Fauzi Sukri
100tahunhbjassin.wordpress.com
/1/
Pada sesuatu hari yang biasa namun juga luar biasa, sekitar Agustus 1968, terjadilah sejenis musyawarah di antara para pensiunan-nabi di Sorgaloka. Dari musyawarah itu, akhirnya mereka memutuskan membuat petisi (hanya permohonan dan bukan menuntut) kepada Tuhan agar mereka diberi cuti bergilir sebagai pensiunan-nabi dan turun turba ke bumi kembali yang pada tahun-tahun itu semakin ramai dan gaduh terkhusus di Jakarta—ingat geger 1965 yang belum selesai atau malah baru dimulai dan merembet di berbagai daerah.
Isi petisi para pensiunan-nabi yang diajukan pada Tuhan itu sangat sederhana saja: “Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan djustru siksaan bagi manusia jang biasa berdjuang. Kami bukan malaikat atau burung berpukut. Bibir2 kami sudah pegal2 kedjang memudji kebesaranMu; beratus tahun tanpa henti.” Pengajuan petisi ini—gaya diplomasi politik ini sudah mulai digunakan di Indonesia sejak zaman Hindia Belanda dan salah satu yang terkenal ada Petisi Sutardjo—diwakilkan pada Nabi Muhammad saw.
Tentu saja Tuhan agak geleng-geleng kepala atas petisi para nabi itu. Padahal, seluruh kebahagiaan duniawi dan surgawi bahkan kebahagiaan ilahiah sudah dianugerahkan Tuhan pada mereka. “Muhammad tertunduk, terasa betapa hidup manusia hanja djalinan2 penjadong sedekah dari Tuhan. Alangkah nista pihak jang selalu mengharap belas kasihan. Ia ingat, waktu sowan kesorga dulu dirinja hanja sekeping djiwa telanjang.”
“Apa sebenarnya yang kau cari di bumi? Kemesuman, kemunafikan, kelaparan, tangis dan kebentjian sedang berketjamuk hebat sekali,” kata Tuhan kepada Muhammad. “Hamba ingin mengadakan riset. Achir2 ini begitu sedikit ummat hamba jang masuk sorga,” Muhammad saw. menjawab dengan lirih.
Begitulah, setelah percakapan agak panjang, tentang iblis Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme) akhirnya, Tuhan mengabulkan petisi para pensiunan-nabi itu. Dan Muhammad kebetulan yang pertama ke bumi lagi, tentu saja dijadikan sebagai ketua kelompok Grup Muslimin di sorga. Berangkatlah Muhammad dengan kuda sembrani buroq yang mempunyai kecetapan melampaui cahaya.
Namun, saat mendekati bumi, entah di kilometer berapa, Nabi Muhammad melihat pesawat ulang alik Rusia, sputnik yang sudah siap berangkat diorbitkan. Dan, sayang sekali, ternyata terjadi tabrakan antara buroq dan sputnik. Tiga astronut dari negeri kafir itu meninggal. Beruntung Nabi Muhammad dan Jibril yang mengiringi selamat. Mereka terdampar di awan yang dekat sekali neraka. Muhammad bertanya pada Jibril, “Djibril, neraka lapis keberapa disana gerangan?” Ternyata itu bukanlah neraka, tapi Jakarta, yang penduduknya 90% beragama Islam tapi hendak mengganyang warga Malaysia yang juga beragama Islam.
Dan begitulah seterusnya, akhirnya Muhammad mendarat di Jakarta.
/2/
Itulah serpihan karya Kipandjikusmin yang diterbitkan majalah Sastra edisi Th. VI No.8, Agustus 1968. Selama sekian minggu, kisah yang belum selesai dimuat utuh itu tak ada yang menanggapi. Biasa-biasa saja. Tak ada kritikus sastra yang peduli. Tak ada agamawan yang merasa risau atau mungkin menganggap bahwa membaca majalah sastra tidaklah penting. Namun, sekitar dua minggu kemudian, beberapa orang muslim di Medan menilai bahwa cerpen Kipandjikusmin menghina Nabi Muhammad saw.
Tak hanya itu, mereka mengajukannya ke pengadilan. Kejaksaan Tinggi Sumatera kemudian melarang cerpen Kipandjikusmin. Ratusan eksemplar majalah Sastra disita pengadilan dari kios dan toko-toko buku di Medan. Atas tindakan ini, beberapa sastrawan di Medan dan Jakarta memprotes. Di Medan, Zakaria M. Passe, Sori Siregar, dan Rusli A. Malem membuat stensilan protes. Di Jakarta, pernyataan protes terhadap pengadilan itu ditandatangani para sastrawan dan seniman seperti Taufiq Ismail, Umar Kayam, Trisno Sumardjo, D. Djajakusuma, dan Slamet Sukirmanto. Tanggapan masyarakat Islam malah semakin besar.
