“Entah Harus Bersyukur atau Mengumpat Bangsat, ha..ha..ha..”
A.C. Andre Tanama
Sebagai seorang seniman yang juga intens mendalami seni grafis, sungguh amat sulit bagi saya untuk mampu melihat dan mengakui kebolehan orang lain yang bermain di ranah ini. Tetapi ketika bertemu dengan makhluk grafis yang bernama Sutrisno ini, ego yang menutupi mata saya seolah terusir pergi. Betapa tidak, bukan hanya lewat hasil karya seni grafisnya jantung saya dibuat berdegup kencang, tapi juga lewat proses dia berkesenian yang ternyata sangatlah militant. Saya pun geleng-geleng kepala, sebagai seniman yang besar dari seni grafis, saya pun berkata: “Entah harus bersyukur atau mengumpat bangsat, ha..ha..ha..”.
Pertemuan saya dengan Sutrisno sebenarnya telah lama. Saya mengenal Sutrisno pada tahun 2003 saat dia mulai masuk Bimbingan Test Masuk ISI bernama Rautan (Petakumpet). Saat itu saya menjadi Tentor Pembimbing Seni Grafis dan Sutrisno merupakan salah satu calon mahasiswa yang saya kenal sangat giat dalam mengerjakan latihan-latihan, baik itu menggambar bentuk, sketsa maupun membuat karya cetak dengan cap-capan ketela dan percikan sikat gigi. Tapi masa lalu pertemuan itu sebenarnya tidak terlalu menarik bagi saya. Mungkin saja saya hampir melupakannya, jika saya tidak dicengangkan dengan perkembangannya saat ini.
Memang jenjang berkesenian Sutrisno belumlah seberapa jika dibandingkan dengan para maestro seniman yang telah berproses lebih lama. Jadi pengalamannya bereksplorasi dengan seni grafis tentulah masih dapat diperdalam lagi. Tapi kemauan, keberanian dan tekadnya yang nggetih (bhs. Jawa) saya rasa telah menjadi modal utama yang amat berharga untuk meneruskan karier berkeseniannya. Tak banyak seniman muda grafis sekarang ini yang memiliki power seperti dia dalam memperjuangkan seni grafis. Perlu saya tekankan lagi: TIDAK BANYAK.
Ah.. sepertinya dari tadi saya terlalu banyak berceloteh menunjukkan keheranan saya pada sesosok Sutrisno. Perkataan saya jelaslah belum layak di-iya-kan oleh orang lain, terutama oleh seniman lain jika tanpa bukti. Maka sebagai buktinya, lihatlah karya-karyanya dalam pameran tunggal ini sebagai awalnya. Jika anda masih tidak meng-iya-kan pendapat saya, maka koreklah informasi lebih dalam dengan menanyai si seniman sendiri, atau tungguilah hari-harinya yang diisi dengan berkarya selama 20 jam sehari. Setelah itu anda boleh juga berpendapat, mengumpat, atau berusaha mengumpulkan tenaga untuk menyaingi dia.
Saya bukanlah seorang kurator, disini saya hanya menulis tulisan sebagai sesama seniman, sesama pegrafis, sesama teman, sekaligus sesama saingan. “Bangsat, ha..ha..ha..” Jadi tentunya saya tidak mengupas karyanya satu persatu dalam pameran ini. Namun begitu, dalam pameran ini saya melihat kejeliannya yang sungguh dalam mengupas isu yang diangkatnya. Tidak muluk-muluk, dalam pameran ini ia lebih banyak berbicara soal keluarga dalam kemasan visual ilustratif. Beberapa karya mengisahkan kejadian sehari-hari yang pernah dialaminya di keluarga tercintanya, seperti suasana “berantem” dengan kakaknya dan ibu yang ngomel-ngomel menyuruhnya makan. Semuanya ternyata merupakan wujud dari rasa rindunya pada keluarga di Makassar yang telah ditinggalkannya selama 6 tahun. Dan muara dari semuanya adalah sebuah pesan yang intinya: Hargailah keluarga selagi mereka ada bersama kita.
