Bersastra dari Rumah ke Rumah

J Anto

SEORANG Penyair, cerpenis juga novelis senior Sumut, Damiri Mahmud pernah merasakan kesunyian hati saat tak diajak ngopi. Saat itu ia masih berstatus penyair pemula. Sastrawan senior pada zamannya bisa dibilang angker. Pada 1970-an ia pernah bertandang ke harian Analisa, bertemu sejumlah sastrawan senior. Di tangga gedung, saat mau ngopi, mereka berlalu begitu saja. Tak ada yang menawari ikut. Tapi ia mengaku tak sakit hati.

Pada 1976, saat kumpul bersama Shaf­wan Hadi Umry dan W Yudhi Harsoyo di Lapangan Merdeka, mereka menggagas pentingnya membuat forum ramah tamah dengan para sastrawan senior. Tujuannya selain untuk bersilaturahmi juga untuk belajar menulis dari mereka

Shafwan saat itu usul agar mereka diundang ke rumah memberi ceramah. Damiri setuju, tapi formatnya bukan cera­mah karena terkesan formal. Penulis buku Rumah Sembunyi Chairil Anwar itu usul, bentuknya omong-omong saja, biar memba­ngun kesan santai. Agar gayeng, dilengkapi suguhan peenganan ringan.

Saat asyik ngobrol, datang A Zaini Nasution dan Hardian. Keduanya nyambung dengan gagasan tersebut. Lalu berlima bergerak mencari warung kopi di belakang masjid lama di daerah Kesawan. Di sana mereka bertemu Herman KS dan Abdullah Ismayudin.

Bertujuh, sastrawan muda itu lalu meru­muskan format OMSAS. Disepakati dalam omong-omong sastra, ada sastrawan senior yang berperan mengupas karya sastra. Ada acara baca puisi dan visualisasi puisi, baca cerpen, dsb. Peserta OMSAS terbuka untuk sastrawan, senior, pemula atau peminat sastra.

“Herman waktu itu bilang hasil omong-omong akan dimuat di koran,” tutur Damiri Mahmud. OMSAS untuk kali pertama diadakan di rumah Abdullah Ismayuddin. Undangan untuk OMSAS disiarkan sejum­lah surat kabar Medan.

“OMSAS jadi ruang berlatih penulis junior sebelum tampil di pentas sesungguhnya. Walau ditertawakan nggak apa-apa, ‘kan ini ruang terbatas dan informal,” tuturDamiri. Penulis junior makin bersemangat mencipta saat aktivitas OMSAS diberitakan di surat kabar dan nama mereka disebut-sebut. Sambutan sastrawan Medan juga positif.

Tawaran untuk jadi tuan rumah OMSAS lalu berdatangan. Tak hanya dari Medan, tapi juga luar daerah, seperti dari Batubara dan Indrrapura. Karena sejak awal diniatkan sebagai ruang untuk belajar, maka Damiri tak setuju jika penulis muda dikritik terlalu keras. Penulis muda justru harus diberi motivasi agar kontinu mencipta sampai tua seperti dirinya.

Aset Langka

Mihar Harahap menyebut tak sedikit pengarang dan penyair Sumut eksis ditempa perdebatan selama mengikuti OMSAS. “OMSAS itu aset yang tak ada di tempat lain di Indonesia.”

Program Sastrawan Masuk Sekolah yang dimotori Taufiq Ismail dan sastrawan lain di Jawa, baru berlangsung di era 2000-an. Itu pun dibantu UNESCO. Sementara OMSAS sudah membahas sastra ke rumah-rumah, jauh 30 tahun sebelum program sastrawan masuk sekolah bergulir.

Uniknya lagi, OMSAS tak punya pengu­rus. Namun sebagai salah satu pusat kegiatan sastra di Sumut, OMSAS bisa eksis sekian puluh tahun. Itu artinya OMSAS merupakan ruang sastra yang membumi. Dibutuhkan sastrawan dan peminat sastra di Sumut. Meski diakui, pada 1990-an OMSAS sempat mati suri. Pada tahun itu, banyak energi sastrawan Sumut tersedot ke forum yang lebih formal.

Itu juga musabab, pada 2000-an, Mihar Harahap tergerak membangkitkan kembali OMSAS yang dinggap telah mampu mendinamisasi kehidupan sastra di Sumut itu.

Pada penyelenggaraan OMSAS 5 November 2017 lalu, Suyadi San dari Sanggar Generasi jadi tuan rumah, puluhan anak muda pegiat sastra bergabung bersama sejumlah sastrawan senior, termasuk aka­demisi. Gairah anak-anak muda untuk berdiskusi dengan yang senior memang cukup tergambar.

Konsepsi Masyarakat Urban

Damiri Mahmud tampil mengupas puisi karya tujuh penyair, junior dan senior, yakni puisi-puisi yang berisi konsepsi penyair terhadap masyarakat urban. Dari hasil pembacaannya, setidaknya ada beberapa sikap yang diperlihatkan penyair.

Pertama, penyair yang merasa asing, sunyi, teralienasi, memasang jarak dengan sesama masyarakat urban. Dalam puisi-puisi seperti ini, kata-kata seolah sedang semadi yang kadang jadi terlalu personal. Penyair yang masuk dalam kategori ini diwakili karya Wirja Taufan, Tak Siapa Kecuali Aku, Syafrizal Syahrun Pesan Ranting untuk Daun yang Gugur”, dan Sartika Sari lewat Fajar Enam Belas.

Kedua, penyair yang tidak bersikap abstain terhadap masyarakat urban, tidak pula menyisih dari kenyataan dari perubahan sosial yang dilihatnya. Penyair kemudian mengidentifikasikan diri ke dalam ma­syarakat urban. Puisi Andung-Andung Petualang karya Saut Situmorang dan Tanjung Balai Kukisah dalam Syair karya Nevatuhella, menurut Damiri masuk dalam kategori ini.

Ketiga, penyair yang ingin mengubah nilai kehidupan kaum urban yang dinilainya munafik. Penyair ingin menghidupkan kembali nilai-nilai tradisi atau kearifan lokal dalam masyarakat urban. Porman Wilson Manalu dengan puisi Amaniata masuk dalam kelompok ini.

Keempat, penyair yang memilih jadi pujangga di tengah kegalauan melihat keadaan negeri yang telah begitu rumit, kusut masai, bebas, dan kebablasan dengan segala harta kekayaan negeri yang seperti surga namun tinggal pinggan-pinggan kosong dijarah konglomerat dan pejabat serakah. Penyair lalu memilih bertindak sebagai empu, suatu peran yang dahulu memang dipegang para pujangga. Mem­bangkitkan semangat rakyat untuk meretas kabut, meretas huru-hara yang dilakukan para perusak sendi-sendi negara.

TSI Luara adalah penyair yang masuk kelompok ini sebagaimana tergambar dari puisi, Meretas Kabut.

Selain telaah puisi oleh Damiri Mahmud, sejumlah pelajar juga membaca puisi, Zuhair Azka (SMKN 1 Percut Sei Tuan), Mawardah (mahasiswa Unimed), Nevatuhella (penyair), Siamir Matulafau (dosen USU), Saiful Amri (guru), dan Araskan Sinulingga (UMN Alwasliyah). OMSAS juga diramaikan peluncuran buku kumpulan puisi, Pengantin Kabut Laut karya TSI Taura.

***

Leave a Reply

Bahasa »