Revolusi Bahasa dalam Politik Gender

Mariana Amiruddin *
Majalah Tempo, 12 Jan 2015

Sejumlah pemikir perempuan menemukan bahwa hampir semua bahasa dunia ternyata tidak netral gender. Bahasa kemudian perlu menjadi ruang politik gender. Apa yang disemayamkan dalam bahasa ternyata kental dengan bias patriarki. Deborah Cameron, seorang ahli linguistik, mengatakan bahwa “kata” tidak memiliki makna, tapi masyarakat yang memaknainya (words don’t mean, people mean). Kata laki-laki, perempuan, pria, dan wanita telah dimaknai masyarakat patriarki dan tecermin dalam kamus besar bahasa (konvensi bahasa). Karena itulah pemikir dan gerakan emansipasi membongkar, lalu memaknai kembali kata perempuan sebagai bentuk afirmasi, menjadikannya positif, eksis, menjadi empu, yang dibanggakan, menjadi dirinya sendiri.

Helene Cixous, filsuf Prancis, dalam karyanya, The Laugh of the Medusa, mengatakan “ketika saya bicara, menulis, atau menyebut perempuan, saya sedang bicara tentang perempuan dalam perjuangannya melawan konvensi patriarki”. Menurut dia, permainan bahasa yang pertama-tama perlu dilakukan adalah dengan membongkar konvensi bahasa. Ketika kata perempuan terdengar begitu negatif, perlu revolusi linguistik dengan membongkar, membalikkan, atau memaknai kembali, berdasarkan pengalaman dan pemikiran perempuan sendiri. Menurut dia, revolusi sosial melawan patriarki perlu meliputi revolusi linguistik untuk meruntuhkan pemaknaan bahasa yang tradisional, seksis, patriarkis.

Penyebutan kata perempuan masih melekat prasangka negatif, yang diikuti dengan mitos tentang seksualitasnya.

Bahasa telah bermain politik genderbiner. Antarjenis kelamin dibuat seolaholah bersanding netral. Dalam praktiknya, keduanya telah diciptakan hierarkis (atas dan bawah) dan berlawanan, positif/negatif, baik/buruk, lakilaki/perempuan, pria/wanita.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menandai ciri reproduksi dalam penyebutan laki-laki dan perempuan, dan menandai ciri kedewasaan dalam penyebutan pria dan wanita. Perempuan disebut orang yang mempunyai puki (vagina), dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Laki-laki disebut orang yang mempunyai zakar (penis), kalau dewasa mempunyai jakun, dan ada kalanya berkumis. Tidak sampai di situ saja, Kamus Besar Bahasa Indonesia juga memberi deretan istilah atau julukan sehari-hari penggunaan kata perempuan yang ternyata hampir semuanya negatif, seperti: perempuan jahat (adalah perempuan yang buruk kelakuannya); perempuan nakal (adalah sundal); pelacur (adalah asal kata dari perempuan lacur); perempuan jalang (adalah perempuan yang nakal dan liar yang suka melacurkan diri); perempuan jengak (adalah perempuan cabul/buruk kelakuannya), perempuan simpanan (adalah istri gelap).

Bahkan kata puki (vagina) diterangkan terdapat penggunaan istilah pukimai (pukimai), yaitu kata makian yang merendahkan dan sangat kasar; puki adalah vagina dan mai adalah betina atau binatang (seperti istilah makian motherfucker). Dibandingkan dengan kata perempuan, kata wanita memang lebih positif maknanya, seperti wanita karier, yaitu wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi. Namun kata wanita masih disisakan makna negatif, yaitu dalam istilah wanita tunasusila (perempuan yang lacur).

Sedangkan contoh penggunaan sehari-hari kata laki-laki dalam kamus bahasa mengandung nilai positif; laki-laki jantan (laki-laki pemberani); laki-laki jemputan (laki-laki yang dipilih dan diambil menjadi menantu). Demikian pula kata pria dipraktikkan dalam contoh yang positif, seperti sebutan pria idaman (laki-laki dewasa yang dijadikan dambaan oleh wanita). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, saya tidak menemukan istilah sebaliknya seperti lelaki hidung belang, lelaki mata keranjang, atau wanita idaman.

Dalam kaitannya soal penggunaan kata-kata tersebut, pemikir dan gerakan emansipasi perempuan tidak pernah menghilangkan kata wanita, tidak pernah ada pernyataan apa pun untuk menghilangkannya, melainkan mengafirmasi kata perempuan sesering mungkin sebagai sebuah politik bahasa untuk menjadikan identitas seksualitas perempuan yang positif. Untuk menjadi kanon baru dalam konvensi bahasa yang selama ini didominasi oleh makna yang patriarkis. Sebagai contoh dalam praktik budaya, ketika saya mendatangi gedung Mahkamah Agung, saya menyebut diri sebagai yang mewakili Komnas Perempuan, lalu orang-orang di sana—seperti sedang memperbaiki kata yang saya pakai—mengatakan, “Dari Komnas Wanita ya, Bu?” begitu enggannya mereka menggunakan kata perempuan, yang menurut intepretasi saya, ketika lidah laki-laki menyebut kata perempuan, itu bertanda negatif. Saya kemudian menegaskan kembali bukan Komnas Wanita, melainkan Komnas Perempuan. Ketegasan saya tersebut bukan untuk menghilangkan kata wanita, melainkan mewacanakan kata perempuan sesering mungkin sebagai bentuk afirmasi, sebagai pengubah persepsi, sebagai bahasa revolusi.

*) Komisioner Komnas Perempuan, Dewan Redaksi Jurnal Perempuan.

Leave a Reply

Bahasa »