Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia di Kelas GSB Sabena Jogja

MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA DI GSB

Awalludin GD Mualif

Gerakan Surah Buku (GSB) bersama Nurel Javissyarqi
Tanggal 27-28 April 2018, Pukul 21.00-03.00 WIB
Kelas GSB Sabena Jl. Taman Siswa
No: 13 a, Wirogunan, Yogyakarta


Susastera, sebagai jagat dari tumbuh kembangnya kata-kata; dia selalu meruangi setiap pikir dan rasa manusia. Kata-kata, bisa berfungsi sebagai media komunikasi antar sesama, dapat pula bagi penyampai ideologi, dakwah, kritik, dan sebagainya.

Malam sabtu kemarin, saya menyempatkan datang ke salah satu komunitas anak muda di Yogyakarta, yang memiliki ghirah merawat kata-kata dengan cara mereka sendiri, tepatnya Pukul 23.30 Wib. Saya kira, Surah Buku yang di pandegani Pak Is, (begitulah kawan-kawan surah memanggilnya; Tu-ngang Iskandar) sudah usai, namun dugaan saya salah. Ternyata di jam-jam itu, suasana “Gerakan Surau Buku” sedang hangat-hangatnya.

Nurel Javissyarqi sebagai penulis buku MMKI, menjadi nara sumber utama. Dengan gayanya yang khas, dia membabar isi buku yang ditulisnya. Beberapa nama besar di jagat kesusastraan Indonesia, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Dami N. Toda, Taufiq Ismail, dan lain-lain, dia kritik, dikarena kesalahan-kesalahannya yang dianggap mencederai dunia susastra dan fatal. Setidaknya itulah yang dia paparkan.

Tentu saja, tensi suhu sekitar “Surau Buku” semakin malam menuju dini hari kian menghangat mendekati panas, karena tidak sedikit dari kawan-kawan muda Yogya yang mendamba iba bisa seperti para penyair senior. Wal hasil, busur-busur tanya dari gandewa resah menghujani Nurel silih berganti. Dialektika pun terbangun.

Sebagian besar tanya mereka seputar; “Apa dan dimana letak kesalahan dari para penyair yang Nurel kritik,” “Berapa lama menyelesaikan buku ini,” “Teknik penulisan seperti apa yang Nurel pakai, sampai pada menggunakan teori apa,” “Dan mengapa, enam paragraf dari eseinya Ignas Kleden dijadikan lima ratus halaman, bukankah hal itu buang-buang peluru.”

Di antara busur-busur tanya yang terus saja menghujani Nurel, sepertinya terselip busur ‘Pasopati’ dari salah seorang pecinta penyair yang Nurel kritik itu, nun melesak kencang menghantam, namun Nurel Javissyarqi tetap selamat dari senjata pusaka Arjuna tersebut.

Dalam situasi serupa itu, ajang pembacaan puisi menjelma pendingin suhu. Dan beberapa kawan membacakan karya puisinya. Suasana pun agak meredah. Selepas itu, diskusi dimulai lagi. Pada session ba’da pembacaan puisi, suasana masih menghangat, tetapi kehangatan yang meruangi, bukan lagi kehangatan yang mengancam Nurel, namun berganti menjadi decak kagum, entah.

Jarum jam telah menunjukkan Pukul 02.45 Wib, GBS pun harus disudai. Para audiens dan nara sumber pun mulai lelah, lalu yang tersisa hanyalah resah. Di penghujung acara semalam, Nurel menutupnya dengan membacakan puisi yang dia abdikan sebagai mahar pernikahannya. Setelah itu, kami semua kembali ke dalam jagat kata masing-masing.

Keterangan foto: group WA
GSB @hendrikemul, @kirno
Salam kopi Hitam, 28 April 2018.

Ungkap Tungang Iskandar; “Barangkali ya, selain ruang berdialektika, di kelas Gerakan Surah Buku (GSB) Sabena juga tempat bertamasya. Maka setiap kali berlangsung surah, kita los stang, berbicara merdeka sambil haha hihi, hingga akhirnya kita sadar, bahwa subuh telah tiba.”
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *