Beni Setia *
Riau Pos, 7 Agu 2016
PADA ”Mencari dan Menemukan Diri” (Kata Pengantar di Ladang Pembantaian, Lamongan: Pagan Press, 2015), Eko Darmoko mencatat: Samuel Beckett, penulis puisi, cerpen, novel, dan esai bosan dengan eksistensi kebebasan menulis, ketiadaan acuan yang menyebabkan leluasa menulis apa saja di dalam genre yang disukai. Ia sedang kehilangan gairah menulis, karena itu mencari tantangan dengan menulis naskah drama–tulisan yang dibatasi kepastian karakter, dialog tajam, fokus serta kuat menghadirkan inti konflik dari cerita, dan situasi pembatas dari kemungkinan pementasan.
Hasilnya mencengangkan–ia menulis Waiting for Godot. Karya fenomenal, meski tak pernah jelas siapa Godot–hanya dipercakapkan–, apa memegang serta meneguhkan harapan memang cara baik menjelang masa depan, atau tanpa harapan malahan lebih baik sebab bisa sembarangan bertindak, dan seterusnya. Di titik ini tantangan dan keterbatasan jadi cara melawan kebosanan, sekaligus itu jadi kemungkinan buat melakukan terobosan. Dan menulis cerpen–selain berteater–menjadi cara Eko Darmoko memenangkan diri dan mengekspresikan diri di tengah kejenuhan kerja jurnalistik.
Hasilnya tak mengecewakan, karena, dengan mesimanpaatkan pengetahuan sejarah lokal–peristiwa 10 November, peran Dolly dalam pembangunan kompleks zinah, misteri pembantaian di Gunung Argopuro, Probolinggo, dan seterusnya–, berhasil menyisipkan pertanyaan. Penggarisbawahan yang menyiratkan makna lain dari hal-hal yang selama ini dianggap benar. Ada yang dipertanyakan, sehingga jadi mempunyai tanda tanya–terlahir kesangsian, penyangsian, serta rangsangan untuk mencari kesejatian. Itu sumbangan Eko genre penulisan cerpen baru–meski masih terjebak ego aku bertanya, mempertanyakan, sehingga aspek personal cerita terkadang terlalu kuat.
***
KERIGIDAN fakta dilunakkan dengan fiksionalisasi–daya reka imajinatif–, meski tetap ingin mengguratkan fakta sebenarnya–menghidupkan yang dilupakan dan menjadi teks tersirat. Itu tantangan. Dalam beberapa segi: apa yang coba dilakukan Eko Darmoko identik dengan asumsi Seno Gujira Ajidarma, bahwa–kalau tak salah ingat–”sastra maju ke muka setelah jurnalistik dibungkam”. Menarik, ketika ketidakbebasan merupakan cara untuk merayakan kebebasan, dan keterikatan jasi cara buat menertibkan ketidakteraturan, sehingga (ide) jadi terfokus dan lahir karya yang bernilai kebenaran–serta menghibur.
Pencapaian itu bukan ilusi saat memilih satu ekspresi ungkap berkesenian, mungkin itu alasan utama kenapa akhir-akhir ini banyak penyair amat gairah menulis dalam bentuk ucap puisi yang mengikat dalam hukum bentuk ucap–dengan banyak suku kata dan baris. Pantun mensidadak jadi alat ucap yang dianggap menantang, lantas lahir kecenderungan berpuisi dengan metoda karmina–pantun kilat, terdiri dari dua baris sampiran-isi, dengan persajakan aa. Jadi massal, menerbitkan antoloji bersama–meski tak deras lagi gaungnya.
Beda dengan haiku Komunitas Haikuku Indonesia yang merujuk ke ide asli haiku–tiga baris, berpatokan suku kata 5-7-5, dan tidak terlalu peduli pada rima dan persajakan. Merujuk suasana, kecenderungan menyerap serta mengungkap impresi sebagai pantulan kesadaran subyektif–dengan memsiperhatikan kigo serta kiregi. Menolak memberi judul, bahkan cenderung memsiperkaya teks dengan haiga, gambar dan lukisan yang menyaran. Tak terlalu terikat pada fakta haiku itu ditulis spontan hingga eksistensinya pernah berkait saling terhubung–sehingga bisa panjang dan tak selesai-selesai.
Acuan tak memberi judul–sementara ada grup yang membolehkan judul, dan acuan 5-7-5 tak terlalu ketat dirunut–, membuat kepenasaranan. Karena ada versi haiku, di luar Jepang, yang dianggap sajak pendek, tak terlalu ketat dengan kigo dan keregi, serta diberi judul. Bahkan haiku yang ditulis penyair Indonesia sebelum ini, atau yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia berjudul, maka si haiku berjudul dianggap adaptasi khas Indonesia–dianggap sajak pendek. Tapi kenapa tidak boleh berjudul? Tidak dianggap sajak pendek? Itu melahirkan sonian–persajakan tak seperti haiku tapi acuan suku kata dan baris ketat.
***
KETERIKATAN pada hukum banyak baris dan suku kata per baris jadi acuan, dan (katanya) sonian kini telah jadi tantangan yang bisa direspon secara positif–mesilahirkan banyak puisi dan kumpulan puisi. Itu laku kreatif membelenggu diri serta menantang diri. Itu bukan hal tiba-tiba dalam khazanah sastra Indonesia kini. Dulu ada pola puisi 2,7–dua baris dengan tujuh suku kata–, yang melahirkan antoloji puisi. Seorang teman menantang dengan pola 234, tiga baris dengan totali 2-3-4 suku kata, tapi itu dianggap lelucon. Dan kini muncul tantangan baru, puisi syair-syiar.
Acuannya empat baris, si hukum penulisan barisnya: baris kesatu terdiri dari 4 suku kata, baris kedua terdiri dari 5 kata, baris ketiganya terdiri dari 17 suku kata, sedang baris terakhir terdiri dari 8 suku kata. Acuannya tertulis 4-5-17-8–sangat klasik serta keramat. Pola puisi macam ini melahirkan satu kumpulan puisi tunggal dan satu antoloji–yaitu 70 Syair Syiar Anton de Sumartana dan Syair Syiar Akusuka yang menampug penyait seperti Jehan, Akhudiat, dan seterusnya. Menarik sekali upaya untuk memsibebaskan diri dengan membelenggu diri. Pertanyaannya, setelah ini apa lagi?
***
*) Beni Setia lahir di Bandung 1954. Ia menulis karya sastra seperti cerpen, esai yang dimuat di berbagai media nasional.