Dunia Tanpa Jendela

Akhmad Fatoni
konsultanmenulis.blogspot.co.id

Bayangkan bagaimana hidup tanpa buku? Ketika saya membayangkan tiba-tiba bayangan itu teramat menyeramkan. Iya, amat menyeramkan. Bagaimana tidak, bayangan tentang tak ada sejarah, tak ada sekolah, tak ada perpustakaan, tak ada puisi, tak ada cerpen, tak ada novel, tak ada kamus, dan tentu tak ada toko buku, juga pastinya tidak ada kupu-kupu lucu (promosi tidak apalah sedikit, kupu-kupu lucu atawa KKL adalah toko buku dan penerbit indie yang saya kelolah, hehehe). Ya, tentu semua itu tidak ada bukan. Dan kata-kata yang mendengung di telinga saya karena dulu sering digemborkan Tantowi Yahya dalam salah satu acara di stasiun televisi, “buku adalah jendela dunia”. Walaupun tidak dari Tantowi Yahya, kalian juga tahu toh? Baiklah, coba kita sedikit kritis (ya sedikit saja kalau banyak nanti waktu kalian habis dan pacarnya ndak kebagian waktu) dengan berimajinasi bagaimana dunia tanpa jendela. Bisa? Saya yakin kalau membayangkan rumah, toko, kantor, dan gedung-gedung lain tanpa jendela pasti bisa. Dan untuk membayangkan dunia tanpa jendela, pasti sulit bukan? Kalian pasti tidak bisa (bukannya menghina, tapi ini kenyataan. Loh jangan marah dulu, saya juga tidak bisa kok membayangkannya, hehehe).

Bagaimana bisa?

Kalau asal membayangkan sih pasti bisa. Ya membayangkan dengan bayangan absurd. Bayangan yang tidak realis. Ya, pokoknya fiktif deh. Kalian pasti bisa, wong saya tinggal merem saja langsung bisa kok. Eh, tapi jangan membahas yang absurd dulu, jangan yang nonrealis dulu. Loh, kenapa ndak boleh wong di dunia ini saja isinya ada dua itu, realis dan nonrealis. Ya, ya, ya, saya tahu, kalau soal itu saya yakin kalian pasti punya banyak alasan untuk mendebat. Eist, tunggu dulu, coba saya tanya apakah hidup kalian ini nonrealis? Apakah kalau kalian lapar, terus minta makan di warung (tidak beli loh ini karena tidak punya uang) akan diberi? Ya, kemungkinan untuk diberi itu 10 persen (kalau penjaga warungnya itu baik dan memang mengakui kalau kita ini selalu tidak punya uang dan sering utang di situ, tapi kalau catatan utangnya numpuk pasti penjual menggerutu). Bener tidak? Oke, maka dari itulah saya mengajak berimajinasi yang realis dulu. Sudah? Bisa membayangkan? Susah toh? Ya susah. Maka dari itu, hal yang mustahil itu tentu sama dengan betapa pentingnya buku itu dalam kehidupan dunia.

Kehidupan dunia bagaimana maksudnya?

Beginiloh, dunia itu membutuhkan buku. Semua aktivitas di dunia ini membutuhkan buku. Makanya sampai muncul, “buku adalah jendela dunia” itu ya tentu karena itu. Sudah menjadi kebutuhan. Ya, kadang kita saja yang sok cuek tidak butuh. Iya, tidak butuh. Memang sih, tapi kalau dicermati yang berpendapat seperti itu orang yang malas. Orang yang mengandalkan orang lain. Berpangku tangan. Ya bagaimana tidak, mereka yang tidak mau membaca buku itu menunggu diberitahu orang yang membaca buku. Loh, wong saya tidak diberitahu orang yang baca buku kok? Jika ada yang ngeyel seperti itu, ya memang, wong yang memberitahu itu diberitahu. Menyebar. Mulut ke mulut (sebenarnya dari mulut ke telinga, mulut ke telinga lagi, karena kita orangnya males ribet ya disingkat saja mulut ke mulut).

Lantas apa yang perlu diperbaiki?

Ya, tidak ada yang perlu diperbaiki. Wong tidak ada yang rusak kok. Semua sudah bener. Cuma yang tidak bener ya kawan-kawan Liliput ini. Loh, kok bisa begitu? (Aih, saya takut kalau dua orang penggagas Liliput ini datang mengeroyok saya wong badannya gede-gede begitu. Hehehe…) Ya, dalam imajinasi saya liliput itu makhluk atau sesuatu yang kecil. Imut-imut (Ya seperti saya ini, oh iya saya sekarang jomblo loh, ya kali aja ada yang sedang cari pacar). Eh, kok malah yang di balik Liliput orangnya ginuk-ginuk. Ya, ambyar imajinasi saya. Lah, lantas dijawab kapan hari oleh Mochammad Asrori kepada saya bahwa Liliput itu LINGKAR LITERASI PUTIH. Ya saya sontak jawab, OW. Ya, begitu kayak orang tolol (memang tolol sih, kalau tidak tolol ya sudah punya pacar, tidak hanya bergulat dengan buku saja, tapi saya orangnya asik kok diajak ngobrol). Sejak saat itulah, saya sering sekali melihat dua orang itu (Mochammad Asrori dan Aris Rahman Yusuf) sering bersama. Mereka juga asik seperti saya kok orangnya. Aris itu juga masih jomblo loh (ya siapa tahu ada dua jomblowati yang baca tulisan ini dan kebetulan sahabatan akhirnya hanya saling memandang karena harus rebutan mengalah untuk PDKT pada saya), jadi bisa dibagi. Satu kenalan dengan saya dan satu dengan Aris. Loh kalau Kak Asrori bagaimana kok tidak dikenalkan. Apakah dia jomblo juga? Aih, saya ndak ikut-ikut kalau nanti ada yang melotot memandang kalian, hehehe… So, biar yang tidak bener (sebenarnya sudah tepat, cuma pergerakan kawan-kawan Liliput ini di media online saja. Satu contoh saat ini sedang menggelar Lomba dan pesertanya sudah banyak loh. Buruan ikutan, tinggal gabung di akun FB Liliput), makanya kakak Liliput yang ndak imut-imut itu berencana menurunkan aktivitas yang semula hanya online menjadi offline dengan saya yakni mengobrol tentang buku. Rutin. Ya, semacam kelompok atau club buku begitulah nantinya.

Jadi, kalian sudah faham betapa pentingnya buku? Jika masih menjawab tidak punya waktu dan malas. Ya sudah sana, tapi kalau kalian termasuk orang yang suka mengubah kebiasaan. Di sinilah waktunya, saya dan para pendiri Liliput ini hari Minggu, 3 Mei 2015, mau ngobrol buku. Ya, bincang-bincang buku begitulah. Namanya buku itu penting. Ya seperti pacar, kalau sedang ketemu teman ya kita curhatkan. Lah, kebetulan buku itu saat ini yang mengantikan sosok pacar, ya bukulah yang mau saya obrolkan pada Kak Aris dan Kak Asrori ini. Eh, Kak di mana ngobrolnya? Tahu perpustakaan umum Kabupaten Mojokerto? Ya di situ nanti kita berbincang JENDELA DUNIA. Silakan bergabung dengan kami. Ya, semoga saja ada kopi. ***

http://konsultanmenulis.blogspot.co.id/2015/04/dunia-tanpa-jendela_28.html

Leave a Reply

Bahasa ยป