Sastra Itu “Berat”

Ajip Rosidi *
Pikiran Rakyat, 22 Jan 2011

Sekretaris Ikapi Cabang Yogyakarta baru-baru ini menyatakan bahwa penerbitan buku sastra hanya lima persen dari penerbitan buku di Yogyakarta karena para penerbit menganggap sastra itu “berat, baik materi dan bahasanya” sehingga kurang laku (Kompas, 6 Oktober, 2010, hlm. 12). Anggapan buku sastra kurang laku karena dianggap “berat” dan oleh karena itu para penerbit menghindar menerbitkannya, sudah lama menjadi mitos di kalangan penerbit. Yang membingungkan, Sekretaris Ikapi Yogyakarta juga mengatakan, buku cerita dan novel populer sangat laku sehingga kita bertanya-tanya apa yang dia maksudkan dengan “sastra”? Bukankah sastra itu mengurung arti “cerita”, meskipun “novel populer” biasanya disisihkan dari sastra?

Kalau pengertian “populer” itu adalah buku-buku yang banyak dibeli pembaca sehingga sering dicetak ulang, bagaimana dengan buku-buku klasik seperti Mahabharata, Ramayana, karya-karya Gibran Khalil Gibran, cerita-cerita detektif karya A. Conan Doyle, yang berebutan diterjemahkan dan diterbitkan banyak penerbit saking lakunya? Buku-buku itu dianggap karya sastra, bukan “novel populer” tetapi laku sekali.

Penerbitan buku-buku sastra asli memang kurang diminati meskipun diakui sebagai karya sastra nasional yang unggul karena para penerbit hanya berpikir mendapat “untung” dan “jangan rugi”. Terutama karena berpegang kepada mitos “sastra itu berat” berdasarkan kenyataan buku sastra kurang laku. Kalau hanya mencari untung, penerbitan bukanlah lapangan yang tepat untuk diterjuni. Produksi penerbit berupa buku bukanlah sekadar komoditas yang bisa dijual dan menghasilkan untung karena buku dapat memengaruhi jiwa pembacanya.

Seharusnya penerbit mempunyai paling tidak sedikit idealisme untuk turut mencapai tujuan bernegara seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar, ialah “mencerdaskan bangsa”.

Kalau semata-mata hendak mengejar keuntungan, membuka warung bakso akan lebih menjanjikan.

Kecilnya minat pembaca terhadap karya-karya sastra erat hubungannya dengan pelajaran sastra di sekolah-sekolah. Secara umum diakui, pelajaran sastra (juga bahasa) di sekolah-sekolah masih jauh dari memuaskan. Murid-murid hanya diberi tahu dan disuruh menghafal nama-nama pengarang dengan judul-judul buku yang mereka tulis ditambah dengan pengarang siapa termasuk ke angkatan mana. Jarang sekali murid diperkenalkan dengan buku karya sastra, apalagi mendapat kesempatan membacanya karena sekolah umumnya tidak mempunyai perpustakaan.

Pendeknya, kesempatan anak-anak bertemu dan membaca karya-karya sastra sangat sedikit. Kesempatan untuk belajar menikmati keindahan sastra sangat terbatas. Padahal, untuk menggemari sesuatu mutlak diperlukan perkenalan dan “pergaulan” yang akrab dengan yang harus digemari itu. Untuk menggemari membaca komik atau “novel populer” juga diperlukan perkenalan dan “pergaulan”. Hanya kesempatan bertemu dan “bergaul” dengan komik dan bacaan populer lebih banyak karena komik dan “novel populer” lebih banyak diterbitkan karena adanya mitos bahwa “sastra itu berat” di kalangan penerbit.

Dalam hal sastra Indonesia memang ada masalah bahasa. Perkembangan bahasa Indonesia yang sangat cepat dan tidak terkendali, menyebabkan bahasa karya-karya sastra cepat dianggap “ketinggalan zaman” sehingga menyusahkan generasi belakangan untuk membacanya.

Siapa generasi muda yang akan tahan membaca bahasa yang digunakan oleh Marah Roesli dalam Sitti Nurbaya atau Abdoel Moeis dalam Salah Asuhan?

Tidak ada usaha membuat edisi-pelajar dari karya-karya sastra klasik kita agar pelajar dapat menikmatinya seperti orang-orang Inggris membuat edisi pelajar dari karya-karya William Shakespeare, Charles Dickens, Oscar Wilde, dan lain-lain, bahkan juga membuat edisi buku gambar agar sejak kecil anak-anak diakrabkan dengan karya-karya sastra nasionalnya? Masalahnya, di Indonesia tidak ada yang menganggap sastra itu penting, termasuk pejabat di Kementerian Pendidikan sehingga tidak ada yang menganggap penting perpustakaan (anggaran untuk perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum sangat kecil).

Di negara maju, anak-anak sejak kecil diakrabkan dengan karya sastra nasionalnya. Sebelum bersekolah, mereka dibiasakan bermain-main dengan buku-buku gambar atau picture books yang berdasarkan dongeng-dongeng nasional warisan nenek moyangnya sehingga mereka mengenal tokoh-tokoh utama mitologinya. Dalam buku-buku demikian yang dipentingkan gambarnya, teksnya dibuat sesedikit dan sesederhana mungkin. Dalam buku-buku gambar yang ditujukan untuk anak-anak sekolah, teksnya kian banyak. Akhirnya pada tingkat tertentu mereka harus membaca teks lengkap karya sastra yang penting.

Anak-anak Indonesia lebih mengenal tokoh-tokoh komik Jepang atau Amerika daripada tokoh mitologi warisan nenek moyangnya.

Para penerbit lebih tertarik menerbitkan komik terjemahan karena modalnya lebih rendah daripada memesan komik asli kepada pelukis Indonesia yang berdasarkan tokoh mitologi atau cerita Indonesia. Selama orientasi para penerbit kita hanya “untung dan rugi”, masa depan bangsa kita hanyalah menjadi pasar karya-karya negara lain yang maju serta kreatif. Selama pelajaran bahasa dan sastra dibiarkan seperti sekarang, para penerbit akan tetap berpegang kepada mitos bahwa “sastra itu berat”.

*) Ajip Rosidi: Penulis, budayawan.

Leave a Reply

Bahasa »