Mutu Karya Sastra Sumbar 30 Tahun Terakhir

Darman Moenir

Satu,
TEMA Menyoal Kebermutuan Karya Sastra Sumatera Barat membingungkan. Apalagi, lebih khusus, judul Mutu Karya Sastra Sumatera Barat 30 Tahun Terakhir.

Adakah karya sastra Sumatera Barat? Saya lebih tertarik menyebut karya sastra Indonesia, ditulis dalam bahasa Indonesia, oleh sastrawan yang berasal dari Sumatera Barat atau Minangkabau. Sumatera Barat jadi risalah ketata-negaraan, dan Minangkabau adalah masalah etnik(al). Chairil Anwar adalah penyair besar dan penting Indonesia biarpun dia berasal dari Taeh Baruah, Payokumbuah. Begitu juga Abdoel Moeis, novelis modern sastra Indonesia, lahir di Sungai Pua, Agam.

Pula, menulis dengan tema itu tidak memungkinkan saya tidak menyebut diri sendiri. Saya sejak awal, sejak berusia 18 tahun, memang terlibat dan melibatkan diri dalam dunia sastra, menulis beberapa puisi, cerpen, cerita anak, novel, esai dan kritik sastra, bahkan mengerjakan terjemahan (dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia). Menilai diri sendiri saya hindari benar sejak dulu. Itu narsisisme! Itu perbuatan memalukan, sering jadi bahan tertawaan.

Dua
KEMUDIAN, dengan rasa bangga marilah kita ucapkan selamat kepada 4 (empat) orang sastrawan yang berasal dan berkiprah di Provinsi Sumatera Barat. Kenapa? Buku karya dan cipta sastra mereka masuk ke dalam 10 besar Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2013. Mereka adalah Gus tf Sakai (dengan buku kumpulan cerita pendek Kaki yang Terhormat), Yetti A. Ka (kumpulan cerpen Kinoli), Zelfeni Wimra (kumpulan cerpen Yang Menunggu dengan Payung), dan Deddy Arsya (buku kumpulan puisi Odong-odong Fort de Kock). Sesungguhnya ada satu lagi, Museum Penghancur Dokumen, kumpulan puisi Afrizal Malna. Bukankah ayah-ibu Afrizal Malna berasal dari Bukiktinggi?

Perlu dicatat, Gus tf Sakai pernah meraih KLA 2007 dengan kumpulan cerpen Perantau, masuk 10 besar KLA 2009 dengan buku kumpulan puisi Akar Berpilin. Novel Gus tf Sakai Ular Keempat jadi Pemenang Harapan I Sayembara Menulis Novel DKJ 2003. Pada lomba yang sama di tahun yang sama, novel Dadaisme oleh Dewi Sartika, meraih Juara I. Dewi Sartika bernenek-moyang di Minangkabau. Novel Persiden Wisran Hadi, dan Memoar Alang-alang oleh Hendry Teja masuk ke dalam empat pemenang unggulan Sayembara Novel DKJ 2010. Novel Simpul Waktu oleh Zulfiza Ariska menjadi salah satu dari empat pemenang unggulan Sayembara Novel DKJ 2012.

Tiga
ADA catatan, dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir sudah terbit lebih daripada 50 buku sastra, ditulis pengarang-pengarang yang berasal dari Sumatera Barat. Paling anyar adalah novel Gadis Berbudi oleh Irzen Hawer. Dan September 2013 terbit Karnoe Sejarah Tak Tertulis di Balik Nama Besar oleh Jombang Santani Khairen. Sebelum itu beredar novel Sang Abdi Praja oleh Jose Rizal, lima novel Zaili Asril (Revolusi Kaum Guci, Jalan Terjal dan Berliku, Mimpi-mimpi Miyan, Prahara di Surau Kaki Bukit, Penelokan), Persiden oleh Wisran Hadi, kumpulan cerpen Hati Tukang Sapu dalam Jurang oleh Raflis Caniago, novel Tadarus Cinta Buya Pujangga oleh Akmal Nasery Basral, Lonceng Cinta di Sekolah Guru oleh Khairul Jasmi, Negeri 5 Menara Ranah 3 Warna, Rantau 1 Muara (trilogi) oleh A. Fuadi, Tania oleh Asye Saidra, Mengurai Rindu oleh Nang Syamsuddin, dan Camar oleh Musthafa Ibrahim. Ada kumpulan puisi Rusli Marzuki Saria, Mangkutak di Negeri Prosa Liris, dan kumpulan puisi Leon Agusta, Gendang Pengembara. Sebelum itu ada novel Tanah Ombak Abrar Yusra. Saya tak menyebut semua judul dan nama pengarang.

