Nurel Javissyarqi
V
Nurel: “Pak Yamin, Bapak Ki Hadjar Dewantara pengen nimbrung.”
Yamin: “O… Mas Dewantara, dipersilahkan masuk, Nurel.”
Nurel: “Ya Bapak” (Selanjutnya mereka berdua ngobrol dan saya membuka Laptop).
Dewantara: “Assalamualaikum”
Yamin: “Waalaikumsalam”
Dewantara: “Yamin, aku suka caramu menulis dalam kebahasaan Indonesia, oleh sebabnya namaku menjadi baik, bukan lagi Dewantoro. Terbukti aku sendiri menggunakan ‘Ki Hadjar Dewantara’ di beberapa bukuku yang menyoal kebudayaan. Lantas bagaimana dengan catatan Nurel yang bertitel ‘Ka(e)pujanggaannya Pahlawan Diponegoro’ yang mengkritik bukumu berjudul: Dipanegara?”
Yamin: “Kan pada cetakan kedua, buku terbitan Yayasan Pembangunan Jakarta itu, tercantum kalimat begini Mas, “Segala nama pengandjur, seperti Ki Madja, Danuredja dan Dipanegara, tidaklah dituliskan sebagai bunji sebutan, melainkan semata-mata menurut kelaziman aksara Djawa; merdekalah pembatja mengutjapkan nama-nama itu menurut kebiasaan zaman sekarang.” Lagian yang dipegang Nurel buku cetakan ketiga, pun ada kata-kata tersebut (Sedjarah Peperangan Dipanegara Pahlawan Kemerdekaan Indonesia, penerbit Jajasan Pembangunan Djakarta 1952).”
Dewantara: “Oya maaf, tidak basa-basi terlebih dulu; tanya keadaan sampean atau…”
Yamin: “Semua ini kan terserah sutradara Mas.”
Dewantara: “Yamin, dalam catatan Nurel itu membenturkan dengan nama kota, yakni Bojonegoro. Kenapa kau tidak menulisnya Bajanegara, kan sama-sama sebutan nama?”
Yamin: “Sudah aku pikir lama Mas, waktu itu ada kehawatiran masyarakat Bojonegoro tidak berkenan. Dan di masa itu dalam tahap pengenalan, sekiranya berhasil Alhamdulillah, jika tidak serupa nama Dipanegara, sampai kini masih banyak orang memakai cara penulisan Diponegoro. Mungkin tersebut suara jaman atau ruh Pangeran kurang berkenan atas perubahannya, terlepas sebuah nama orang atau pun tempat tidak boleh diganti penulisannya, seperti kritikan Nurel.”
Dewantara: “Apakah kita showan menghadap Beliau ya Saudara Yamin?”
Yamin: “Tidak usah Mas, aku sungkan.”
Dewantara: “Kalau sungkan menghadap Pangeran tidak apa, aku mau melanjutkan perjalanan. Titip salam untuk Nurel.”
Yamin: “Ya Mas, terimakasih sudah mampir.”
Dewantara: “Sama-sama, Assalamualaikum.”
Yamin: “Waalaikumsalam”
***
Melawan imajinasi yang terlambat, kalimat tersebut sangat tepat untuk tulisan di bawah ini. Bahan-bahan di atas sudah sepenglihatan nyata, bahwa nasionalisme di tanah air yang kelak bersebut Indonesia, bukanlah hasil imajinasi (baca sejarah nama “Indonesia” Bagian 24. IV). Dan para peneliti sejarah bisa memperteguh, kalau pada tulisannya belum dengan kesadaran purna.
Agar tidak sekadar mengulang data, saya rajut dengan perluasan keterangan di dalamnya, lantas ke jangkauan terduga sedari pendahulu sebelumnya. Dalam pengantar kalam, cetakan pertama bukunya M. Yamin mengenai Diponegoro. Ir. Soekarno menuliskan pada tanggal 31 Juli 1945, sebagai berikut: “Saya mengalami betul-betul, bahwa bangsa Indonesia tetap hormat kepada penghidupan dan pengorbanan pahlawan tiga-sekawan dalam abad yang silam, yaitu Tuanku Imam Bonjol, Diponegoro dan Teuku Umar.”
