jaya dan fenomena penerbit alternatif Yogyakarta era 1990- an, terbaca betapa dunia rupa buku kita mengalami kemandekan selama 20 tahun. Sayang, temuan historis ini hanya disebutkan sebagai percikan-percikan, terdapat dalam beberapa artikel awal — yang menurut saya artikel pokok, dan tak diperdalam secara kritis.
Barangkali, memang bukan di situ kapasitas Koskow dalam menganalisis desain sampul buku, melainkan bedah estetik. Itu tampak setidaknya dari lima artikel ini: “Nonton Indonesia Lewat Kover Buku”, “Cetak Ulang: Peluang Bermain Tafsir pada Desain Kover Buku”, “Kover Belakang Buku: Ruang Akrobat Beragam Kepentingan”, “Imaji Wayang dalam Kover Buku”, dan “Membaca Ilustrasi”. Kelima artikel itu melengkapi bahasan perihal sampul buku yang merupakan pokok tema buku ini. Di luar itu, terdapat beberapa judul artikel yang tidak fokus membahas sampul, tapi dunia perbukuan. Termasuk pula catatan atas pameran buku. Koskow di sini tak ingin melepas analisis sampul buku dari lingkaran wacana di sekelilingnya.
Tentu hal itu mudah dimengerti lantaran Koskow bukanlah “manajer dari pinggir lapangan” atau “dalang di luar panggung” di dunia perupaan buku. Ia terlibat langsung dalam ranah yang, andai luput memeriksa bagian akhir buku (Bab IV Penutup dan Pengalaman Pribadi), seperti berada dalam teropongan sang penulis belaka.
Sampai saat ini, Koskow masih dipercaya penerbit Grasindo sebagai perancang sampul buku. Pengalaman kali pertamanya merancang sampul dapat dilihat dari novel Beraja (Grasindo, 2002) karya Anjar, karib penulis sendiri. Semua novel Anjar selanjutnya selalu dipercayakan pada garapan tangan Koskow. Rancangan sampul, proses kreatif, dan bedah sampulnya dapat diteliti pembaca dalam buku ini.
Nah, umumnya buku bertema desain, terutama yang membutuhkan penonjolan visual yang kuat, seperti selalu ingin tampil eksklusif, penuh warna, sehingga berharga tinggi. Tapi buku setebal 247 halaman ini patut diacungi jempol karena berani terbit “hitam-putih”, sekalipun banyak menampilkan sampul buku (dan ulasan estetiknya). Walau masih terdapat buku yang tak disertai gambar sampul dari sekian banyak judul yang disinggung, itu pun rata-rata cuma sekotak 3×2 sentimeter; tapi dengan beginilah harga buku terbitan LKiS ini tetap terjangkau.
Pada akhirnya, “buku tentang buku” ini secara tematis mengumpulkan data yang melimpah perihal dunia rupa buku Yogyakarta. Dalam setiap artikel, tak hanya hasil amatan empiris yang ditulis, melainkan dilengkapi dengan alat bedah teoritis di sana-sini -— karena format buku yang merupakan kumpulan artikel.
Bagi para pengkaji desain, media, dan cultural studies, buku ini layak direkomendasikan supaya dapat dikembangkan dalam kajian yang lebih serius -—tentu terlepas dari adanya angle yang belum dikupas oleh penulis, seperti merebaknya e-book yang kerap menomorduakan sampul. Puncak kata, buku ini hendak menempatkan buku tak sekadar alat buat menyampaikan ide, karena buku itu sendiri adalah ide.
*) M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S., Pembaca buku tinggal di Bulaksumur Yogyakarta.
https://satudaungraphic.wordpress.com/2011/07/20/menulis-sampul-buku/