Yusri Fajar
jiwasusastra.wordpress.com
Suatu hari ada seorang politisi yang dinilai ‘melecehkan’ etnis tertentu. Politisi yang mulai dikenal dengan gaya santun ini, tiba-tiba tampak sedikit emosional ketika berdebat di Televisi. Kesantunan yang oleh beberapa pengamat dinilai sebagai upaya untuk melakukan ‘penetrasi’ ke lingkaran hegemoni politik Jawa dalam partai dimana dia berada, tiba-tiba berubah menjadi ungkapan kemarahan yang bersifat menyerang, mirip ‘preman’. Hibriditas identitas budaya dalam diri seorang politisi dengan latar etnis tertentu pada dasarnya memang tak bisa dielakkan dalam masyarakat multikultural. Setiap orang yang melakukan ‘migrasi’ dalam suatu entitas budaya yang berbeda dengan yang dia anut, biasanya orang tersebut akan melakukan ‘negosiasi’ dan adaptasi. Orang-luar Jawa yang melakukan migrasi ke Jakarta atau di kota-kota besar di Jawa, di mana dominasi orang Jawa masih sangat kuat, melakukan kompromi-kompromi untuk mendapatkan ‘resepsi’ yang memadai. Dengan melakukan kompromi dengan budaya Jawa orang-orang luar Jawa berharap bisa eksis.
Dalam hibriditas identitas, biasanya identitas lama tak akan mudah begitu saja hilang, meskipun identitas budaya baru akan kuat mempengaruhi. Di sinilah kemudian terjadi apa yang disebut oleh Homi Bhaba (2001) sebagai ambiguitas identitas yang membawa seseorang dalam posisi ‘in-between’ alias “di tengah-tengah”. Jangankan seorang politisi dari luar Jawa yang berkiprah di Jawa, Para politisi Jawa sendiri dari wilayah antropologis budaya Jawa Mataraman–kalau di Jawa Timur wilayah Ponorogo, Pacitan, Trenggalek bisa menjadi contoh– misalnya, akan mengalami hibriditas identitas ketika mereka melakukan urbanisasi ke Jakarta, kota hibrid, kota metropolis yang menjadi ‘imaji’ dan ‘mimpi’ orang-orang dari wilayah ‘pinggiran’ (periphery). Banyak orang-orang ‘Jawa’ yang melakukan perpindahan ke kota besar seperti Jakarta kehilangan ‘kejawaannya’. Hibriditas identitas ini juga seringkali menghasilkan ‘kelucuan-kelucuan’ yang kadang menggelikan. Kita bisa melihat misalnya seorang Jawa dengan intonasi Jawanya yang khas berusaha mempraktekkan dialek betawi atau ‘jakarte’ dengan tujuan agar dia terlihat modern dan dipandang sebagai ‘orang jakarte’. Contoh hibriditas yang tak kalah menarik adalah seorang rocker dengan tato dan pakaian ala Rocker yang ‘westernized’ sekali, tetapi karena dia dari jawa mataraman tulen, dia masih selalu merundukkan kepala dan membungkukkan badannya secara ritmis ketika dia bertemu dengan orang sambil bilang misalnya ‘matur nuwun’. Sebuah anggukan ritmis dan ekspresi terima kasih khas Jawa.
Saya justru melihat upaya seorang politisi luar Jawa untuk menjadi ‘njawani’ adalah sebuah sebuah upaya yang konstruktif, terlepas ada kepentingan politik di dalamnya, di saat banyak sekali orang Jawa justru kehilangan identitas jawanya. Ucapan yang bernada keras dan dipandang melecehkan etnis tertentu dipandang sebagai ucapan gaya khas etnis tertentu yang keras dan lalu banyak orang mengkaitkannya dengan latar keetnikan tertentu. Berusaha santun, sang politisi dari luar Jawa itu dipandang lucu oleh sebagian orang Jawa. Kembali ‘bergaya keras’, oleh sebagian orang Jawa, sang politisi dipandang tak bisa berpolitik dengan santun. Ini adalah resiko hibriditas identitas yang kini menjadi fenomena di mana-mana. Lalu apakah sopan-santun itu selalu identik dengan etnis Jawa? Bagaimana prakteknya? Dalam kebudayaan Jawa ajaran sopan santun memang cukup mengakar, sampai bahasa Jawa pun terbagi dalam beberapa stratifikasi mulai krama inggil, krama madya dan ‘ngoko’ misalnya. Dialek krama Inggil dikenal lemah lembut intonasinya. Tetapi bukan berarti etnik-etnik lain tak punya budaya ‘sopan-santun’. Lihatlah misalnya etnik Bali yang orangnya terkesan santun, juga orang-orang Minang misalnya.