Disayangkan dari ketiga tokoh di atas, saya hanya mempunyai buku mengenai Tuanku Imam Bonjol dan Diponegoro. Olehnya perihal Teuku Umar nanti dijumput sepintas dari Wikipedia. Agar tidak jemu maka dipersingkat, lalu Saudara telusuri. Karena di sini untuk menyadarkan para pemabuk imajinasi, yang sampai harta serta nyawa para pahlawan diabaikan. Seturut mimpinya dunia sastra di siang bolong pada tanah yang tidak bertuan, sepi sunyi dari realitas.
Kata-kata kasar saya tidak perlu minta maaf, karena kabar burung sudah menyebar hingga mengkaratkan telinga para generasi taklit buta, yang tidak menelusuri semangat perjuangan moyangnya. Maka marilah masuk ke dalam peristiwa yang benar-benar terjadi.
***
Tulisan-tulisan yang membicarakan Tuanku Imam Bonjol di antaranya oleh Datuk R. Dihoeloe: Riwayat dan Perjuangan Tuanku Imam Bonjol, “Pahlawan dan Patriot Islam” (1950), Darwis Datuk Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, “Tuanku Imam Bonjol, Perintis jalan ke Kemerdekaan,” Jakarta-Amsterdam, penerbit Jembatan (1951), Muhamad Radjab, dengan judul “Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838)” cetakan II Balai Pustaka (1964), Rustam Kaharuddin, “Biografi Tuanku Imam Bonjol” (1964), Christine Dobbin, “Tuanku Imam Bonjol (1772-1838),” Cirnell Modern Indonesia Ptoject, No.13 (April 1972), Sagimun M.D. dengan titel “Riwayat Hidup dan Perjuangan Tuanku Imam Bonjol,” terbitan Bharatara (1974) dll. Sedang yang saya urai ini dari karangan Drs. Mardjani Martamin, diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 1986:
Tambo-tambo yang menyatakan asal usul Tuanku Imam Bonjol: Suatu ketika datanglah dua orang bersaudara dari Maroko ke Minangkabau. Yang laki-laki bernama Syekh Usman, yang perempuan bernama Hamatun. Setelah melewati perjalanan jauh yang melelahkan, akhirnya menetap di Negeri Alai, Ganggo Mudik, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman sekarang. Waktu itu pemimpin kampungnya adalah Datuk Sati.
Seturut kesahajaan masa itu, setiap pendatang diterima menjadi penduduk setempat. Caranya menuangkan adat bermacam-jenis; pesta dihadiri seluruh penduduk dengan disembelihkan beberapa ekor kerbau demi menjamu tetamu. Ada kepala adat sebagai tanda patuh terhadap kebiasaan masyarakat yang berlaku. Pula cara lain tumbuh di atas pengalaman penduduknya dalam mengolah alam demi kemakmuran merata. Kesahajaan, kebersamaan senyanyian abadi yang meningkatkan nilai keadaban ke jenjang keagungan luhur, suatu gugusan mulianya peradaban.
Syekh Usman dan Hamatun mengisi adat kepada Datuk Sati di Alai, mereka diberi tempat di kampung Koto, kini Padang Babus yang terletak di sebelah selatan Kampung Tanjung Bunga. Hingga Syekh Usman beranak cucu, dia diangkat menjadi kepala kaumnya sebagai penghulu (kepala suku) dengan gelar Datuk Sakih. Karena mengetahui ajaran Islam secara mendalam, ia juga mengajarkan pengetahuannya kepada orang-orang sekitar, sebagai ulama terkenal bernama Syekh Bagindo Suman. Sampai kini walau sudah ratusan tahun, gelar itu dipakai orang di kampung Ganggo Hilir, Kecamatan Bonjol, sebagai gelar Kadhi di sana.
Hamatun menikah dengan seorang guru agama, Khatib Rajamuddin (Bayu Nuddin), tinggal di Kampung Tanjung Bunga, Alahan Panjang. Ia berasal dari Nagari Sungai Rimbang, Kecamatan Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota sekarang. Pasangan ini beranak empat, satu laki-laki, tiga perempuan. Yang lelaki bernama Muhammad Syahab, yang perempuan bernama Sinik, Santun dan Halimatun. Syahab, Halimatun dan ibunya Hamatun dibawa ayahnya menetap di kampung Bagindo Suman di kampung Koto. M. Syahab lahir tahun 1772, ia yang kemudian hari bergelar Tuanku Imam Bonjol, dan diangkat Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional.
