Jamal D. Rahman
Horison, Jan 2016
Kenapa tak ada lagi imajinasi Indonesia dalam puisi kita dewasa ini? Pertanyaan ini tidak bermaksud menutup mata terhadap adanya imajinasi tentang Indonesia dalam puisi. Sudah tentu ada banyak imajinasi Indonesia dalam puisi kita, sebab imajinasi merupakan salah satu alat penting puisi. Yang kita maksud di sini adalah imajinasi tentang Indonesia yang kita impikan. Yakni imajinasi yang bukan saja merekam atau merespon realitas dan fenomena aktual yang pada umumnya negatif, melainkan imajinasi yang memproyeksikan Indonesia yang diidamkan, Indonesia yang dicita-citakan, Indonesia yang bagai bunga mekar berseri-seri.
Imajinasi Indonesia dalam puisi adalah riwayat perubahan sekaligus kehilangan.
Awal abad ke-20 adalah musim semi romantisisme dalam puisi Indonesia, yakni kecenderungan kuat untuk mengagumi dan memuji keindahan alam yang mempesona. Bersaman dengan itu, fajar nasionalisme Indonesia mulai menyingsing. Maka, muncul pula imajinasi Indonesia dalam puisi. Terjadilah pertalian antara romantisisme dan nasionalisme dalam puisi: pemujaan terhadap keindahan alam merefleksikan sekaligus memproyeksikan keindahan Indonesia yang dicita-citakan. Dalam arti itu, imajinasi Indonesia bersifat “murni”, imajinasi yang mengekspresikan ide tentang Indonesia itu sendiri. Pada titik ini imajinasi Indonesia terasa riang, bahkan girang. Puisi menyanyikan Indonesia dengan irama gembira.
Dalam perkembangan selanjutnya, kelahiran Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa-baru mengubah imajinasi Indonesia sepenuhnya. Indonesia lahir dengan sejumlah masalah yang mesti direspon dan dipecahkan. Maka sejak pertengahan abad ke-20, imajinasi Indonesia dalam puisi merupakan respon terhadap realitas dan isu-isu aktual, terutama di bidang sosial dan politik. Ia merupakan usaha mengawal Indonesia di tengah kuatnya fenomena penyimpangan dari imajinasi awal tentang Indonesia, yakni dari cita-cita berdirinya sebuah negara-bangsa baru. Juga dari cita-cita kemerdekaan.
Di zaman revolusi, imajinasi Indonesia merupakan respon dan dorongan terhadap perjuangan merebut kemerdekaan; di zaman Orde Lama respon terhadap pertarungan politik dan ideologi; di zaman Orde Baru respon terhadap cacat-cacat pembangunan; di zaman Reformasi respon terhadap masalah moral dan etik yang sangat parah. Sejak itu, imajinasi Indonesia kehilangan kegembiraannya, keriangannya, kegirangannya. Gairah imajinasi adalah gairah bertanggung jawab secara moral atas kenyataan konkret yang pahit lagi mendesak. Di sini, puisi tidak lagi menyanyikan Indonesia dengan irama gembira, melainkan dengan irama kecewa, prihatin, murung, sedih, dan marah.
Perubahan corak imajinasi ini menggambarkan perkembangan perasaan dan ide tentang Indonesia dalam puisi sebagai segi mikro dari perasaan dan ide tentang Indonesia secara makro. Puisi bagaimanapun merefleksikan perasaan umum, sekaligus mengekspresikan sikap umum terhadap kenyataan. Puisi tidak hanya mewakili dirinya sendiri. Dalam konteks itu, tentu saja dapat difahami ?bahkan dengan rasa hormat? bahwa puisi menjalankan tanggung jawab moral dan sosialnya dengan merespon kenyataan-kenyataan konkret yang tak diharapkan dan bahkan menjengkelkan. Tetapi di sisi lain, dengan perubahan tersebut, puisi tampak larut begitu jauh dalam merespon kenyataan-kenyataan yang tak diharapkan. Ia larut dalam kekecewaan, keprihatinan, kemurungan, kesedihan, dan kemarahan.
Demikianlah imajinasi Indonesia dalam puisi kita dewasa ini merupakan kelanjutan dari suatu corak yang dimulai sejak pertengahan abad ke-20, corak yang berbeda dengan corak imajinasi Indonesia sebelumnya. Yaitu corak yang lebih terpanggil untuk menyikapi kenyataan yang memprihatinkan dibanding untuk mengimajinasikan Indonesia yang diimpikan. Dalam konteks itu, ada yang terputus dari imajinasi Indonesia dalam puisi, yaitu imajinasi yang secara “murni” membayangkan Indonesia tanpa kaitan langsung dengan kenyataan-kenyataan aktual yang menyedihkan dan menjengkelkan.
Pada titik itulah kita kehilangan. Kita kehilangan imajinasi Indonesia yang romantik. Kita kehilangan imajinasi Indonesia yang steril dari kekecewaan dan kejengkelan atas kenyataan. Kita kehilangan imajinasi yang mengemukakan kembali ide tentang Indonesia yang diimpikan. Demikianlah maka puisi kehilangan daya imajinernya tentang Indonesia yang indah, tentang tanah air yang diinginkan, tentang negara-bangsa yang dicita-citakan, tentang tumpah darah yang dirindukan.
Pada saat yang sama, kita kehilangan keriangan dan perasaan girang dalam imajinasi Indonesia. Keriangan dan kegembiraan tentu saja ada, misalnya dalam lawak dan lagu dangdut. Tapi dapat dikatakan tak ada lagi dalam puisi. Bunga, laut, pantai, gunung, dan gelombang tak lagi membangkitkan perasaan riang dan gembira dalam mengimajinasikan Indonesia. Bulan dan cakrawala seakan kehilangan daya pukaunya sebagai alat membayangkan keindahan Indonesia. Dalam puisi, Indonesia adalah kenyataan yang kelam, bukan lagi idaman indah tentang sebuah tanah air. Maka puisi menangisi dan menyesalkan Indonesia. Ia tak lagi mendendangkan Indonesia. Dalam arti itulah puisi tak lagi memiliki imajinasi Indonesia. Tak lagi berimajinasi tentang Indonesia.
Kiranya kita merindukan imajinasi yang dengan riang menyanyikan impian kita tentang Indonesia. Salam. []
*) “Catatan Kebudayaan” majalah Horison, Januari 2016.
https://jamaldrahman.wordpress.com/2016/02/08/merindukan-imajinasi-indonesia/