Judul : Semiotika Visual; Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas
Penulis : Kris Budiman
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : I, September 2011
Tebal : xii +212 halaman
ISBN : 978-602-8252-65-2
Peresensi : Ammar Machmud
senjaputih.wordpress.com
Ada semacam kesalahpahaman kaum akademisi dalam mendefinisikan semiotika selama ini. Semiotika memang ilmu yang mengkaji tanda-tanda, tetapi bukan tanda itu sendiri, tapi lebih tepatnya relasi tanda-tanda. Yang jadi kata kunci studi semiotika disini adalah relasi tanda, bukan tanda itu sendiri.
Jadi, menurut Kris Budiman dalam buku ini, semiotika didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji relasi tanda yang satu dengan tanda-tanda yang lain; relasi tanda-tanda dengan makna-maknanya, atau objek-objek yang dirujuknya (designatum) dan relasi tanda-tanda dengan para penggunanya, interpreter-interpreternya (hal: viii). Definisi semacam itu ia kemukakan secara tegas, mengingat selama ini tak jarang terjadi kesalah-kaprahan pembaca dalam menarik kesimpulan ihwal studi semiotika.
Sebenarnya, buku ini merupakan kompilasi dari tiga karya Kris Budiman terdahulu yang sudah diterbitkan, yakni Kosa Semiotika (1999), Semiotika Visual (2004) dan Ikonisitas: Semiotika Sastra dan Seni Visual (2005). Namun, mengingat masih terdapat pelbagai kesalahan teknis dalam penulisannya serta sistematika yang belum ‘teratur’, maka untuk kepentingan tersebut, buku ini diterbitkan dengan ‘paras’ baru oleh Penerbit Jalasutra.
Buku ini berbeda dari buku-buku semiotika kebanyakan. Jika kebanyakan buku-buku semiotika yang ada hanya sekadar bernaung pada payung teori dan kritik sastra, maka buku ini justru lebih banyak mengaplikasikan pelbagai teori kedalam bentuk konkret sekaligus mengkritisi pelbagai teori tersebut.
Ada sisi baru yang disuguhkan Kris Budiman dalam buku ini, dan tidak disuguhkan para penulis buku semiotika lainnya. Sisi baru yang dimaksud adalah bahwa kajian semiotika bukan sekadar ‘membaca’, menginterpretasikan, dan memahami bahasa, tanda, serta simbol yang cenderung arbitrer atau linear, melainkan semiotika juga mengulas ihwal beberapa urgensitas isu yang menggelinding terkait kajian semotika; seperti homologi diantara bahasa dan gambar/lukisan, persoalan autonom-tidaknya persepsi visual/piktorial, pencirian terhadap tanda-tanda visual, leksia, ikon, ikonisitas, dan lain sebagainya.
Secara umum, buku ini terbagi menjadi dua kajian utama, yakni pembahasan konsep dasar semiotika dengan pelbagai ragam bidangnya serta kajian tentang ikon dan ikonisitas.
Bagian pertama, konsep dasar semiotika. Konsep dasar semiotika disini terfokus pada konsep dasar semiotika Charles Sanders Peirce dan Ferdinand de Saussure. Konsep yang dimaksud oleh Peirce disini adalah struktur triadik; yakni interpretan, representamen, dan objek. Sedangkan, konsep dasar yang dimaksud oleh Saussure disini adalah langue dan parole. Meski keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam memberikan konsep dasar semiotika, tapi keduanya memiliki maksud yang sama, yakni menyatukan kajian semiotika sebagai pisau analisa bahasa.
Pada buku ini, Bung Kris —panggilan akrab Kris Budiman— juga mengelaborasi hakikat semiotika visual. Menurutnya, semiotika visual pada dasarnya merupakan salah satu bidang semiotika yang secara khusus menaruh minat pada penyelidikan terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihatan—visual senses (hal: 9). Jika kita konsisten mengikuti definisi ini, maka semiotika visual sebenarnya tidak lagi terbatas pada pengkajian seni rupa, melainkan juga segala macam tanda visual yang kerap kali atau biasanya dianggap bukan karya seni.
Bagian kedua, kajian tentang ikon dan ikonisitas. Ikon, mengutip Peirce, adalah tanda non arbiter yang memiliki kemiripan (similaritas) dengan objeknya. Sementara gejala tanda dengan karakteristik yang didasari oleh unsur keserupaan (resemblance) dinamakan sebagai ikonisitas. Persoalan utamanya disini adalah sejauhmana ikonisitas bersifat arbitrer atau konvensional?
Pertanyaan ini coba dijawab Umberto Eco, salah satu semiotisi yang mengajukan keberatan konsep ikonisitas. Eco (1979: 191) menyatakan, inti masalah ikonisitas sesungguhnya terletak pada definisi tentang konvensi itu sendiri, yang tidak ko-ekstensif dengan kearbitreran, melainkan dengan kaitan kultural. Lanjutnya, tampaknya kita perlu memahami konvensionalitas sebagai sebuah kategori yang fleksibel, bahwa ikon merupakan sejenis tanda yang terkodekan secara kultural, tanpa perlu mengatakan sekaligus bahwa ia sepenuhnya arbitrer (hal: 71).
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa konvensionalitas atau kerarbitreran ikonisitas memang tergantung pada penilaian yang kita berikan tentang similaritas tanda yang didasarkan pada kode tertentu, bukan dengan menjustifikasinya secara serampangan.
Buku ini merupakan sebuah lompatan sejarah yang luar biasa dalam studi semiotika kontemporer, karena Bung Kris mampu “melampaui” kajian para pengkaji semiotika lainnya dengan menyuguhkan racikan kajian yang “tak biasa”. Ibarat masakan, buku ini tak hanya lezat rasanya, tapi juga sedap dipandang mata, karena racikan bumbunya yang lengkap serta kemasannya yang mempesona. Selamat menyantap!
*) Ammar Machmud, penikmat buku, bergiat di Arwaniyyah Institute, Kudus.
https://senjaputih.wordpress.com/2012/01/21/menyoal-semiotika-visual/