***
Tulisan ini tersemat di malam 14 Mulud 1946, Setu Kliwon J (14 Rabiul Awal 1434 H), lalu sambil mendengarkan lagu-lagu Minang, saya jabarkan kisah Pangeran Diponegoro seturut alurnya M. Yamin. Tempat lahirnya di dalam keraton Mataram, Jum’at Wage 8 Muharom, tahun Be wuku Wayang, barangkali tahun 1785 (data di Wikipedia menuliskan 11 November 1785). Setelah saya telusuri di Penanggalan Jawa Online, 11 Nopember 1785, Jum’at Sukra Masehi, 8 Suro 1712, Jemuwah Wage Jawa atau 8 Muharram 1200 Hijriah.
Ayahnya Mangkubumi III, Sultan yang bernama Sultan Raja (1810-1814), cucunya Sultan Sepuh (1792-1810), dan cicitnya Sultan Suargi (1755-1792). Ayahnya Sultan Raja memerintah empat tahun, sesudahnya diganti adinda Beliau, Sultan Jarot (1814-1822). Sultan Jarot pun tidak lama memerintah, di tahun 1822 dengan tiba-tiba beliau meninggal, diganti putera yang belum cukup umur dibawah pengawasan wali.
Ibunda Diponegoro berasal dari Pacitan, puteri Bupati menurut setengah kata orang keturunan Madura. Waktu kecil bernama Ontowiryo. Istrinya ikut ke tanah-tanah pembuangan selama 25 tahun, yang sangat dicintainya bernama Ratnaningsih. Dia melahirkan beberapa putera-puteri; yang bernama Diponegoro III, Diponegoro muda yang ikut berperang serta dibuang berturut-turut ke Bagelan, Sumenep dan Ambon; beberapa orang puteranya lahir dalam masa-masa pembuangan.
Seluruh keluarganya tua-muda turut berperang menjadi pengikut pahlawan bersifat luhur itu. Dapat dikatakan keluarga Diponegoro sejak jaman dahulu sampai kepada keturunannya ialah keluarga pemberontak, pemegang obor semangat kemerdekaan. Nyalanya telah berkobar lama mempusaka dalam lingkup keluarganya. Diponegoro kita bukanlah yang pertama, penyulut api peperangan dalam usaha meruntuhkan kekuasaan Belanda.
Berkisar seratus tahun sebelum sejarah yang kita pelajari, putera Pangeran Puger (1704-1719 M) Raden Mas Sungkawa atau Dipati Diponegoro. Di dalam tahun 1718, Diponegoro I disuruh oleh ayahnya menundukkan pemberontakan di Jawa Timur, sebelah timur Gunung Lawu, diperintah bersama Japapuspita. Diponegoro tidak saja memerintah, suatu hari di tengah rakyatnya Beliau dinobatkan menjelma Panembahan Herucakra, yakni Senopati sekaligus kepala agama Islam.
Setelah Pakubuwono wafat (1719) diganti Amangkurat IV (1719-1727), Ibu Negeri di Madiun dipindah ke Padonan, daerah Sukawati dekat Solo. Namun lama-lama di dalam pemberontakan, Beliau ditinggalkan saudaranya Purbaya dan Dipati Belitar, maka terpaksa pindah ke Semanggi. Setelah ditangkap Kompeni Belanda, tahun 1723 Diponegoro dibuang oleh kekuasaan Belanda ke Tanjung Pengharapan di Afrika Selatan. Adapun tujuan Perang Diponegoro adalah hendak mendirikan kerajaan yang adil-damai di jaman keemasan tretayuga. Nama, gelar serta pikiran Ratu Adil, menjadi pusaka dalam keluarga Diponegoro II dengan keluasan wacananya. Maka Diponegoro yang dikenal sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia itu Diponegoro II, yang wafat di Makassar, Sulawesi Selatan 8 Januari 1855.