Membaca Jawa agaknya kita juga perlu hati-hati karena Jawa terbagi dalam beberapa wilayah kebudayaan, sebagaimana disampaikan oleh Ayu Sutarto. Ada wilayah kebudayaan jawa Arek, pandalungan, Mataraman, Samin dan beberapa lainnya. Wilayah budaya arek terkenal dengan bahasanya yang ‘egaliter’ hingga kadang terdengar kasar. Orang Jawa ‘Mataraman’ akan sedikit kaget ketika awal-awal menetap di Surabaya atau Sidoarjo dan dipanggil oleh temannya yang asli Surabaya,”Hai, yo opo kabarmu, Cuk! Tambah makmur ae Peno!”. Bagi ‘arek suroboyo’, kata ‘jancuk’ bisa bermakna persahabatan dan keakraban. Tetapi di sisi lain bisa mewakili ekspresi benci dan kemarahan. Panggilan yang saya sebutkan tadi tentu lebih pada nuansa keakraban. Tapi pada konteks,”O, pejabat Jancuk tenan, duwite rakyat digawe bancaan!”, lebih mewakili ekspresi kemarahan dan rasa tidak suka. Meski dalam suasana keakraban, ‘jancuk’ bagi orang jawa mataraman terdengar kasar. Kepada teman saya asli Surabaya yang menyapa saya dengan kata ‘jancuk’, teman saya asli Yogya bilang kepada saya,” Sopo sih kuwi. Intonasi karo Bahasane kasar tur ra sopan! (Siapa itu. Intonasi dan bahasanya terdengar kasar dan tidak sopan)”. Dengan demikian kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dalam praktek-praktek budaya jawa banyak sekali varian dan ‘ketegangan’. Parameter yang digunakan untuk menilai apakah seseorang ‘sopan’ atau ‘santun’ juga berbeda karena sangat berkaitan dengan nilai budaya yang eksis di wilayah budaya yang berbeda.
Yang juga perlu dicatat adalah bahwa tidak semua orang Jawa memiliki dan mempraktekkan budaya sopan-santun. Orang jawa yang ‘polah tingkah’ nya seperti ‘preman’ dan ‘brangasan’ juga banyak. Sementara generalisasi bahwa orang batak, atau orang luar jawa, cenderung keras, brangasan, tidak santun juga tidak selamanya benar. Bagi orang Jawa sebagaimana disampaikan oleh Ayu Soetarto (2007), sebenarnya memiliki tugas menantang untuk benar-benar menjadi Jawa dan mencoba membuat orang lain (dari etnik lain) ‘njawani’ karena dalam kebudayaan Jawa memang terkandung nilai-nilai luhur dan agung. Terminologi ‘Njawa’ sendiri lebih lanjut dideskripsikan secara menarik oleh Ayu Suetarto (2007). Pertama, Sutarto memberikan contoh pasangan Bule yang tengah naik kereta menuju Yogyakarta. Karena kipas angin kereta tidak berfungsi lalu sang perempuan bule mengipasi sang lelaki Bule. Lalu seorang ibu jawa berkata, “Ndelengen Landa kok njawa. (Lihat orang Asing kok ‘njawa’)”
Dalam konteks ini ‘Njawa’ dikaitkan dengan tingkah laku seperti baik hati, penuh perhatian dan menolong orang lain. Orang bule yang bertindak ‘baik’ dinilai ‘njawa’. Sementara itu seseorang yang melihat dan mendengar bule tadi berbicara bahasa Asing bilang, “Ora njawa.” ‘Njawa’ dalam konteks ini lebih dimaknai sebagai ‘understanding’ dalam berbahasa. ‘Ora njawa’ berarti tidak dipahami, tidak dimengerti. Lebih dari itu Sutarto memberikan contoh lain yaitu ketika ada seorang anak kecil yang buang air kecil sembarangan. Sebagian orang tua jawa akan bilang,”Aja diseneni, bocah cilik kuwi pancen durung Jawa (jangan dimarahi karena anak kecil itu belum Jawa)”. ‘Jawa’ pada konteks ini lebih dikaitkan dengan etika yang dijadikan ukuran seseorang sudah menjadi Jawa apa belum. Dengan demikian klasifikasi ‘tingkah laku’ dalam perspektif Jawa adalah Jawa (javanese), ‘durung jawa’ (belum Jawa), ‘ora jawa’ (tidak bersifat Jawa), dan ‘dudu Jawa’ (bukan Jawa sama sekali). Seseorang dikatakan menjadi ‘Jawa’ bila tingkah lakunya merefleksikan ‘berbudi bawa leksana’ atau ‘sejatining’ becik, yang berdasarkan pada ‘pituduh’ dan ‘wewaler’ dalam tradisi Jawa.
Jerman, 2009
https://jiwasusastra.wordpress.com/2010/01/01/menjadi-jawa-dalam-hibriditas-budaya/