Achdiar Redy Setiawan
JP Radar Madura, 30 Jul 2017
SEBUAH keberuntungan bagi saya dapat menjadi saksi atas pertunjukan ini. Sebuah ikhtiar menghadirkan penampilan teatrikal langsung di tengah permukiman masyarakat (desa). Minggu malam, 23 Juli 2017 di tengah ladang singkong Desa Nyapar, Kecamatan Dasuk, Sumenep, Anwari menyutradarai karya yang diklaim sebagai teater antropologi.
Tatenggun. Demikian tajuk penampilan pementasan ini. Tatenggun berasal dari akar kata bahasa Madura tenggu (tonton). Tatenggun dalam makna harfiah adalah tontonan, objek yang ditonton.
Orang Madura banyak dikelilingi aneka tatenggun. Tatenggun adalah semacam pencarian hiburan setelah melaksanakan mencari nafkah. Pagi hingga petang berkutat di sawah. Menyiangi rumput di ladang. Berniaga di pasar. Malam hari adalah saat masyarakat Madura menikmati tatenggun.
Pelbagai tatenggun pun menjadi akrab dalam keseharian Madura. Saya yang dibesarkan di kota tua Kalianget, misalnya. Sedari kecil begitu lekat dengan ragam tatenggun. Sebut saja topeng dalang, ludruk, tayuban. Ada pula albadar: pertunjukan berdasar cerita kuno/legenda dengan iringan orkes (diatonis), bukan gamelan (pentatonis).
Anwari membawa bentuk tatenggun lain kepada masyarakat di akar rumput, yaitu karya teater. Teater di sini dimaknai sebagai sebentuk lakon yang ”biasanya” berkembang di latar dunia ”modern”, ”akademis”. Teater (diposisikan) sebagai karya seni yang (biasanya) memuat cerita dan gerak laku yang tidak berbasis tradisi. Produk sekolahan. Bukan seni tradisi yang lazimnya berkembang di masyarakat.
Pada sisi tatenggun inilah, apresiasi terhadap ikhtiar Anwari dkk perlu diletakkan. Pertunjukan mengambil latar di halaman rumah warga. Di antara ladang singkong yang tumbuh subur. Langsung di jantung kehidupan masyarakat desa. Lokasinya sekitar 15 km dari pusat Kota Sumenep. Dari jalan utama, masuk ke dalam sekitar 2 km lagi.
Malam itu, ratusan warga sudah berkerumun. Laki perempuan. Tua muda. Anak-anak pun banyak. Sebagaimana lazimnya ketika ada keramaian, beberapa pedagang kecil dadakan bertebaran. Kue ekonomi pun ikut bergerak.
Ada semacam rasa penasaran yang mungkin menyeruak di sanubari masyarakat desa. Sasaran utama penonton teater ini, dalam pandangan saya, jelaslah adalah warga setempat. Meskipun promosi acara ini juga dipajang di media massa (dan media sosial), target utama tetaplah masyarakat setempat. Hal ini diperkuat dengan minimnya papan petunjuk menuju lokasi pertunjukan bagi masyarakat luar desa tersebut.
Sebagai eksperimen menghadirkan tatenggun baru bagi masyarakat (di luar yang mainstream seperti ludruk, topeng dalang, tayuban dll), respons penonton menjadi penting diungkap. Saya (bersama kakak dan 2 putri yang saya ajak ikut serta) menjadi saksi ragam komentar. Dari awal sampai akhir bermunculan kalimat-kalimat riuh rendah audiens yang mayoritas adalah warga sekitar.
Berbagai ocehan yang terdengar itu sangat mengganggu kenikmatan saya sebagai penikmat. Belum lagi kilatan flash kamera. Namun ketika menyadari bahwa ini adalah sebentuk tawaran tontonan baru, saya (dan rombongan keluarga yang saya ajak ikut serta) menjadikan ragam komentar itu sebagai bahasan ketika pulang. Bisa jadi juga sebagai bahan refleksi nantinya.
Pertama, ”Ini apa ceritanya? Tak jelas tentang apa.” Banyak nada pertanyaan semacam itu. Sebagai pementasan yang mengambil latar outdoor, Anwari memang menghadirkan naskah minim dialog. Ia bisa jadi telah memperhitungkan bahwa dialog yang banyak, juga sound system yang tidak mendukung, tidak akan efektif menceritakan lakon. Maka gerak dan musik yang menggambarkan suasanalah yang banyak dihadirkan.
Pertunjukan minim dialog ini ditangkap warga sebagai kebingungan menafsir pesan cerita yang hendak disampaikan. Ludruk, topeng dalang, albadar dst yang merupakan bentuk utama seni pertunjukan di Sumenep, mengandalkan pesan yang jelas dalam alur ceritanya. Tak pelak, beberapa penonton di barisan depan pelan-pelan beringsut mundur memasuki menit ke-20 dan seterusnya. Alasannya sama: tidak bisa menangkap inti cerita.
”Areya nenggu apa? Nenggu oreng gila (Ini nonton apa? Nonton orang gila).” Ujaran senada ini berkali-kali terdengar. Ini seakan mengonfirmasi temuan respons sebelumnya. Adegan, gerak, koreografi yang ditampilkan ditangkap mayoritas penduduk hanyalah laku nir-makna. Frase ”orang gila” menunjuk kepada persona yang menjalankan aktivitasnya tanpa kejelasan arti. Pemahaman semacam ini wajar saja mencuat mengingat sifatnya yang ”baru” bagi warga setempat.