Penerbit buku-buku sastra itu tersebar di pelbagai kota di Indonesia, dari Kota Padang ke Yogyakarta, ke Bandung, ke Solo, ke Makassar, dan ke Jakarta. Penerbit itu ada yang dinilai penerbit bergengsi, papan atas. Penerbitan buku-buku itu ada yang melalui kontrak tertulis, dan pengarang menerima royalti. Makin banyak tiras penerbitan, makin sering cetak-ulang, makin banyaklah pengarang menerima honorarium. Tetapi ada juga yang dibiayai dengan uang dari kantong sendiri, atau melalui sponsor. Dalam hal ini pemerintah daerah sering dijadikan anjungan tunai mandiri untuk mendapatkan ongkos per(n)cetakan.

Empat
PEMBERITAHUAN, bahwa buku sastra ini atau sastra itu sudah terbit, bermacam-macam. Ada yang melalui iklan atau resensi, melalui diskusi dengan mengundang satu-dua pembicara yang dianggap pakar (kritik) sastra, masuk sekolah dan kampus sambil berdakwah sastra. Ada yang langsung menyerahkan buku secara perai ke para sahabat, kepada para pejabat (tak diketahui, apa pejabat itu sempat membaca karya sastra). Ada yang menulis pesan singkat di telepon genggam, ada yang melalui media sosial, melalui spanduk, melalui wawancara langsung dengan pengarang di televisi atau radio, dan promosi besar-besaran yang, terutama, dilakukan penerbit. Ada penerbit yang piawai melihat peluang pasar, sehingga buku-buku yang diterbitkan terjual, laku keras bahkan.

Selain diberikan (gratis) dan/atau dijual langsung, pemasaran buku-buku itu dilakukan di toko-toko buku, pada bazar-bazar buku, melalui internet. Tidak diketahui apakah ada pemasaran dilakukan dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu, tetapi ada yang dipasarkan dari sekolah ke sekolah, dari kantor ke kantor.

Lima
ADAKAH buku-buku sastra itu dibaca?
Ya, inilah pertanyaan paling menggoda dan menggelitik. Buku-buku sastra menakjubkan dan memesona, yang memberikan kebaruan, yang menyampaikan makna kehidupan secara menukik-mendalam, tentu saja dibaca, bahkan dibaca lagi, berulang-ulang. Buku-buku itu jadi materi diskusi, bahan seminar. Buku-buku itu jadi kajian akademik, untuk kepentingan makalah, tesis dan disertasi. Buku-buku itu menjadi bacaan wajib di sekolah. Penggalan buku dibaca dalam perlombaan membaca puisi, membaca cerpen, membaca novel, dalam parade teater. Nama pengarang dan judul karangan sering ditanyakan dalam lembar pertanyaan Bahasa Indonesia.

Tetapi bagaimana dengan buku-buku yang asal terbit? Judul saja kadang-kadang sudah membuat perut maloyo, mual. Kemudian, baris pertama, alinea pertama, halaman pertama, bab atau bagian pertama segera menyuguhkan salah kaprah berbahasa yang tidak tertolong, kecuali disunting ulang, sebelum dicetak ulang. Ada penyunting, tetapi, maaf, nyaris tak berbuat apa-apa. Dengan demikian, bila tidak atau belum dilakukan pengarang, maka harus ada penyuntingan bahasa, penyuntingan budaya, dan penyuntingan ide oleh penyunting khusus. Penerbit-penerbit papan atas punya penyunting andal. Tetapi naskah sastra yang dibuat oleh sastrawan sekualitas, untuk menyebut satu nama, Gus tf Sakai, memang tidak lagi memerlukan penyuntingan. Semua titik-koma, tanda-tanda baca bahkan digunakan dan diperhitungkan Gus tf Sakai secara matang dan sempurna.

Saya berpengalaman ketika novel pertama saya, Gumam, direkomendasi menjadi satu di antara delapan naskah yang layak diterbitkan oleh Dewan Juri Sayembara Penulisan Roman DKJ 1976. Gumam kemudian saya sunting biarpun tidak sempurna. Dan setelah Bako menjadi satu di antara tiga pemenang utama Sayembara Penulisan Roman DKJ 1980 (dengan anggota Dewan Juri Ali Audah, Sapardi Djoko Damono, Dami N. Toda, Toeti Heraty Noerhadi), Ajip Rosidi minta izin agar naskah itu diterbitkan oleh Pustaka Jaya tetapi dengan syarat judul diubah. Diksi “bako” dianggap tidak bisa dimengerti oleh pembaca dari etnik lain, selain Minangkabau. Saya tidak mau. Ini menjadi sangat prinsipal bagi saya. Padahal, pada masa itu, saya belum punya buku yang terbit, kecuali kumpulan puisi tipis Kenapa Hari Panas Sekali? (diterbitkan oleh INS Kayutanam, diselenggarakan A.A. Navis). Bersama buku itu diterbitkan pula kumpulan puisi Abrar Yusra, Upita Agustine, dan Navis sendiri.