***
“Aku Pangeran Dipanegara,” begitu judul novel yang dikarang sastrawan J.H. Tarumetor TS, terbitan Gunung Agung 1967, bagi pengantar mereka yang senang berimajinasi dalam realitas sejarah, pun untuk berharap kepahaman arus pergolakan juang di Tanah Air demi pertempuran terus berkobar. Karya ini seperti serbuk menyembuhkan rasa penasaran saya, kepada karangan Diponegoro II sendiri yang bertitel “Babad Diponegoro” ditulis di Manado, dirampungkannya di Makassar. M. Yamin pada bukunya pada sub “Dipanegara sebagai Pudjangga” menuturkan:
“Tidak perlulah orang menulis buku sampai sepuluh lemari, supaya menjadi pujangga besar. Satu buku yang selesai isi dan susunannya, sudah cukup untuk membuktikan satu jiwa manusia yang berjasa untuk kesusastraan. Selain daripada surat-surat kepada beberapa orang keluarga, kepada ibu bapak, dan surat peperangan, maka Babad Diponegoro menjadi pusaka dari tangan Beliau sendiri; babad ini berbeda dengan babad yang lain. Babad Diponegoro adalah sejarah kebangsaan yang ditulis oleh tangan yang berdarah dan dengan perasaan dalam dada seorang pahlawan yang lima tahun berjuang dan seperempat abad meringkuk dalam benteng tawanan. Maka orang yang tidak pandai menulis tanda tangan, tidak tahu bahasa yang bagus dan hanacaraka yang sempurna, ternyata juga seorang pujangga besar, dan dapat dipersaksikan dalam buah karangan yang ditulisnya dalam benteng itu (Benteng Rotterdam di Makassar). Kitab itu ditulis dengan tembang dalam huruf pegon dan huruf Jawa.”
***
Dalam lembaran muka bukunya Sagimun M.D. berlabel “Pahlawan Dipanegara Berdjuang” (Bara Api Kemerdekaan Nan Tak Kundjung Padam), diterbitkan oleh Cabang Bagian Bahasa, Jawatan Kebudayaan Kementerian P.P. dan K Jogjakarta MCMLVII, Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno mengakatan:
“Tiap-tipa bangsa yang besar, mempunyai pahlawan-pahlawannya. Tidak ada satu bangsa yang besar yang tidak mempunyai pahlawan. Dan kita bangsa Indonesia merasa sangat berbahagia, karena kita mempunyai pahlawan-pahlawan yang telah menghias sejarah tanah air Indonesia dengan tinta emas, penuh dengan kegemilangan dan jiwa kepahlawanan.”
“Pahlawan seperti Pangeran Diponegoro di Jawa, Tuanku Imam Bonjol dan Teuku Umar di Sumatera, Pangeran Hidayat di Kalimantan, Sultan Hasanuddin di Sulawesi, Pattimura di Maluku, dan masih banyak lagi yang lain-lainnya, selalu dan tetap dihormati oleh putera puteri Indonesia sebagai sumber inspirasi dan pembakar api kepahlawanan di dada mereka. Kita bangsa Indonesia serasa dan harus merasa bangga, bahwa kita adalah turunan-turunan dari pahlawan-pahlawan itu. Hanya bangsa yang tidak berjuang yang tidak mempunyai pahlawan. Bangsa Indonesia yang telah berabad-abad lamanya berjuang, telah memiliki pahlawan-pahlawan yang gagah-berani.”
“Salah satu dari padanya adalah Pangeran Diponegoro, yang perjuangannya, kepribadiannya dan cita-citanya oleh Sdr. Sagimun M.D. dalam bukunya “Pahlawan Dipanegara Berdjuang” dibentangkan sebagai penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seorang pahlawan yang telah meninggalkan kepada kita lembaran sejarah yang tak mudah dilupakan, sebuah kenang-kenangan yang akan tetap hidup segar di dalam ingatan setiap putera Indonesia yang mencintai sejarah tanah airnya.”
“Dalam kitab ini pun diuraikan oleh penulis, betapa licik dan betapa keji kaum penjajah untuk mematahkan perlawanan rakyat dan menodai cita-cita perjuangan bangsa Indonesia. Di atas pundak kita yang masih hidup sekarang ini, dan di atas pundak generasi yang akan datang, terletaklah kewajiban yang suci dan luhur untuk memelihara dan memupuk warisan pahlawan-pahlawan yang telah mendahului kita.”
“Mudah-mudahan sejarah perjuangan dan cita-cita perjuangan Pahlawan Diponegoro dan pahlawan-pahlawan yang lainnya senantiasa dikenang dan menjadi sumber inspirasi serta menjadi pupuk yang memelihara dan menyuburkan semangat patriot dan kesegaran jiwa pahlawan bangsa Indonesia untuk bersatu menegakkan Negara Indonesia Raya yang adil, makmur dan bahagia. Semoga sejarah perjuangan pahlawan-pahlawan Indonesia di zaman yang lampau dapat memberikan pelajaran dan bahan renungan kepada kita untuk bersatu membuat sejarah masa depan yang gilang-gemilang.”
