Dhoni Zustiyantoro *
Suara Merdeka, 31/12/2017
JIKA diibaratkan, mencari kritik sastra kita hari ini sama halnya dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Kritik sastra, baik secara kuantitas maupun kualitas, dipastikan menurun karena produktivitas para kritikus berkurang. Dalam sejarah sastra Indonesia, nyaris hanya HB Jassin yang tertabalkan sebagai penggawa kritik sastra. Kini, alih-alih mencari kritik sastra di media massa, kita justru acap disodori analisis mengenai sebab-sebab ketiadaan dan bukan kehadiran kritik sastra itu sendiri.
Ihwal kondisi kritik sastra disinggung oleh Guru Besar Universitas Airlangga, Putera Manuaba, di harian Kompas, Sabtu (23/12) lalu. Alih-alih mendorong supaya kembali bergeliat, ia justru menengarai keringnya kritik sastra baik dari sisi kuantitas maupun kualitas salah satunya disebabkan karena ketiadaan wadah organisasi. Menurut dia, asosiasi atau wadah organisasi sangat dibutuhkan sebagai wahana memperbincangkan, mengembangkan, dan meningkatkan kritik sastra.
Tentu wacana mendorong pembentukan wadah tersebut patut kita apresiasi. Kritikus sastra, yakni orang-orang yang mengabdikan diri sebagai pembaca yang tekun, menulis kritik dengan metodologi dan pendekatan sastra, dan menyampaikannya melalui beragam sarana (media massa, jurnal, maupun dalam jaringan/ online), bisa berhimpun untuk mengupayakan kuantitas dan kualitas kritik sastra. Di sisi lain, wacana pembentukan organisasi kritik sastra bakal melengkapi organisasi profesi yang ada. Setidaknya, dalam rumpun sastra dan humaniora, organisasi yang ada hingga saat ini antara lain Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, Asosiasi Tradisi Lisan, dan Ikatan Dosen Budaya Daerah Indonesia.
Selain itu, ada pula forum ilmiah yang secara rutin diselenggarakan untuk mewadahi pertemuan cerdik-cendekia dalam rumpun ilmu yang sama, seperti Pekan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia dan Konferensi Bahasa dan Sastra. Dengan demikian, sebenarnya secara tidak langsung orang-orang yang bergiat dalam bidang kritik sastra—sekalipun tidak secara langsung menyebut “kritik sastra” dalam nama organisasi dan forum tersebut—telah terwadahi. Demikian halnya dengan topik dan hasil kajian terkait dengan kritik sastra itu sendiri, bisa dengan mudah menjadi bagian dalam pembahasan pertemuan dan forum ilmiah itu.
Mana Lebih Penting?
Kemudian, jika kita sedikit merefleksikan, ada sejumlah pertanyaan yang mesti segera terjawab: sejauh mana urgensi pembentukan organisasi kritik sastra? Apakah sekadar menambah jumlah organisasi profesi yang telah ada, yang bisa jadi hanya akan “dihuni” oleh orang-orang yang lebih-kurang sama, ataukah justru kritik sastra itu sendiri yang sedang sangat dibutuhkan? Pertanyaan mendasar ini, sekali lagi, terus-menerus menjadi wacana yang hanya bisa dijawab dengan kehadiran kritik sastra secara berkesinambungan. Realitas faktualnya, “kritik sastra yang menginspirasi”—sesuai judul esai Putera Manuaba—masih saja dinanti.
Akan tetapi persoalan ini bukanlah hal baru. Secara teoretis, di perguruan tinggi, kritik sastra menjadi bagian tak terpisahkan dari pembelajaran ilmu sastra yang meliputi teori, sejarah, dan kritik sastra (lihat Luxemburg: 1986, Teeuw: 1984, dan Wellek: 1993). Dalam esainya, Putera Manuaba menyebut bahwa seorang kritikus sastra idealnya adalah orang yang melampaui wawasan pengarang karya yang tengah dikritik. Ia juga menyebut seorang kritikus sastra juga mesti menjadi orang yang berwawasan luas, kritis, analitis, imajinatif, intuitif, dan kreatif. Sedangkan di perguruan tinggi, mahasiswa yang menempuh kuliah pada program studi sastra secara intensif mempelajari teori dan juga dilatih untuk mempraktikkannya pada karya-karya sastra.
Namun, harapan untuk menjadikan perguruan tinggi sebagai lahan mencetak kritikus sastra ibarat jauh kendang dari penari. Prodi sastra yang memiliki misi salah satunya mencetak sarjana yang mumpuni dalam bidang ini, nyatanya tak mampu berbuat banyak. Alih-alih mendidik mahasiswa agar kelak produktif, berbagai hal terkait sastra pada akhirnya sebatas menempuh matakuliah. Kita lantas mafhum jika kebanyakan kritikus, demikian halnya dengan sastrawan, justru tak lahir dari rahim program studi sastra.
Kita juga membaca polemik wacana antara Budi Darma dan Katrin Bandel mengenai kritik sastra. Katrin menyanggah pendapat Budi Darma yang menganggap bahwa “Semua pendapat mengenai sastra pada hakikatnya adalah kritik sastra”. Dengan demikian, menurut Budi Darma, tulisan atau komentar apapun tentang karya sastra adalah kritik sastra meski disampaikan oleh mereka yang dianggap kritikus sastra: komentar di jejaring sosial, cacian, meme, atau clemongan di warung kopi. Sebaliknya, menurut Katrin Bandel, sebuah kritik sastra mesti mengandung elaborasi yang menjelaskan mengapa kritikus sampai pada penilaian tertentu. Dalam pendapat Katrin, berbagai hal yang mungkin remeh-temeh seperti contoh tersebut di atas bukanlah “kritik sastra”.
Keluasan konteks dan permasalahan kritik sastra membuat ia tak cukup sekadar diberi wadah. Pembentukan organisasi, di lain pihak, bisa memunculkan pesimisme baru sekalipun kita tak menginginkan hal ini, yaitu ketidakefektifan. Kita tentu tak menginginkan organisasi sekadar memenuhi kewajiban kegiatan atau tempat menghabiskan anggaran. Namun, justru dari orang-orang yang relatif bebas dari kekangan birokratisasi dan tak menyalahkan keadaan, kita berharap kritik sastra terus berdenyut. Adalah hal yang aneh jika berkurangnya kuantitas dan kualitas kritik sastra sekadar dilihat dari ketiadaan wadah bagi kritikus sastra. Bukankah sastra pada prinsipnya adalah membebaskan?
*) Dhoni Zustiyantoro, pengajar pada Prodi Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang; penulis buku Tentang Jawa dan Hal-hal yang Tak Selesai (2017).
https://merengkuhsenja.wordpress.com/2018/01/02/mendamba-organisasi-atau-kritik-sastra/