Maman S Mahayana
Danarto, salah seorang cerpenis terbaik Indonesia, pergi meninggalkan kita, Selasa, 10 April 2018, Pukul 20.59, di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan. Sebuah sepeda motor, siang tadi, 13.30, menabraknya di depan Kampus UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. Setelah dibawa ke rumah sakit yang berada di depan kampus itu, sastrawan yang terkenal dengan cerpennya “Godlob” itu dilarikan ke Rumah Sakit Fatmawati. Di rumah sakit itulah, Allah SWT, membawanya pulang.
Inalilahi wa inailaihi rojiun …
Sastra Indonesia kehilangan sosok sastrawan penting negeri ini. Kita sungguh berduka! Indonesia berbela sungkawa! Kini kita hanya dapat bertegur sapa dengannya lewat sejumlah cerpennya yang inspiring. “Lempengan-Lempengan Cahaya,” “Rintrik,” “Rebulan di Dasar Kolam,” “Asmarandana,” “Abracadabra” atau sebuah cerpennya yang judulnya bergambar hati dengan anak panah yang mengucur darah, dan cerpen lainnya adalah beberapa karyanya yang berhasil mengangkat sastra Indonesia di mata dunia. Cukup banyak karya Danarto yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Dan Danarto, tetaplah Danarto yang tawaduk dan rendah hati.
Bersama Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, Arifin C Noer, Rendra, Putu Wijaya, dan sederet panjang sastrawan seangkatannya, sastrawan kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940, gencar menyuarakan sastra sufistik yang lalu ramai menjadi polemik di berbagai media massa dasawarsa 1980-an. Spirit kulturalnya, “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber“ telah membuka ruang kebebasan berkreasi seniman berbagai cabang seni untuk menggali dan mengaktualisasikan tradisi dan akar budaya yang melahirkan dan membesarkan sastrawan kita. Maka, mistik Jawa berkelindan dengan tasawuf atau filsafat eksistensialisme, sebagaimana yang dapat kita jumpai dalam karya-karya Danarto, Kuntowijoyo atau Fudoli Zaini. Dongeng yang tak perlu repot-repot dengan logika formal, menjadi kisah jungkir-balik yang memukau dan mengasyikkan. Cerpen-cerpen Danarto menjadi kisah yang penuh sihir dan kita, pembaca, asyik-asyik saja menikmatinya.
Gerakan eksperimentasi naik daun. Sumber-sumber spiritualitas mistik Jawa, Bali, Melayu, Cirebon, dunia pesantren, dongeng dalam tradisi lisan, dan mitos-mitos yang bertebaran dalam kultur etnik Nusantara, seketika menjadi seni kontemporer yang modern dan absurd. Lalu muncullah berbagai istilah asing, seperti absurdisme, stream of consciousness (arus kesadaran), realisme magis, dan entah apa lagi, disematkan pada karya para sastrawan yang kemudian disebut sebagai Angkatan 70. Danarto lewat antologi cerpennya Godlob, Adam Ma’rifat, Berhala, Gergasi, dan Setangkai Melati di Sayap Jibril, tetap menjulang sebagai maestro.
Danarto … pergi mendadak! Kita terhenyak kaget. Lalu, lantunan doa dan alfatihah terus mengalir melempangkan jalannya ke surga.
Sebuah kisah kecil yang pernah disampaikan seorang mahasiswa tiba-tiba mencelat! Inilah kisahnya:
Saya lupa nama mahasiswa itu. Ia kelimpungan mencari cerpen-cerpen karya pemenang Nobel dari Mesir: Naguib Mahfudz untuk bahan skripsinya. Saya merekomendasikan nama Danarto. Mereka pun saling mengontak—tentu lewat telepon kantor atau rumah. Mahasiswa itu memohon agar Danarto meminjamkan buku karya Naguib Mahfudz itu. Ia akan mengembalikannya selepas difotokopi. Keduanya sepakat bertemu di satu tempat pada jam tertentu. Danarto datang lebih awal.
Lebih satu jam Danarto menunggu si mahasiswa. Ia cemas, khawatir ada sesuatu menimpa mahasiswa itu. Untunglah ia punya alamat tempat kostnya. Maka, Danarto pun meluncur ke sana. Sampai di alamat yang dituju, mahasiswa itu tergolek tidur. Ia lupa janjinya pada Danarto.
Menjelang sore, mahasiswa itu bangun. Ia terkejut. Di depan pintu kamar kostnya, tergeletak sebuah buku fotokopian, antologi cerpen Naguib Mahfudz. Itulah buku yang sekian lama pontang-panting dicarinya. Di antara lembaran buku itu, ada secarik kertas dengan tanda tangan Danarto. Isinya: “Tadi saya menunggu lama. Karena engkau tak juga datang, saya khawatir sesuatu menimpamu. Maka, saya memutuskan datang, mencari alamat tempat kostmu. Dan Alhamdulillah, ketemu. Saya sudah fotokopikan buku yang kau pesan. Semoga bermanfaat.” Tertanda: Danarto!
Setelah menyelesaikan skripsinya, mantan mahasiswa itu entah bekerja di mana. Tetapi, ia tidak dapat melupakan makhluk tawaduk yang bernama Danarto. Sebab, ketika ia minta maaf dan menanyakan biaya fotokopian buku itu, Danarto enteng saja menjawab: “Tidak apa-apa. Saya bahagia telah membantumu. Semoga skripsimu segera selesai!”
Saya takjub mendengar kisah mahasiswa itu. Dari matanya menetes bening bulir-bulir air mata.
Danarto …
11 April 2018, Bojong Gede.