Komentar menarik kedua adalah anggapan terhadap ”akademis”-nya sebuah pertunjukan teater. Rentetan kalimatnya kira-kira berbunyi begini: ”Ini yang main katanya anak-anak kuliahan. Kalau aku punya anak, mending saya suruh belajar biasa saja. Tidak jelas kerja begini begini.”
Berteater adalah produk sekolahan (kampus). Namun tidak sebagaimana karya akademis, masyarakat memandang karya semacam teater ini tidak memiliki makna bagi peningkatan kualitas hidup. Berteater adalah sebentuk ketidakjelasan. Kesia-siaan.
Kesadaran semacam ini juga tidak bisa disalahkan. Kerja teater, apalagi yang tak dapat tertangkap pesan ceritanya, pasti melahirkan pemaknaan serupa ini. Hal ini memerlukan edukasi yang berkelanjutan. Bukan pekerjaan mudah dan instan.
Kalaupun nanti alur ceritanya (lebih) jelas, tetap saja memahamkan pentingnya berkecimpung di dunia seni budaya bukan kerja ringan. Berteater (bagi warga akademis pun) layaknya klangenan saja. Hiburan di saat senggang. Mengikuti kegiatan berteater bukanlah pekerjaan bermakna. Pun untuk mengapresiasi produk keteateran. Lebih-lebih di hadapan ”tuntutan” era modern kiwari.
Dalam pandangan kaum modernis, institusi akademis semacam perguruan tinggi ”hanya” berkewajiban mencetak alumni yang siap bersaing di dunia kerja sesuai bidang ilmunya. Ya, mencetak. Sebagaimana mesin produksi, yang dicetak tipikal. Terma ”profesional”, ”kompeten”, ”menguasai bidang ilmu” menjadi mantra yang terus dirapalkan sebagai tuntutan yang dilekatkan terhadap lulusan. Lebih ke arah kognisi dan keterampilan teknis materialistis. Aspek estetika dan pengasahan hati nurani (termasuk melalui kegiatan berteater) menjadi unsur sekunder, bahkan tersier.
Kembali kepada pementasan Tatenggun, Anwari sebenarnya telah berusaha keras mendekatkan diri dengan tema keseharian masyarakat. Ia menghadirkan visualisasi bendawi yang lekat dengan warga. Sapi, bajak, tangga, pasir pantai, garam, dan seterusnya. Rumput pakan sapi juga memenuhi tampilan kandang. Tata busana pun mengambil model setempat.
Ikhtiar mengambil tema berbasis lokalitas adalah hal yang perlu diapresiasi dalam mengenalkan dunia teater bagi masyarakat awam. Adegan yang ditampilkan berisi laku keseharian warga yang berporos di desa. Kandang sapi adalah episentrumnya. Asal muasal diri dari desa dengan segala simbolnya berusaha ditampilkan sepanjang pementasan.
Manusia (Madura) tidak boleh melupakan jati dirinya. Dari mana ia berasal penting diingatkan. Ketika asal muasal dilupakan, hidupnya akan tidak terarah. Tercerabut dari akarnya. Banyak anak muda Madura hari ini malu mengakui kemaduraannya.
Sawah, sapi, bajak adalah kosa kata usang yang harus ditinggalkan. Bertani dan beternak adalah pilihan profesi yang tidak ”seksi” bagi kawula muda. Pekerjaan berdasi, di ruang ber-AC adalah pilihan dan rujukan manusia muda modern. Pada konteks inilah repertoar karya Anwari ini penting diposisikan. Mengingatkan tentang berharganya jejak.
Memori tentang asal usul lewat simbol bendawi yang ditampilkan juga diikuti dengan mengingat tentang nilai-nilai kebaikan yang melekat pada lampat (jejak). Tradisi menghormati yang lebih tua dalam keyakinan manusia Madura adalah hal penting yang harus terus dipegang. Bappa’, babbu’, guru, rato. Berturut-turut, mulai dari orang tua (ayah ibu), guru dan raja (ulil amri), adalah pihak yang harus mendapat respek utama.
Pesan penting ini tergambarkan pada adegan pamungkas. Satun (ibu), Sumina (nenek), dan Mi’ati (nenek buyut) adalah perempuan yang berjasa bagi Anwari. Mereka bertiga dihadirkan di penghujung acara. Duduk berjejer di kursi panjang. Lalu sang sutradara itu dengan takzim membasuh kaki para perempuan luar biasa ini. Al-jannatu tahta aqdamil ummahat. Pesan islami bahwa surga terletak di telapak kaki ibu harus benar-benar diresapi.
Dengan demikian, sebagaimana disitir oleh pemrakarsa acara ini, Tatenggun juga bisa dipahami sebentuk nenggu akar diri sendiri dan kemaduraan secara umum. Pada titik inilah bisa jadi istilah teater antropologi berasal. Mengenalkan pementasan teater seraya mengingatkan tentang lampat (jejak kedirian) pada saat yang sama.
Sebuah ikhtiar kebudayaan yang patut diapresiasi. Tak salah juga jika pendanaan pertunjukan ini didukung Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Terlepas dari aspek teknis keteateran (tidak menjadi concern tulisan ini), usaha untuk terus melestarikan nilai lokalitas semacam ini perlu menjadi agenda berkelanjutan.
Di hadapan arus modernisasi dengan segala nilai budaya (negatif) yang diusungnya, pemerintah dan para pelaku seni budaya perlu bergandeng tangan menggagas strategi kebudayaan yang serius. Semoga. (*)