Bako diterbitkan Balai Pustaka(1983), sampai saat ini tujuh kali cetak ulang. (Terakhir, 2012, Bako dipilih dan termasuk satu di antara sepuluh novel Pemenang Sayembara Menulis Novel DKJ yang didigitalisasi). Dengan pembaca dan penyunting Subagio Sastrowardojo, Abdul Hadi W.M. dan Hamid Jabbar, Bako terbit dengan banyak salah cetak. Tetapi hasil penyuntingan mereka (penyair-penyair hebat itu) sangat membantu saya untuk berkiprah lebih lanjut. Sejak itu saya benar-benar mengupayakan agar naskah-naskah saya tidak perlu disunting lagi oleh orang lain. Dan itu terjadi untuk novel-novel saya Dendang (1988) dan Aku Keluargaku Tetanggaku (1993) yang juga diterbitkan Balai Pustaka. Satu titik pun tak diubah! Begitu pula novel Andika Cahaya (2012) yang diterbitkan oleh Akar Indonesia.

Kerja menyunting menjadi menarik. Dan ketika naskah novel Tamu di sana-sini saya beri tinta merah dan saya sunting, Wisran Hadi tidak keberatan. Begitu pula novel Persiden Wisran Hadi yang terbit tahun ini. Biar sudah menang di sayembara DKJ, saya dibiarkan mengorat-oret Persiden. Dan saya juga menyunting buku gempa bumi dahsyat yang diterbitkan Singgalang, segerobak-tolak esai Wisran Hadi (lebih dari 500 halaman A4, belum terbit), satu naskah kritik sastra Islamik oleh Bagindo Letter, dan terakhir 769 halaman (A4, 14 titik) naskah jurnalistik Zaili Asril. Pada hari-hari ini saya menjadi salah seorang yang memvalidasi terjemahan Kitab Suci Alquran ke dalam bahasa Minangkabau. Proyek ini baru akan berakhir tahun 2014.

Enam
Demikianlah, Karnoe yang baru saya baca dan saya anggap menakjubkan pun tidak luput dari salah kaprah berbahasa. Kealpaan penyunting? Setidaknya ada 2 (dua) perbaikan. Kalimat “Tapi omong-omong di FE UI dulu memiliki …..” (halaman 7) mestinya tanpa di. Demikian pula “Lamunanku sudah di-lock,” (halaman 20), mestinya di-locked. Kata sifat atau kalimat pasif untuk kata kerja beraturan dalam bahasa Inggris, antara lain, harus pakai ed. Ini sudah saya sampaikan kepada Jombang, agar pada penerbitan ulang, dikoreksi, diperbaiki. Jombang senang dan menerima.

Karnoe menyuguhkan pelbagai kebaruan (Ada yang baru, nggak?” seloroh Goenawan Mohamad terhadap sastra Indonesia puluhan tahun lalu), baik tema terutama teknik bercerita dan cara menggunakan bahasa. Ini novel terbaru khazanah sastra Indonesia modern (2013). Setelah Salah Asuhan, Atheis, Jalan tak Ada Ujung, Merahnya Merah, Bumi Manusia, Olenka, Saman, Persiden, sekarang ada Karnoe. Novel ini berdendang secara musikal, merdu dan memukau, tentang Universitas Indonesia, tentang manusia Indonesia, tentang orang kecil yang sesungguhnya alangkah besar. Dan tokoh Karnoe dikonkretkan oleh Jombang dengan ungkapan dan metafora baru yang mengagumkan. Ada idiom-idiom Jawa, Minangkabau dan dialog gaul antarmahasiswa, anak muda, yang terasa akrab, dekat, dan komunikatif. Sebagai karya besar dan penting, persis seperti Lelaki Tua dan Laut Ernest Hemingway, Karnoe (akan) dibaca ulang, berulang kali. Tiap kali dibaca, ditemukan, itu tadi: kebaruan.

