Sastra Etnik di Tengah Budaya Global

I.B. Putera Manuaba
Kompas, 6 Sep 2015

Setiap bangsa di dunia terbangun dari etniknya masing-masing. Bangsa yang berada dalam satu dataran pasti berbeda dengan bangsa yang terpisah-pisah. Sebuah bangsa dalam satu dataran etniknya cenderung lebih tak beragam dibandingkan dengan negara kepulauan. Jika etnik beragam, bahasanya akan beragam juga, dan sastranya pun akan beragam. Dalam konteks inilah sastra etnik amat menarik.

Istilah sastra etnik dalam berbagai tulisan, diskusi, dan seminar kerap disebut ”sastra daerah” dan ”sastra lokal”. Namun, penyebutan ”sastra daerah” dan ”sastra lokal” terkesan lebih menekankan pada ”daerah”, ”tempat”, atau ”lokasi” sehingga cenderung luas. Implikasi dari penyebutan itu seperti mengoposisi ”sastra daerah” versus ”sastra kota” dan ”lokal” versus ”regional”, ”nasional”, atau internasional” sehingga secara konotatif tak terbaca orientasi keutuhan nilai-nilai budayanya.

Konsepsi ”sastra etnik” lebih menyiratkan arti sebagai sastra yang secara utuh memuat nilai-nilai budaya etnik (ethnic of culture values). Ia mengandung keunikan yang dimiliki etnik serta tak semata-mata dilihat dari segi penggunaan bahasanya, tetapi juga spirit nilai kontekstualitas dan universalitasnya. Ini perlu karena sebuah ketinggian nilai budaya akan membersitkan nilai universalitas yang dibutuhkan umat manusia.

Atas keyakinan sastra etnik lebih menginseminasi nilai universalitas yang bertolak dari kearifan budaya etnik inilah tulisan ini dihadirkan. Tulisan ini meneguhkan perlunya ada eksplorasi dan revitalisasi sastra etnik. Dengan peneguhan itu nantinya dapat menyumbang kearifan budaya etnik ke tengah masyarakat global. Benar apa yang pernah dikatakan Rendra, akan baik jika seni dikembangkan dengan mempertimbangkan tradisi dalam modernitas menuju tradisi baru.

Berdasarkan konsep ”sastra etnik” itu, maka yang termasuk sastra etnik adalah sastra yang mengandung keutuhan nilai budaya etnik. Sastra itu dapat hadir dalam berbagai bahasa sebagai wahananya. Di Indonesia, karya-karya sastra yang berbahasa etnik: pantun (di Sumatera); geguritan, pupuh, crita sambung, cerkak (di Jawa); satua (di Bali), dan seterusnya yang menyiratkan spirit utuh keetnikan dapat disebut sastra etnik. Selain berupa sastra yang ditulis dalam bahasa etnik, dapat juga berupa sastra lisan. Juga perlu diketahui beragam etnik budaya lainnya di Indonesia, seperti Minang, Sunda, Batak, Dayak, Bali, Banjar, Bugis, Mandar, Toraja, Sasak, Papua, dan Melayu Nusantara. Etnik itu memiliki akar budaya etnik dengan sastra etniknya.

Diaspora

Sastra etnik dapat juga disimak dalam sastra Indonesia modern karena telah berdiaspora melintasi bahasa asalnya. Diaspora sastra etnik selain dapat dikenali melalui diksi-diksi etniknya juga tema-tema yang menyemangati serta pesan dan amanatnya. Sastra etnik dapat dibaca di antaranya dalam novel Robohnya Surau Kami karya AA Navis yang mengungkap budaya Melayu; prosa-lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG yang mengungkap dunia batin orang Jawa; trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang mengungkap nilai-nilai budaya Jawa Banyumasan; kumpulan cerita pendek Sri Sumarah dan Bawuk, Para Priyayi, dan Jalan Menikung karya Umar Kayam yang mengungkap transformasi budaya Jawa wong cilik dan priayi; Canting karya Arswedo Atmowiloto; Durga Umayi karya YB Mangunwijaya; Tarian Bumi karya Oka Rusmini; drama Republik Bagong karya N Riantiarno; serta tentu masih banyak lainnya lagi. Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata juga termasuk yang mengungkap nilai budaya Belitong. Diakui atau tidak, karya Hirata mengglobal berkat terjemahannya dalam sejumlah bahasa asing dengan oplah yang besar.

Selain berdiaspora dalam sastra Indonesia modern, sastra etnik berdiaspora juga pada seni-seni lainnya: seni tari, seni ukir, seni lukis, seni drama, sinetron, dan film. Sastra etnik dapat dihidupkan pada seni-seni itu sehingga nilai-nilai otentik budaya etnik dapat tersampaikan lewat seni-seni itu. Dalam kenyataan, nilai-nilai budaya sastra etnik kurang dieksplorasi secara publik dalam era global—yang ditandai dengan kekuatan informasi, komunikasi, dan teknologi (ICT). Cerita rakyat (folklore) berupa dongeng, legenda, dan mite yang bertebaran pun kurang dieksplorasi ke dalam media seni yang bersifat publik sehingga nilai-nilai budaya etnik kurang dikenali, dipahami, dan dihayati publik.

