Literasi dan Pohon Jati

Yona Primadesi *
Riau Pos, 23 Apr 2017

Diskusi singkat saya dengan salah seorang pengagas dan penggiat komunitas Tanah Ombak, Yusrizal KW, menyisakan banyak pekerjaan rumah perihal kegiatan literasi, khususnya pada anak. Terlebih sebuah pernyataan menarik dari tokoh, yang telah berhasil membawa Tanah Ombak tidak hanya menjadi juara pertama Gramedia Reading Community Competition 2016 regional Sumatera, tetapi juga pioner gerakan literasi di Sumatera Barat ini; “Kami tidak sedang menanam bayam, tetapi menanam pohon jati.” Literasi bukan perkara mudah, demikian kira-kira yang ingin disampaikan oleh Yusrizal KW. Perlu partisipasi aktif semua pihak dan bersifat kontiniuitas.

Hasil dari banyak penelitian dan survei bertajuk literasi sering memosisikan Indonesia pada peringkat bawah, bahkan tidak mencapai standar literasi internasional yang berada pada angka 500, sebut saja penelitian yang dilakukan PISA, PIRLS, ERGA, maupun Unesco. Meski indikator penelitian, diakui seringkali tidak memiliki korelasi dengan hakikat literasi. Lebih-lebih, juga tidak dilakukan dengan standar dan indikator yang memerhatikan aspek-aspek yang bersifat lokalitas.

Misal, bagaimana seharusnya emerging literacy pada wilayah-wilayah di timur Indonesia yang jangankan bacaan, infrastruktur pun belum memadai, atau aspek budaya tutur sebagian besar masyarakat Indonesia yang sangat kental, anehnya banyak yang suka, sekali pun membaca hasil penelitian semacam itu menyakitkan. Layaknya cerita dalam film Korea, meski berakhir menyedihkan, tetapi tidak sedikit menyedot perhatian penonton hingga tergila-gila. Lantas, literasi seperti apa yang sebaiknya diterapkan di Indonesia yang masyarakatnya sangat heterogen ini?

Literasi bukan hanya perkara baca-tulis-hitung, itu hal pertama yang harus diluruskan pada persepsi banyak penggiat literasi maupun masyarakat. Meskipun basic literation menurut deklarasi Praha memang menyangkut kemampuan mengenal dan membaca sumber pengetahuan. Akan tetapi praktiknya, literasi tidak bisa dipilah-pilah bertingkat secara gamblang seperti demikian. Literasi menyangkut banyak aspek, dan salah satunya baca-tulis, yang kemudian mesti dikembangkan menjadi baca-kaji-hitung-nalar-kritis-tulis-dan komunikatif.

Di lain hal, kita tidak bisa semena-mena menarik perbandingan tingkat baca-tulis masyarakat Indonesia dengan bangsa-bangsa di Eropa. Terdapat jurang sejarah berjarak ratusan tahun antara tradisi membaca masyarakat di negara maju dengan di Indonesia. Bayangkan saja, ketika bangsa-bangsa Eropa mulai gencar menanamkan tradisi baca lewat peran gerejawan hingga masa Renaisance, nenek moyang kita masih terlena dengan kejayaan kerajaan Majapahit dan bisa dikatakan belum mengenal, jangankan tradisi membaca, bahkan buku. Tetapi kemudian, tidak juga bisa dijadikan sebuah pembenaran.

Literasi mengenal istilah emerging literacy, yang bisa diartikan secara bebas sebagai literasi dini. Kesalahkaprahan banyak ditemukan dalam menafsir istilah tersebut, khususnya di Indonesia. Emerging literacy merupakan tahap awal dalam gerakan literasi yang menyangkut pengetahuan anak tidak hanya mengenai baca-tulis teks, melainkan cakupan yang lebih luas. Akan tetapi kemudian, emerging literacy ditarik pada kegiatan mengenalkan anak pada baca-tulis-hitung. Akibatnya, les membaca dan berhitung menjamur, taman kanak-kanak mulai mengajarkan baca-tulis-hitung, bahkan untuk masuk sekolah dasar pun anak-anak harus memiliki kemampuan tersebut sebagai syarat mutlak. Hal yang sesungguhnya jauh dari konsep emerging literacy itu sendiri.

Membangun budaya literasi, tidak serta-merta mensuplai anak-anak dengan bahan bacaan. Jika boleh dikatakan, hal tersebut pondasi yang sangat rapuh dalam membangun budaya literasi. Bagaimana tidak, itu sama saja seperti memberikan obat pada anak dan meminta mereka untuk mengonsumsinya tanpa memberi arahan terlebih dahulu jenis sakit mereka, penyebabnya, jenis obat yang anda beri, aturan pakai, kontradiksinya, lingkungan yang membantu proses penyembuhan, serta lain sebagainya. Alih-alih, Anak malah bisa keracunan. Begitu pula dengan buku dan membaca. Bukan tanpa alasan Plato repot-repot menulis buku berjudul Phaedrus dan membakar banyak koleksi perpustakaan.

Jika ditelusur, Indonesia sesungguhnya kaya dengan teknik emerging literacy berbasis kearifan lokal. Sayangnya, hal tersebut tidak mendapat perhatian dan diabaikan. Kita sibuk mengadopsi teknik literasi import. Masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat, misalnya. Meraka mengenal tradisi yang bernama manjujai. Manjujai merupakan bentuk komunikasi yang terjadi antara ibu dan anak secara intens. Ibu akan mendendangkan anak-anak mereka banyak hal tentang alam, filosofi hidup, pun termasuk di dalamnya dongeng, legenda, sejarah, hingga anekdot. Dilanjutkan dengan proses belajar informal yang diterima anak laki-laki yang sudah memasuki tahap baliq, melalui surau.

Hal serupa terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan nama dan cara yang berbeda. Semestinya, para penggiat literasi hingga tataran pembuat kebijakan bisa mengadopsi teknik-teknik yang berbau lokalitas dan mengutamakan peran keluarga dalam kegiatan literasi, bukan sebaliknya. Menyerahkannya pada institusi pendidikan apalagi komunitas atau rumah baca.
_______________
*) Yona Primadesi lahir di Padang, Sumatera Barat. Alumnus Universitas Indonesia. Selain menulis puisi, cerpen, dan esei, juga bergiat dalam kegiatan literasi anak, serta mengajar di jurusan Ilmu Perpustakaan pada salah satu perguruan tinggi negeri.
http://www.riaupos.co/3264-spesial-literasi-dan-pohon-jati.html#.WllrM_mWbIU

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *