Herry Mardianto *
Kompas, 10 Mei 2005
Bukanlah hal berlebihan jika hampir sepuluh tahun silam Dorethea Rosa Herliany, penyair wanita kelahiran Magelang, mengemukakan pendapat bahwa untuk melihat sastra Indonesia modern secara strategis dapat dilakukan dengan mengamati perkembangan kesusastraan di Yogyakarta. Alasannya karena pertumbuhan kesastraan di Yogyakarta memiliki dinamika yang tidak kehabisan sisi menariknya–berbagai peristiwa dapat menjadi “intuisi” untuk iklim pertumbuhan kesenian, sastra Yogya tidak mengalami stagnasi; di samping banyaknya penerbitan karya sastra dalam bentuk buku sebagai kontribusi pengembangan peta kesusastraan Indonesia modern.
Lepas dari gagasan Dorethea, kenyataannya persoalan dunia berkesenian di Yogyakarta sangat penting dibicarakan mengingat tidak seorang pun dapat menyangkal strategisnya posisi Yogyakarta dalam perkembangan dan pengembangan kesenian di Indonesia; munculnya sejumlah seniman dengan peran yang tidak dapat diabaikan, baik dari persoalan demokratisasi maupun penawaran konsep estetika berkesenian; dan dominasi kota Yogyakarta sebagai pusat kegiatan bersastra di luar Jakarta.
Asumsi itu dapat dipahami dengan produktifnya kota Yogyakarta melahirkan seniman dalam iklim pergaulan kepengarangan yang kondusif, kompetitif dan kental di kalangan para peminat seni/sastra. Nama besar Kuntowijoyo, Mangunwijaya, Umar Kayam, Rendra, Emha Ainun Nadjib (untuk menyebut beberapa nama) tidak dapat dilepaskan dari komunitas kehidupan kesenian (kesastraan) di Yogyakarta. Selebihnya, hadirnya Umbu Landu Paranggi dan Suwarno Pragolapati, menghidupkan berbagai tradisi kesastraan di Yogyakarta. Kedua tokoh tersebut mampu menghidupkan berbagai tradisi kesusastraan (kepenyairan) Yogyakarta, menciptakan tradisi saling asah serta memberikan banyak warna. Lepas dari nilai tambah itu, Umbu Landu Paranggi (seperti juga penilaian Korrie Layun Rampan dalam buku Suara Pancaran Sastra) bukanlah tokoh yang mengagumkan, karena karya karyanya lebih banyak disimpan dari pada dipubli¬kasikan.
Ia bukanlah Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji, atau Sapardi Djoko Damono yang dianggap “terdepan” dalam penciptaan puisi. Umbu lebih terkedepan sebagai apresiator. Jika kemudian ada gagasan puisi masuk desa, Umbu telah melakukannya dua langkah lebih maju dengan Persada Studi Klub di Yogya atau Sanggar Minum Kopi di Bali. Di sisi lain, hampir keseluruhan tadisi kepenyairan Yogya tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan Ragil Suwarno Pragolapati, seorang penyair kontroversial yang “hilang” secara misterius di Bukit Semar, Parangendog, Parangtritis, Yogyakarta, pada 15 Oktober 1990.
Beberapa pandangan di atas, dalam konteks tertentu, melahirkan friksi-friksi kegelisahan kehidupan berkesenian di Yogyakarta karena referensi mengenai kegiatan kesastraan tidak mudah didapatkan. Pertanyaan mengenai siapa Soenarto Pr., bagaimana ia mengembangkan dan mempertahankan Sanggar Bambu dengan ikrar idealistik di tengah ancaman aksi reprensif dan teror PKI, serta bagaimana isi ikrar Sanggar Bambu, di antaranya berbunyi: “Sanggar Bambu meyakini bahwa Pancasila adalah sumber dan semangat perkembangan kebudayaan buat mengangkat derajat manusia pada martabatnya, di mana manusia memiliki cinta dan keindahan….”, tidak mudah ditemukan jawabannya karena dokumen yang berkaitan dengan persoalan tersebut tidak tersedia dan sulit didapatkan.
Sama halnya jika kita menginginkan antologi Sajak-sajak Manifes (diterbitkan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia cabang Yogyakarta), Pesta Tulisan (diterbitkan Pabrik Tulisan), Lima Penyair Yogya ke Jakarta; Pesta Api Empat Penyair, juga beberapa antologi yang diterbitkan dalam kegiatan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) pasti akan menemukan jalan buntu. Padahal penerbitan beberapa buku tersebut bertolak dari kriteria yang jelas dan tegas sehingga memberi rangsangan kompetitif dan kualitatif dalam penciptaan karya sastra. Belum lagi jika pemahaman sastra diperluas dengan memperhatikan munculnya berbagai kelompok diskusi maupun sanggar-sanggar di kampus sebagai tumpuan perkembangan kegiatan bersastra (setelah sumpeknya Malioboro dan robohnya Senisono).