Penulis sastra etnik yang mampu mentransformasi karyanya ke media seni publik dan modern amat sedikit selain akibat masih kecilnya minat produser mengangkat kisah-kisah sastra etnik. Kondisi ini terjadi karena media-media seni publik (televisi) masih tampak terhegemoni kekuatan pasar ketimbang idealisme. Padahal, publik menunggu karya-karya yang berasal dari kekayaan nilai budaya etnik. Tapi, sering kali kemampuan mengemas secara apik belum dimiliki penggiat-penggiat seni di media publik.

Dengan adanya sastra etnik dalam berbagai rupa tersebut, sastra etnik akan dapat hidup sepanjang pendukungnya masih ada. Satu hal yang sebaiknya dilakukan penulis (penutur) sastra etnik adalah melihat dinamika pembaca atau penikmatnya. Jika komunitas pendukungnya kebanyakan mengerti bahasa etniknya maka dapat dipakai bahasa etnik. Jika tidak, dapat juga menggunakan bahasa yang dipakai oleh sebagian besar masyarakat pendukung.

Kondisi dunia global memang berdampak pada keharusan bidang apa pun untuk saling berkontestasi. Kontestasi ini dapat dilakukan dengan menghadirkan produk-produk berkualitas yang berbeda dan unik yang diciptakan dari tingkat kompetensi masing-masing. Kondisi global ini kalau dipahami dengan pemikiran Foucault, tentu ada kaitannya. Foucault menyatakan, terjadi hubungan timbal-balik antara kekuasaan (pouvoir) dan pengetahuan (savvoir). Kekuasaan terartikulasi ke dalam pengetahuan; dan sebaliknya, pengetahuan terartikulasi dalam kekuasaan. Kekuasaan tak hanya ”berelasi” dengan pengetahuan, tetapi kekuasaan ”terdiri atas” pengetahuan, sebagaimana juga halnya pengetahuan ”terdiri atas” kekuasaan. Ini terjadi pula pada seni—khususnya sastra etnik.

Ruang kebudayaan

Sastra etnik tak lepas dari tantangan persaingan yang makin ketat. Besar kemungkinan hal itu bukan karena tak diminati pendukung, melainkan karena keniscayaan adanya tawaran-tawaran baru yang lebih praktis, canggih, dan juga lebih terjangkau sehingga minat pendukung menjadi terbelah. Apalagi dengan makin terbatasnya waktu, membuat orang makin membutuhkan kemasan seni atau sastra yang terjangkau waktu. Inilah yang menjadi akar terjadinya ”perebutan” ruang-ruang kebudayaan yang dulunya dimiliki sastra etnik. Mungkin bukan karena kualitas sastra etniknya, melainkan karena adanya perubahan kondisi pendukung yang cenderung heterogen.

Heterogenitas masyarakat membutuhkan heterogenitas budaya. Artinya, untuk merebut simpati publik, diperlukan kemasan budaya yang cocok dengan kondisi publik. Perlu ada eksplorasi dan revitalisasi sastra etnik. Apabila di masa lalu tata nilai cukup disajikan dalam performance pada cara tradisional, kini tentu menuntut cara ala masyarakat modern yang melek ICT. Perebutan media publik secara aktif-proaktif menjadi strategi yang dapat dilakukan dalam mempertahankan dan mengembangkan sastra etnik.

Kondisi budaya global bukanlah pantangan, melainkan tantangan yang menyediakan ruang untuk saling berkontestasi secara kompetitif. Kondisi global mendambakan kualitas sehingga apa pun yang berkualitas akan dapat eksis. Acap kali kualitas itu amat ditentukan jika mampu menampilkan sesuatu yang berbeda (liyan). Sastra etnik, dengan karakteristiknya, sebenarnya berpotensi diminati masyarakat global sepanjang mampu mengemas secara apik dan kondusif.

Sastra etnik—sebagai bagian dari kebudayaan—memiliki potensi kekayaan nilai-nilai budaya etnik yang perlu diseminasi dan dipromosikan dalam rangka membangun harmoni sosial dan alam. Sastra etnik dapat dieksplorasi dan direvitalisasi secara dinamis sehingga perlu melakukan diaspora budaya dalam wahana bahasa yang dipakai publik.

Sastra etnik akan eksis jika bersinergi dengan pihak yang memiliki kemajuan ICT sehingga sastra etnik dapat dikemas sesuai kondisi perkembangan kualitas publik. Untuk mengeksplorasi dan merevitalisasi sastra etnik, seniman komunitas sastra etnik perlu bekerja sama dengan pengelola media publik yang mampu menginseminasikan dan mempromosikan sastra etnik ke area lintas etnik dan budaya bangsa.
***

http://print.kompas.com/baca/opini/artikel/2015/09/06/ESAI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *