Puisi Grafis di Badan Truk

Aditya Ardi N *
Radar Mojokerto

Kita tentunya sering menyaksikan tulisan di belakang truk atau gambar-gambar yang lucu, absurd, hot, atau serius berisi petuah. Ada yang keren dengan printing atau yang asal-asalan dengan cat dan kuas biasa. Tak jarang tulisan tersebut membuat kita tersenyum simpul, bahkan terbahak-bahak , hingga diam-diam mulai mengimajinasikan objek tersebut, fantasi kita mulai bergerak dan mulai berusaha menangkap pesannya. Di sinilah saya kira –secara tidak sengaja—proses resepsi seni sedang berlangsung. Dan menariknya proses ini tak bisa berlangsung lama sebab kita sedang berkendara di jalan sehingga objek yang kita amati tidaklah diam.

Seni merupakan salah satu strategi manusia menghadapi kekuatan-kekuatan dahsyat dan berbahaya yang melingkupinya. Seni selalu punya caranya sendiri dalam mengungkap hingga mengironisasikan realitas. Saya rasa tidaklah keliru ketika tulisan dan gambar di badan truk itu saya interpretasi sebagai “Puisi grafis.” Seperti halnya satu bait yang tertera di badan truk berikut: “Rindumu tak seberat Muatanku” dengan gambar perempuan seksi sebagai background. Ungkapan tersebut saya kira sudah memenuhi logika puitika, di mana Puisi atau sajak merupakan gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus.

Puisi telah menjadi sumber inspirasi bagi berbagai kalangan untuk mengalihwahanakan menjadi bentuk seni rupa, pertunjukan dan lainnya. Proses penggarapan visualisasi puisi dapat dilakukan oleh siapa saja. Sebuah puisi jadi acuan untuk membuat rangkaian gambar yang diharapkan sesuai dengan gagasan yang dibuat penyair. Penafsiran dapat dilakukan kata demi kata, bait demi bait, atau secara keseluruhan. Proses breakdown ini bebas sesuai dengan tafsir sang visualiser. Teknik grafis puisi sendiri sudah berkembang sejak era Yunani klasik dengan sebutan technopaigneia, dalam bahasa Latin carmina figurata, dan gesamtkunstwek dalam bahasa Jerman. Kesemuanya, meski tak sepenuhnya sama, mensyaratkan penambahan elemen untuk menyampaikan maksud dari puisi dengan lebih terang.

Ada juga sebait lainnya: “Pulang malu, tak pulang rindu” atau “ Putus Cinta biasa saja, Putus rem matilah kita!” masih berpadu dengan grafis yang berbau erotis. Di bidang seni kita mengenal ars erotica, yang mengambil eros sebagai objek stilasi dan imajinasinya. Lalu mengapa wanita seksi yang kerap dijadikan objek grafis di badan truk? Sebagai dugaan awal, saya kira keseharian sopir-sopir itu memang tak jauh bahkan sangat akrab dengan kehidupan jalanan yang keras, warung kopi, dunia hiburan malam, dst.

Seks, kata Foucault, bisa membuat apa saja tersungkur termasuk kekuatan politik. Seks –dalam arti seluas-luasnya—malah dikatakan dorongan utama hidup manusia, kata Freud. Wacana erotis tidaklah sama dengan wacana pornografis. Setiap masyarakat dan zaman melahirkan wacana erotisnya masing masing. Selain itu ada juga bait berbunyi demikian: “roda macet ora ngliwet” yang artinya bila roda macet, maka tidak bisa mendapat nafkah. Tentu ini memiliki nalar puitik yang berbeda. Ini lebih menyerupai ungkapan orang-orang pinggiran dalam mereaksi kerasnya hidup. Sebuah keniscayaan bahwa jalanan yang keras harus ditakhlukkan demi keberlangsungan hidupnya dan keluarganya. Bait di atas cukup tegas sebagai “kredo” orang-orang yang hidup di jalanan untuk bekerja keras tak kenal lelah dan tidak menyerah.

Ujaran seseorang merepresentasikan dunianya, kata seorang linguis Chomsky. Visualisasi yang sering tampil di badan truk menjadi semacam “Pamflet” yang berkonotasi common sense dan sub-altern (kampungan). sebagai media ekspresi orang jalanan untuk merepresentasikan dirinya, kelas sosialnya, keluhan, umpatan, celoteh, persoalan hingga cita hidupnya kepada dunia di luar mereka melalui tulisan dan gambar yang mewakili semangat jiwa mereka. Melalui desain komunikasi visual semacam ini mungkin mereka berusaha menghibur diri, menertawakan hidupnya yang mungkin getir dan keras. Di luar itu semua sebagai bagian dari masyarakat, mereka ingin diakui eksistensinya, dan seni lagi-lagi menyediakan ruang seluas-luasnya bagi jiwa dan kemanusiaan.

*) Aditya Ardi N, Penyair, bermukim dan berkarya di Jl. Musi 137. Dusun Gresikan, Ngoro-Jombang.
Instagram: @aditya_ardi_n
https://adityaan.wordpress.com/2016/04/09/esai-serambi-budaya/

Leave a Reply

Bahasa »