Referensi mengenai Sigit Sugito dengan Persatuan Teater Bantul, melesatnya Forum Pencinta Sastra Bulaksumur (sebelumnya lebih dikenal dengan Kelompok Pencinta Sastra Bulaksumur), berkibarnya Satmoko Budi Santosa dengan kelompok Pandan Sembilan, hadirnya Studi Klub Yoga Sastra-Pers, keberhasilan Kuswahyo SS Rahardjo menembus negeri Paman Sam lewat cerpen-cerpen dalam majalah New Yorker, bagaimana peran majalah dan surat kabar Arena, Medan Sastra, Budaya, Seriosa, Pelopor Yogya, dsb.
Semua bukanlah sosok yang jelas dan bisa dengan mudah kita temukan di perpustakaan umum yang ada di wilayah Yogyakarta. Saya sempat tersipu saat mendampingi Jakob Sumardjo mencari data mengenai Teater Alam, Teater Arena, Teater Jeprik, Teater Gandrik, Teater Aksara, dan beberapa grup teater lain di Perpustakaan Taman Budaya karena yang tersimpan di sana hanya leaflet pertunjukkan yang tidak menjanjikan apa-apa bagi penulisan sejarah teater di Yogyakarta. Untungnya Azwar AN berbaik hati memberikan informasi yang diperlukan.
Kerumpangan bagi upaya “penulisan” sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta terjadi karena tidak adanya kesadaran lembaga-lembaga kesenian di Yogyakarta mendokumentasikan karya-karya sastra (baik yang termuat dalam berbagai media massa maupun antologi) karya penyair/sastrawan Yogyakarta. Bentuk “unjuk gigi” pengarang Yogyakarta yang pada tahun 1960-an dapat menembus media pusat (Jakarta) tidak diopeni dengan sungguh-sungguh, misalnya cerpen “Nyidam” (Hardjana H.P.) dimuat majalah Tanah Air, “Pengantar Surat” (Motinggo Boesje) dimuat majalah Sastra, “Wasja, Ah, Wasja” (W.S. Rendra) dimuat majalah Kisah, dan “Aku Protes” (B. Soelarto) dimuat majalah Cerpen.
Tidak salah jika kemudian data mengenai Umar Kayam, Linus Suryadi, Mangunwijaya, lebih banyak didapatkan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin Jakarta dari pada di Yogyakarta. Ironis memang, tapi itulah kenya-taannya. Jadi, sudah saatnya pemerintah dan lembaga kesenian tidak lagi sekedar berfungsi sebagai wadah memunculkan kreativitas seniman (penyair dan sastrawan) dalam berkesenian, tetapi mampu memberi informasi lengkap mengenai dinamika kehidupan dan perkembangan dunia kesenian.
Dengan demikian, (meminjam istilah Linus Suryadi) lembaga formal kesenian DIY tidak sekedar menjadi tangan panjang yang gamang. Jika pemerhati masalah sosial budaya sastra merasa prihatin dan gusar dengan tergerusnya Senisono oleh pembangunan kawasan Malioboro, tidak tersedianya gedung kesenian representatif di Yogyakarta; maka para pemerhati sastra pun berhak berteriak-teriak agar lembaga kesenian (termasuk Dewan Kesenian Yogyakarta/Taman Budaya) mempunyai pusat dokumentasi sastra yang mampu memotret perkembangan kehidupan berkesenian/berkesastraan di Yogyakarta.
Pusat dokumentasi sastra Yogyakarta dalam jangka panjang dapat menjadi pangkalan data mengenai perkembangan dan pengembangan sastra Yogyakarta serta dapat diakses oleh siapapun. Di tengah “hiruk pikuk” perbaikan kawasan Malioboro, pembangunan Taman Pintar, perencanaan pendirian beberapa hypermall, pengkajian jalur transportasi monorail, apakah gagasan pendirian pusat dokumentasi sastra Yogyakarta tetap dianggap pemerintah atau pihak terkait sebagai igauan yang terlalu ngayawara….?
*) Peneliti Sastra di Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
https://www.balaibahasa.org/index.php/artikel-esai/130-pusat-dokumentasi-sastra-indonesia-yogyakarta-why-not