Itu yang saya lihat dari tataran tematik, simple tapi fokus dan mendalam. Dari segi teknis dan visual garapannya juga memiliki tingkat kerumitan tersendiri. Dari segi ukuran dan kerumitan goresan cukilan, tentu layak kita menggeleng kepala (sekalian mengumpat, ha..ha..ha..). Untuk hal ukuran dan kerumitan karya beberapa seniman muda saya rasa telah berhasil melewati trek ini, sebut saja beberapa nama Ariswan Adhitama, Angga Sukma, dan lain sebagainya. Di mata saya, Sutrisno telah berhasil melampaui beberapa rintangan berstandar tinggi dalam tataran teknis seni grafis murni.
Sepertinya saya sudah lelah mengumpat…. Ha..ha..ha.. maka silahkan gantian anda yang menikmati karyanya, dan mari kita ‘mengumpat’ bersama-sama, ha..ha..ha.. 🙂 GBU (Grafis Bless U)
Sewon, 28 Maret 2009
A.C. Andre Tanama
“Whether or cursing Thankful Must Bastard, ha .. ha .. ha ..”
A.C. Andre tanama
As an artist who was also intensely steeped in graphic arts, it is very difficult for me to be able to see and recognize the permissibility of others who play in this realm. But when he met with the graphics being named Sutrisno, the ego that covered my eyes as if driven away. Imagine, not only through the work of graphic art made my heart beat faster, but also through the process of his art which was very militant. I was shaking his head, as a great artist of the graphic arts, I also said: “Either be grateful or curse the bastard, ha .. ha .. ha ..”.
My meeting with Sutrisno actually been a long time. I know Sutrisno in 2003 when he started to go Guidance Test Sign ISI named sharpener (Petakumpet). At that time I became Tentor Supervising Graphic Arts and Sutrisno is one candidate who I know are very active in doing the exercises, be it drawing shapes, sketches and prints make this work with the cap-capan cassava and spark a toothbrush. But past the meeting was actually not very interesting for me. Maybe I almost forgot, if I was not stunned by the developments at this time.
Indeed levels Sutrisno art not yet of how when compared with the maestro artist who has stood longer. So explore the graphic arts experience is certainly still be deepened again. But the will, courage and determination that nggetih (bhs. Java) I think has become the main capital is very valuable to continue the career berkeseniannya. Not many young graphic artists today that have the power as he did in fighting for the graphic arts. I need to emphasize again: NOT MANY.
Ah .. looks like I’d been too much chatter show my amazement at the figure Sutrisno. My words clearly not feasible in-yes-it by others, especially by other artists, if without proof. So as a proof, look at his works in this exhibition as the first single. If you are still unable to do so, in my opinion, it koreklah more information by asking the artists themselves, or tungguilah his days are filled with work for 20 hours a day. After that you can also argue, curse, or trying to summon the energy to compete with him.
I am not a curator, here I just write the article as a fellow artist, fellow pegrafis, among friends, as well as fellow rivals. “Bastard, ha .. ha .. ha ..” So of course I do not peel his work one by one in this exhibition. However, in this exhibition I saw a really kejeliannya issues raised in the peel. No heroics, in this exhibition he talked more about the family in an illustrative visual packaging. Some of the work tells of daily events that ever happened in his beloved family, like the atmosphere of “fighting” with her sister and mother who grumble-grumble told him to eat. Everything turned out to be a manifestation of a sense of missed on the family in Makassar who had left for 6 years. And the estuary of all is a message which in essence: Appreciate their families while they are here with us.
That’s what I see from the thematic level, the focus and the simple but profound. In terms of technical and visual garapannya also has its own level of complexity. In terms of size and complexity of scratches cukilan, we shake our heads certainly worthy of (all cursed, ha .. ha .. ha ..). For this size and complexity of the work of several young artists I feel have made it through this track, call it some name Ariswan Adhitama, Anga Sukma, and so forth. In my eyes, Sutrisno has managed to transcend some of the hurdles of high standard in the graphic arts purely technical level.
Looks like I was tired of swearing …. Ha .. ha .. ha .. then please turn you who enjoy his work, and let’s ‘cursed’ together, ha .. ha .. ha .. 🙂 GBU (Graphic Bless U)
Sewon, March 28, 2009
A.C. Andre Tanama
http://woodcutsz.blogspot.co.id/2011/03/tulisan-andre-tanama-untuk-saya.html