Pada 22 Oktober 1968, di Harian Kami, Kipandjikusmin membuat pernyataan penarikan cerpennya dan permohonan maaf: “Sebermula sekali bukan maksud saya untuk menghina agama Islam, tujuan sebenarnya adalah semata-mata hasrat pribadi saya untuk mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi Saw, sorga, dll. Di samping menertawakan kebodohan di masa regime Soekarno. Tapi rupanya saya telah gagal, salah dalam menuangkannya dalam bentuk cerpen; alhasil mendapat tanggapan di kalangan umat Islam sebagai penghinaan terhadap agama Islam.”
Kehebohan ternyata masih terus berlanjut. Kantor majalah Sastra di Kramat Sentiong 43, Jakarta, digeruduk sekitar 50 pemuda. Para pemuda itu mencoret-coret dinding: HB Jassin Kunjuk, HB Jassin tangan kotor Gestapu PKI, Ini Kantor Lekra, Madjalah Sastra Anti Islam. Akhirnya, pada 28 Oktober 1968, penanggung jawab majalah Sastra Darsjaf Rachman dan H.B. Jassin mengeluarkan pernyataan maaf. Ternyata, tak juga selesai tapi terus bertambah panas.
Menteri Agama K.H. Mohd. Dahlan yang menjabat pada masa itu membuat pernyataan bahwa cerpen Langit Makin Mendung menghina Tuhan, agama, para nabi, malaikat, kiai, Pancasila, dan UUD 1945, dan menganggap penulisnya atau penanggung jawabnya patut diajukan ke muka pengadilan. Akhirnya, setelah keributan besar itu, H.B. Jassin diajukan ke pengadilan.
/3/
Selama di pengadilan, H.B. Jassin pernah mau menyebutkan nama asli dan sosok Kipandjikusmin. Dia hanya mengenal penulis cerpen menggemparkan ini melalui surat-menyurat. Berdasarkan penelusuran yang pernah dilakukan Ulrich Kratz, nama asli Kipandjikusmin adalah Soedihartono. Dia lahir dari keluarga Islam. Kusmin adalah nama ayahnya, sedangkan Pandji adalah nama kakeknya. Ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita Protestan saat dalam pengasingan di Malang pada 1945. Sejak umur lima tahun, Soedihartono diasuhkan ibu tirinya dan dibesarkan berdasarkan agama Protestan. Namun, di sekolah Soedihartono jarang naik kelas, nakal, maka dia dipindahkan ke Asrama Katolik Boro di Kulonprogo, Jogjakarta dan di sana dia dibaptis jadi Katolik. Dia sekolah di Jogja dan di Semarang. Ibu tirinya meninggal saat dia masih SMA. Tak lama kemudian, ayahnya menikah lagi di Jakarta dengan menggunakan tata cara Islam. Di sini, dia merasa tersentuh dan memutuskan kembali menjadi muslim.
Tentu saja, H.B. Jassin tidak begitu mengetahui semua idenitas Kipandjikusmin itu selama di pengadilan. Baru pada tahun 1970, di majalah Ekspres yang dipimpin Goenawan Mohamad pernah memuat laporan utama tentang H.B. Jassin dan Kipandjikusmin, termasuk memberikan biodata diri Kipandjikusmin, tapi tanpa foto diri Kipandjikusmin. Jadi, sampai H.B. Jassin meninggal, bahkan sampai sekarang kita masih belum pernah tahu rupa sosok Kipandjikusmin yang dibela H.B. Jassin sebagai bentuk kebebasan ekspresi seorang pengarang.
/4/
Dalam pembelaan di pengadilan, argumentasi pokok HB Jassin adalah bahwa kenyataan artistik tidak bisa disamakan dengan kenyataan objektif. Kita simak cuplikan pledoi HB Jassin, Imajinasi di Depan Pengadilan, yang kemudian dimuat di Horison, edisi Agustus 1970.
“Saudara Tim Hakim yang terhormat. Baik bantahan terdakwa maupun bantahan pengacara dalam pleidoinya, bahwa alam dongeng tidak disatubidangkan atau disamakan dengan alam kenyataan dan bahwa alam dongeng tidak dapat dipertentangkan dengan alam agama dan alam kenyataan, oleh saudara Jaksa tidak ditanggapi sama sekali, padahal soalnya sangat fundamentil. Saudara Jaksa tidak membuktikan bahwa dunia imajinasi identik dengan dunia kenyataan, bayangan mempunyai dimensi yang sama dengan benda, namun demikian dia [Jaksa] memakai ukuran-ukuran yang berlaku dalam dunia kenyataan pada dunia mimpi dan khayali. Saudara Jaksa tidak membuktikan bahwa Tuhan yang diceritakan adalah Tuhan yang sesungguhnya, bukan Tuhan imajiner.”