Tujuh
PULUHAN buku sastrawan daerah ini nyaris tidak tersentuh kritik. Tidak atau belum ada kritik yang memadai menyentuh puisi-puisi, cerpen-cerpen dan novel-novel itu. Padahal, tidak dapat tidak, sentuhan mereka dinantikan, diperlukan, bahkan juga dijadikan tolok ukur. Dari tangan para kritikus itulah ditahbiskan karya sastra murni dan bermutu, karya sastra serius, besar dan penting, karya sastra popular, karya sastra pop, karya sastra picisan (bernilai rendah). Dari tangan HB Jassin ditemukan sosok Chairil Anwar. Dari analsis Umar Junus ditemukan Iwan Simatupang. Kritikus-kritikus sastra di daerah ini, saya ingin mengatakan, sedang istirahat. Sewafat Mursal Esten, lantas Hasanuddin W.S., Ivan Adilla, Adriyetti Amir, Dasril Ahmad, Nelson Alwi, Syarifuddin Arifin, tidak atau belum berbicara lagi. Beberapa tesis dan disertasi sebagaimana terakhir dari Syafril (Prel) tentang lakon Wisran Hadi tentu berbunyi. Tetapi itu untuk keperluan akademik, untuk meraih gelar doktor.

Lengang kritik sastra ini sesungguhnya terjadi di Indonesia. Sepeninggal HB Jassin, M.S. Hutagalung, Mh. Rustandi Kartakusuma, Dodong Djiwapradja, M. Saleh Saad, Boen S. Oemarjati, Dami N. Toda, Umar Junus, belum terbaca kritik sastra yang memadai. Ada Ignas Kleden, Faruk, Ahmad Sahal, Jakob Sumardjo, Maman S. Mahayana, Radhar Panca Dahana, Jamal T. Suryanata, Melanie Budianta, Manneke Budinan. Sesekali Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., Harris Effendi Thahar, Abrar Yusra, menulis kritik sastra. Tetapi semua belum cukup. Betapa lagi sekarang ada novel-novel dan karya-karya sastra penting seperti Lampuki oleh Arafat Nur, Pulang oleh Leila S. Chudori, Amba oleh Laksmi Pamuntjak, Maryam oleh Okky Madasari, Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya Dewi Kharisma Michellia, Semusim (dan Semusim Lagi) oleh Andina Dian Dwi Fatma. Ketika terbit, judul diubah jadi Semusim, dan Semusim Lagi (tanpa tanda kurung).

Kelengangan itu sejajar dengan keterbatasan ruang diskusi sastra, baik lisan apalagi tertulis. Kampus-kampus Ilmu Budaya lebih berkutat di bidang bahasa Indonesia. Kelompok studi sastra berlangsung secara tidak terjadwal sehingga penulis pemula jalan sendiri, persis seperti Chairil Anwar yang garang membaca dan rajin menganalisis, juga jalan sendiri. Atau, kerja menulis karya sastra memang bersifat personal, individual?

Pengalaman menunjukkan, beberapa penulis yang biar sudah dianggap jadi, memerlukan pemahaman lebih komprehensif untuk menulis secara kreatif. Menjadi pendamping (bersama Taufiq Ismail dan Gus tf Sakai) selama penyelenggaraan bengkel penulisan novel di Rumah Puisi Taufiq Ismail menjelaskan, bahwa menulis secara kreatif itu tidak mudah. Andai tidak didiskusikan, antara lain, soal kebahasaan nyaris terabaikan. Tenggang waktu enam bulan untuk “menyelesaikan” sebuah novel ternyata belum cukup. Begitu pula pengalaman menjadi “guru” (bersama Wisran Hadi, almarhum) menulis esai untuk belasan mahasiswa, dan menulis cerpen untuk para pelajar se-Sumatera Barat dalam program Bengkel Sastra: Pelatihan Menulis Cerpen yang ditaja oleh Badan Bahasa Provinsi Sumatera Barat, atau menjadi peserta Validasi Draft Instrumen Standar Penetapan Karya Sastra Unggulan Pendidikan Dasar dan Menengah. Memang, banyak masalah kreativitas menulis karya sastra yang harus dibenahi.

Delapan
DAN sudah terpaparkah soal mutu karya sastra? Sudah atau belum terjelaskan, saya ingat jawaban terhadap wartawan Masri Mardjan yang menanyakan apa harapan pada perkembangan sastra Indonesia. Saya mengatakan, mungkinkah Hadiah Nobel Sastra jatuh ke Indonesia dengan pemenang berasal dari Sumatera Barat? Wawancara itu pernah dimuat majalah Selecta pada awal tahun 1970-an. Dan saya terlambung dan bangga ketika Navis dengan cerpen Jodoh meraih hadiah pertama Sayembara Menulis Cerpen Radio Negeri Belanda. Hal ini saya kembali rasakan ketika hari ini empat atau lima sastrawan asal Sumbar diberi penghargaan. Wisran Hadi dan Gus tf Sakai berkali-kali meraih penghargaan bergengsi. Tetapi Hadiah Nobel Sastra?

http://padang-kota-tercinta.blogspot.co.id/2013/10/harian-singgalang-mutu-karya-sastra.html

Leave a Reply

Bahasa »