“Di sini sekali lagi hendak saya ulang pernyataan saya, bahwa hanya bangsa yang tahu menghormati dan menghargai jasa-jasa pahlawannyalah yang dapat menjadi suatu bangsa yang besar. Akhirnya besarlah keyakinan saya, bahwa barang siapa membaca kitab ini, mudah-mudahan dadanya makin penuh dengan debaran pahlawan dan jiwanya makin padat dengan cita-cita agar negara dan bangsanya menjadi Negara dan Bangsa yang besar. Jakarta, 1 Januari 1957. Presiden Republik Indonesia, tertanda Sukarno.”
***
Dan kelahiran Teuku Umar (Meulaboh 1854 – Meulaboh 11 Februari 1899), dua tahun lebih muda dari Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy (berasal Minangkabau, Koto Tuo Balai Gurah, Kecamatan IV Angkat Candung, Bukittinggi tahun 1852, yang meninggal di Mekkah 1915), di Wikipedia tertuliskan; lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat 1860 – wafat di Mekkah 1916). Namun saya lebih condong kepada buku yang saya pegang, buku sama membahas Syekh Haji Ilyas Ya’cub. Barangkali langitnya serupa lantaran belum ke sana, atau saya sulit memastikannya.
Kembali Teuku Umar terlahir di Meulaboh, Aceh Barat 1854, anak seorang Uleebalang yang bernama Teuku Achmad Mahmud dari perkawinannya dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Teuku Umar punya dua saudara perempuan, tiga laki-laki. Nenek moyangnya Datuk Makudum Sati, berasal Minangkabau. Salah seorang keturunan Datuk Makudum Sati yang berjasa terhadap Sultan Aceh sewaktu terancam oleh Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasanya, diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh. Teuku Nan Ranceh mempunyai dua putra, Nanta Setia dan Ahmad Mahmud. Sepeninggalnya, Nanta Setia mengganti kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. Ia mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar tidak pernah mendapatkan pendidikan formal, namun mampu menjadikan dirinya pemimpin yang kuat, cerdas serta pemberani.
Ketika perang Aceh meletus 1873, Beliau ikut bersama para pejuang Aceh, umurnya baru 19 tahun. Mulanya berjuang di kampungnya lalu dilanjutkan ke Aceh Barat. Dalam umurnya yang masih muda, diangkat sebagai Keuchik Gampong (Kepala Desa) di Daya Meulaboh. Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikahi Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Dan menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri Panglima Sagi XXV Mukim. Di tahun 1880, Beliau menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia. Suaminya Cut Nya Dien, Teuku Ibrahim Lamnga meninggal pada bulan Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya berjuang melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda. Teuku Umar ialah pahlawan kemerdekaan Indonesia (Wikipedia).
***
Presiden Pertama Ir. Soekarno menyebutnya ‘pahlawan tiga sekawan dalam abad silam.’ Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat 1772 – wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa 6 November 1864). Pangeran Diponegoro (lahir di Yogyakarta 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855). Dan Teuku Umar (Meulaboh, 1854 – Meulaboh 11 Februari 1899).
Tengok peristiwa lainnya; untuk mengokohkan kedudukan sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), 14 Maret 1862 bertepatan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruannya Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809 – meninggal di Bayan Begok, Hindia-Belanda 11 Oktober 1862): “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!”
Mungkin sebab perjuangan ketiga sekawan, pula para pahlawan lain di Nusantara, Tan Malaka saat di Moskow, mengusulkan agar pergerakan Komunis Internasional bekerja sama pada Pan-Islamisme, tetapi tertolak. Seperti di halaman 72-73 dalam buku susunanya Efantino Febriana “Alimin & Tan Malaka, Pahlawan Yang Dilupakan,” terbitan Bio Pustaka Yogyakarta 2009:
“Tan Malaka kemudian mengikuti Konggres Komintern keempat pada November 1922 di Moskow mewakili PKI. Pemimpin Uni Soviet, Lenin yang sudah sakit masih menyempatkan untuk berbicara. Di Moskow, Tan Malaka berkenalan dengan Stalin, Sekjen Partai Komunis Uni Soviet, Trosky, pemimpin Tentara Merah, Sinovief, ketua Konggres Komintern, Kalinin, Rykoff dan Kemenenv. Tan Malaka mulai berbicara yang menyerukan perlunya bantuan kaum komunis terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara Asia. Tan Malaka juga mengatakan agar gerakan komunis internasional bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Namun anjuran Tan Malaka agar kaum komunis bekerja sama dengan Pan-Islamisme tidak mendapat sambutan karena Pan-Islamisme dianggap imperialisme model lama.”
***