Dalam beberapa hal, argumentasi H.B. Jassin ini tak terbantahkan, meski akhirnya dia tetap bersalah. Dunia memang bisa dibedakan antara yang imajinatif dan yang objektif. Namun, dalam kasus “Tuhan yang sesungguhnya” dan “Tuhan imajiner”, siapa yang bisa dianggap paling objektif? Kalau kita mengikuti perdebatan teologis yang berlangsung selama sekian abad bahkan milenium, kita tahu bahwa sungguh tidak pernah mudah memutuskan secara mutlak paling benar.
Lebih jauh, kita sekarang semakin sadar bahwa, dalam teks tertulis entah dari buku khayalan paling absurd sampai dari kitab suci apapun, tak mudah membedakan antara yang fiktif dan imajinatif. “Menganggap bahwa dunia sastra adalah suatu dunia yang fiktif, sedangkan dunia ilmu sosial, misalnya, adalah dunia yang menyajikan fakta, barangkali masih mempunyai kegunaan didaktis sebagai penjelasan sementara kepada anak-anak SD dan SMP tentang apa itu kesusastraan, tetapi pastilah tidak banyak membantu tercapainya pengertian yang mendekati kenyataan tentang wujud dunia sastra itu sendiri,” kata sosiolog dan kritikus sastra Ignas Kleden (2004: 405) dalam esai Fakta dan Fiksi tentang Fakta dan Fiksi.
Bahkan, dalam satu disertasi yang hendak diujikan di kampus al-Azhar, Muhammad A. Khalafullah mengkritik pendekatan historis terhadap tafsir yang selama ini dilakukan para penafsir Alquran. Banyak kasus penceritaan ulang yang berulang-ulang tapi dengan teknik pengisahan yang mirip-mirip atau sedikit berlainan, dan ini membingungkan untuk sampai pada satu kesimpulan yang handal dan meyakinkan jika harus didekati secara historis atau teologis.
Menurut penelitian Khalafullah, dalam banyak kasus yang dikisahkan Alquran, titik tekannya bukanlah pada fakta historis, tapi lebih diarahkan untuk mengemukakan sisi sastrawi agar jauh lebih meyakinan hati dan jiwa para pendengarnya. Teknik sastrawi ini disebut “qishshah”, sejenis teknik narasi dalam novel modern atau ‘mitos’ dalam pemikiran strukturalisme. Di sini, gaya sastrawi dan pendekatan linguistik yang dipakai Alquran sangat jauh lebih terlihat. Pada tataran apa pun, teknik penceritaan Alquran lebih dekat pada kebebasan seorang juru kisah, bukan pada ketepatan fakta historis. Tak pelak lagi, disertasi Khalafullah ditentang dan dibatalkan untuk diuji. Namun, disertasi itu tetap diterbitkan pada tahun 1940 dan terus dicetak ulang meski mendapatkan reaksi yang keras dari kalangan tradisionalis dan revivalis, dan bahkan sekarang menjadi kitab klasik yang wajib dibaca para sarjana tafsir Alquran. Disertasi itu kemudian diterbitkan Paramadina di Indonesia pada 2002 dengan judul Al-Qur’an Bukan “Kitab Sejarah”. Namun, tidak seperti di Mesir, hampir tidak ada reaksi apa pun yang terjadi.
Seandainya karya Khalafullah diterbitkan atau dibaca para agamawan sebelum tahun 1968, kemungkinan besar kitab itu bisa sedikit menerangkan makna penafsiran sastra bagi sebagian masyarakat yang tak mau memahami aspek sastrawi dalam kitab suci. Selama ini, kitab suci umat Islam jauh lebih sering dipahami sebagai kitab hukum yang kering dan keras, bukan kitab sastrawi yang menyejukkan dan mengguggah hati. Inilah salah satu aspek terbesar dari kitab suci umat Islam yang sungguh sayang sekali sangat terlantar mengenaskan di hadapan umatnya sendiri.
Polemik dan pengadilan terhadap H.B. Jassin adalah peristiwa yang terjadi dalam masyarakat yang tak mempunyai rasa sastrawi. []
*) Fauzi Sukri, Koordinator 100 Tahun H.B. Jassin
https://100tahunhbjassin.wordpress.com/2017/07/19/imajinasi-agama-dan-masyarakat-sastrawi/