Anindita S Thayf
Harian Fajar, 18/12/2017
Putu Wijaya pernah mengatakan proses mengarang seperti “peristiwa melahirkan bayi, meregang nyawa, menahan sembilu yang menghujam tubuh.” Tentu setiap pengarang mempunyai pengalaman sendiri-sendiri ketika mengarang. Proses mengarang bisa berbeda, namun hilirnya sama, yaitu sebuah tulisan baik dalam berupa cerpen, novel atau puisi. Tulisan inilah yang merupakan sumber penghasilan seorang pengarang.
Namun besar-kecil jumlah penghasilan ini tidak bisa diukur berdasarkan jumlah tulisan yang dilahirkan, tetapi berdasarkan ketenaran. Bila ditilik dari ketenaran namanya, ada dua kelas pengarang. Pertama, pengarang kelas hiu. Kedua, pengarang kelas gurem. Sebagaimana jumlah hiu di laut, jumlah pengarang kelas pertama sangat sedikit bila dibandingkan dengan sisanya, yaitu ikan-ikan kecil alias para pengarang gurem.
Untuk pengarang hiu, ketenaran namanya memudahkan dia menjual tulisan. Setiap tulisannnya, entah novel, cerpen, bahkan puisi jadi-jadian, pasti bakal laku terjual. Selalu ada redaksi media atau penerbit yang mau membeli karya atas namanya, meskipun itu hanya ceceran kalimat dari novelnya atau kata-kata curahan hati.
Sebaliknya, disebabkan faktor ke-gureman-nya, seorang pengarang gurem selalu kesulitan menjual tulisan. Baginya, bisa menjual satu-dua tulisan saja, dari belasan yang telah dia sebarkan ke berbagai media dalam waktu satu bulan, adalah anugerah. Pun, berhasil memikat hati penerbit untuk menerbitkan karyanya yang meski hanya setebal 100-an halaman, tapi ditulis dengan sepenuh jiwa dan penuh pengorbanan.
Layaknya profesi lain, pengarang juga dikenai pajak. Meskipun sama-sama pengarang, cara pengarang hiu dan pengarang gurem menyikapi hal ini tidaklah sama. Di mata pengarang hiu, pajak itu menakutkan. Pajak bisa membuat pengarang hiu tertunda kaya raya. Atas nama pajak, penghasilannya dari menjual sederet novel best seller mesti diserahkan kepada negara sebanyak sekian persen. Kehilangan jutaan rupiah, dari royalti puluhan hingga ratusan juta, tetap saja meninggalkan perasaan tidak rela di hati pengarang hiu. Bagaimana dengan pengarang gurem?
Berkat faktor ke-gurem-annya, penghasilan seorang pengarang gurem sebetulnya tidak termasuk kena pajak karena di bawah 4,5 juta rupiah per bulan, meskipun dia tetap terdaftar sebagai wajib pajak. Anggaplah, dalam satu bulan, seorang pengarang gurem berhasil menjual 1 cerpen, 1 esai, 1 puisi dan 1 resensi. Berapa pemasukannya? Bila cerpen berhonor 300 ribu, sedangkan esai, puisi serta resensi masing-masing 150 ribu, maka penghasilannya dalam satu bulan hanya 750 ribu rupiah. Penghasilan pengarang gurem sebesar itu masih di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) terendah 2018 di seluruh Indonesia, yaitu Rp. 1.454.154.
Pengarang gurem yang menulis buku juga dikenai pajak 15%. Namun, karena royalti penjualan bukunya tidak besar, dampak potongan pajak yang dirasakannya pun kecil. Oleh karena itu, jangan salahkan pengarang gurem bila terlihat tidak terlalu ngotot meributkan soal pajak. Waktu, energi dan suara pengarang gurem sudah terkuras untuk hal lain: memperjuangkan soal tagih-menagih honor yang meski terkesan tidak seberapa, tapi sangat penting untuk keberlangsungan hidup.
Tidak semua media dan penerbit tertib membayar honor. Masalah ini bukan hal baru. Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu mengatakan, “Banyak di antara para penerbit malah menganggapnya [tulisan] sebagai sumbangan cuma-cuma.” Akibat hasil tulisan dianggap sebagai sumbangan cuma-cuma inilah yang membuat seorang pengarang gurem sering menjelma debt collector gigih.
Gagal menagih honor lewat surat elektronik, dia akan berusaha lewat sms. Gagal cara ini, terpaksa harus menelpon. Bila biaya sekali menelpon, dengan waktu bicara dan waktu tunggu yang normal sekitar 25 ribu, apa jadinya bila dilakukan sampai tiga kali karena media yang ditagih terus menunda pembayaran? Pengarang gurem mesti kehilangan 75 ribu, padahal honor yang hendak ditagihnya hanya 150 ribu rupiah. Bagaimana bila tidak berhasil? Cara terakhir, mendatangi kantor redaksi bila jaraknya cukup dekat. Bagaimana bila jauh? Jalan keluar satu-satunya meminta bantuan saudara, teman atau kenalan dengan menggunakan perantara surat kuasa. Namun, bagaimana bila tidak ada siapapun yang bisa menolong? Pengarang gurem diharapkan mengikhlaskan honornya sebagai amal jariyah.
Kemana Harus Mengadu?
Bila seseorang kehilangan keluarga karena aktivitas politik, dia bisa melaporkan hal tersebut kepada Kontras. Bila dirugikan oleh produsen, seorang konsumen boleh langsung mengadu ke YLKI. Bila merasa namanya dicemarkan, seseorang bisa membawa masalah itu ke kantor polisi. Bila seorang pengarang merasa dicekik pajak, dia bisa menemui Menteri Keuangan untuk mengeluh. Namun, apa jadinya bila seorang pengarang gurem merasa dipermainkan oleh media dan penerbit yang telah memuat tulisannya, tapi mangkir membayar honor? Kepada siapa dia harus mengadu—Kontras, YLKI, polisi, Menteri Keuangan?
Selama ini, bila honornya tidak dibayar, seorang pengarang gurem hanya bisa berkeluh kesah kepada sesamanya di media sosial. Kalaupun ada yang nekat mengadu kepada pemerintah, kemungkinan besar suaranya tidak bakal didengar. Sebagaimana suara ikan-ikan kecil yang selalu ditelan gemuruh ombak, begitulah suara pengarang gurem. Selain itu, bila pengaduannya mendapat tanggapan maka mestilah akan ada biaya ini-itu yang bakal menguras isi tabungannya.
Bila pengarang gurem mengancam akan berhenti menulis karena honornya tidak dibayar, yakin saja tidak ada yang akan peduli. Kehilangan satu pengarang gurem tidak berarti apa-apa bagi penerbit atau redaksi media karena toh masih banyak penggantinya. Pun, negara tidak akan rugi sebab setoran pajak pengarang gurem tidak sebesar pengarang hiu. Bahkan, umpamanya, bila seorang pengarang gurem memilih mogok makan sampai mati sebagai bentuk protes, publik hanya akan mengingatnya selama beberapa hari, sebelum kemudian perjuangannya itu mengabadi dalam bentuk prosa yang ditulis teman-temannnnya.
Lika-liku hidup pengarang gurem memang tidak seindah bayangan siapapun. Nyaris semenderita Upik Abu, itulah dia. ***
*) Novelis dan esais. Tinggal di Yogyakarta. Novel terbarunya Ular Tangga (GPU, 2018)
https://www.facebook.com/groups/229651897113749/permalink/1564682373610688/